Mataku berkeliling mengamati jalanan berbatu tanpa ujung yang di kiri kanannya hanya terlihat sawit, cokelat dan sesekali jagung.
“Pak, maaf, di desa ada sinyalnya?”
“Oh, ada..ada..” Fiuhh..,tunggu, sejak tadi tidak terlihat tiang listrik, “Oh, tapi listrik tidak ada, dek kecuali kalau pakai genset.” EH?!
Dua puluh lima menit akhirnya mobil berhenti di sebuah rumah panggung. Dengan penuh kesungkanan kami memasuki rumah pakde sambil membawa koper-koper berat kami. Sepi saat itu.
Setelah disuguhi minuman, kami diajak bertandang ke rumah keluarga pakde yang sedang mengadakan acara pernikahan. Oh, ternyata budes dan keluarga semuanya di sana. Suasana kekeluargaan yang terlihat cukup kental. Bisa ditebak di sini mayoritas suku bugis. Yah, sebagai orang baru tentunya perasaan gugup masih menggelayap. Makanan dan minuman serasa sangat susah tertelan akibat hujan tatapan dari warga yang hadir. Ouch!
Malam pertama tinggal di Tabaroge terasa cukup sulit bagi kami. Tidak seperti di Makassar, di sini kami dipertemukan dengan keadaan di mana tidak ada bantuan listrik dari pemerintah. Jadi, masalah seperti charging-charging hp, laptop, maupun menggunakan printer cukup menjadi beban pikiran. Secara pribadi aku senang mendapatkan tempat seperti ini. Karena awalnya penempatanku di Luwu Timur sangat mengecawakannku lantaran penempatan yang kuinginkan adalah di Selayar yang notabene cukup sulit akan listrik dan wilayah yang lumayan ekstrim. (Baca postinganku sebelumnya, deh!) Namun, kendala di atas ternyata ada cara mengatasinya, kok! Rumah pakde menyediakan genset. Yah, kalau mau merasakan listrik dipersilahkan untuk membeli bensin. Hanya saja sialnya kami berKKN di saat demo “Turunkan BBM!” yang sempat dikoar-koarkan mahasiswa tidak berhasil. Jadilah 8.000 rupiah tiap liter bensin harus dikeruk dari kantong untuk merasakan listrik beberapa jam saja. Hahah! Kendala selanjutnya adalah, tidak seperti di Makassar yang pada malam hari yang palingan hanya suara kendaraan yang lewat yang akan terdengar. Minimallah suara jengkrik bila kediaman Anda di Makassar adalah lokasi pinggiran seperti diriku. Pikirku, kalau suara ayam, jengkrik, kodok, sih tidak masalah. Lah ini suara anjing menangis, seperti lihat penampakan, serempak tiap malam menemani tidur kami. Belum lagi suara bebek dan burung hantu yang terdengar seperti orang tertawa cukup membuat bulu kuduk kami bergidik. Haha! Anehnya entah mengapa memasuki bulan Ramadhan suara tadi berkurang… Hiiiyy…. Satu yang yang cukup membekas adalah pertanyaan budes, “Mau pake kelambu, nak?” pikir kami, akan ribet untuk melipatnya saat pagi. Kami tolak. Cukup obat nyamuk saja. Aje gilee, nyamuk di sini gigitannya menembus celana jeans! haHa! Mungkinkah ini rasa gigitan nyamuk Tse-Tse? Berhasillah kulit mulus nan cantik jadi penuh ‘mor-mor’. Minggu pertama KKn adalah ‘observasi’. Maksudnya pengamatan lokasi setempat. Ya sudah, dengan motor yang disediakan pakde kami pun mengelilingi desa yang baru pemekaran dari Desa Bahari sejak Januari lalu ini. Desa Tabaroge.Mengelilingi Tabaroge, beberapa kami temukan jembatan rusak dan sebuah jembatan gantung yang cantik.
- Penyuluhan dan Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO)
- Pengajaran bahasa Jepang
- Penyuluhan Dampak Penyalahgunaan Narkoba
- Penyuluhan dan Pembuatan Lubang Biopori (Sumur Resapan)
- Pengadaan Kegiatan Nonton Bareng