Beberapa waktu lalu, penulis diundang dalam acara Milad  ke 32 tahun Yayasan Al Ikhan Meruya yang merupakan yayasan milik umat yang berada di kelurahan Meruya Illir kecamatan Kembangan kota Jakarta Barat. Yayasan al Ikhwan ini bergerak dibidang dakwah, sosial dan pendidikan. salah satu bentuk rill yang dilaksanakan oleh Yayasan Al Ikhwan Meruya (YAIM) dalam program pendidikan adalah sudah berjalannya kerjasama dengan Yayasan Pesantren Islam Al Azhar Indonesia (YPI) yang berpusat di Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat.
Kerjasama yang dijalin adalah adanya sekolah Al Azhar yang ada di Jakarta Barat dari mulai TK sampai SMP dan dalam waktu yang dekat, kedepan sudah direncanakan pembangunan gedung SMA Al Azhar. Yayasan Al Ikhwan sebagai mitra YPI bertanggung jawab atas sarana prasarana yang berkaitan dengan fisik sekolah dan linggkungannya, sementara YPI bertanggung jawab atas SDM, kurikulum dan hal-hal lain yang berkaitan dengan managemen pendidikan. Kerjasama ini dapat terjalin tentu berdasarkan adanya kesamaan visi dan misi yang dimiliki YAIM dengan YPI.
Yang menarik dari milad tersebut adalah adanya penyerahan buku yang baru di realise berjudul "32 Tahun Yayasan Al Ikhwan Meruya" Â secara simbolis kepada tokoh-tokoh yang memiliki peran penting dalam pendirian dan perkembangan YAIM di jakarta barat dari masa ke masa.
Peyerahan sebuah buku tentang lika-liku YAIM yang diberikan kepada para tokoh-tokoh tersebut menyadarkan penulis bahwa, hal tersebut merupakan sebuah simbol bagaimana perkembangan zaman tidaklah boleh menghapus, mengubur ,melupakan bahkan membumi hanguskan para pelaku sejarah dimasa yang lampau. Tokoh-tokoh masa kini yang bertugas sebagai penerus tongkat perjuangan tokoh-tokoh masa lampau, kini saling bahu membahu membangun yayasan yang lebih baik dan berkembang tanpa melupakan dan meninggalkan sejarah yang telah ditorehkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Tokoh-tokoh masa kini peduli dan menghargai perjuangan yang telah dilakukan oleh mereka yang jauh lebih dulu diciptakan tuhan sebagai pelaku sejarah. Itulah segurat makna yang penulis tangkap dari prosesi tersebut.
Lebih dari itu, bagi Bangsa Indonesia yang besar, penulis berpandangan bahwa, buku sebagai sebuah simbol peradaban yang tersurat, akan menjadi tongkat utama bagi pejuang - pejuang terdahulu untuk diestafetkan kepada pejuang- pejuang dimasa yang akan datang. Namun demikian, buku yang diciptakan haruslah sesuai dengan fakta sejarah yang tuhan skenariokan kepada para pelaku-pekaku yang sebenarnya.Â
Bagi kita bangsa Indonesia yang besar, bercermin dari simbolis yang sederhana diatas, harusnya mampu merangkaikan kata-kata yang bermakna dalam sebuah buku tentang sejarah bangsa yang kini tengah berlangsung. Rangkaian kata yang sesuai dengan fakta, isinya penuh dengan kejujuran dan bukan pencitraan semata, atau bahkan mengutamakan kepentingan sekelompok orang yang bertahta.
Buku sejatinya diciptakan sebagai pedoman bagi mereka yang membutuhkan, sebagai referensi dan sumber pengetahuan yang takan pernah terkubur oleh waktu. Buku menjadi pusaka yang tak ternilai harganya, abadi bahkan buku seumpama fikiran yang tertuang dalam lembaran kertas sehingga semua orang bisa membaca dan mahaminya.Â
Maka dari itu, siapapun diri kita, apapun posisi kita, siapkanlah tongkat estafet perjuangan yang akan kita berikan untuk generasi yang akan datang, buat mereka mengerti kondisi yang kita hadapi saat ini, tantangan yang akan mereka terjang dan segala kemungkinan yang akan terjadi.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H