nuklir Korea Utara menjadi isu yang memperburuk ketidakstabilan kawasan Asia Timur, khususnya bagi Korea Selatan. Situasi ini diperparah dengan pernyataan Kim Jong Un pada awal 2024 yang menolak diadakannya dialog dengan Korsel dan upaya reunifikasi lebih lanjut sejak berakhirnya Perang Korea pada 1953. Ketegangan hubungan Korut-Korsel juga didorong oleh pernyataan Kim Jong Un yang ingin meningkatkan program senjata nuklir, terlepas adanya sanksi ekonomi dan perjanjian internasional yang berlaku. Menurut laporan Center for Arms Control and Non-Proliferation, Selama kepemimpinan Kim Jong Un (2012-2024), Korut melaksanakan kurang lebih 220 uji coba rudal dengan tingkat jangkauan beragam (Fact Sheet: North Korea Missile Test Activity, 2023). The Korean Central News Agency (KCNA) melaporkan bahwa Korut telah melakukan uji coba rudal dari kapal selam di laut lepas Timur pada Januari 2024 (North Korea Conducts Two Launches of New Pulhwasal-3-31 Submarine-Laun, 2024). KCNA juga melaporkan bahwa Korut telah melakukan uji coba rudal pada Juli 2024 (North Korea Claims Ballistic Missile Test With 'Superlarge Warhead', 2024). Uji coba tersebut diikuti oleh sejumlah uji coba rudal tambahan yang menjadikan kurang lebih ada empat uji coba rudal yang dilakukan Korut per September 2024 (Fact Sheet: North Korea Missile Test Activity, 2023).Â
AncamanSebagai respons terhadap pengembangan senjata nuklir dan rudal Korut, Korsel tentu ingin meningkatkan kekuatan militer yang setidaknya dapat menyeimbangkan posisi Korsel dengan Korut. Dengan Kim Jong Un yang menunjukkan sikap penolakan terhadap upaya reunifikasi dengan Korsel dan mendeklarasikan bahwa Korsel merupakan musuh asing bagi Korut, ancaman nuklir Korut mendorong Korsel untuk mencari bantuan kepada negara lain yang memiliki kapasitas kekuatan militer yang lebih mumpuni. Dari sini, Korsel cenderung beraliansi kepada Amerika Serikat untuk membantu meningkatkan keamanan dan pertahanan Korsel.Â
Sejak berakhirnya Perang Korea pada 1953, AS-Korsel telah menandatangani kerja sama yang dinamakan US-ROK Mutual Defense Treaty. Secara umum, aliansi AS-Korsel ini bertujuan untuk membantu Korsel memperkuat pertahanan dan kekuatan militer, terutama dari Korut. Aliansi ini  dapat membantu Korsel meningkatkan kekuatan militer melalui berbagai bentuk. Salah satunya adalah penempatan personel militer AS di Camp Humphreys, Korea Selatan yang kurang lebih berjumlah 28,500 personel (U.S.-South Korea Alliance: Issues for Congress, 2023). Selain itu, AS dan Korsel pun juga melakukan latihan militer gabungan yang melibatkan penggunaan pesawat, kapal selam, hingga dan senjata berkekuatan konvensional hingga nuklir. Misalkan pada Maret 2024, AS dan Korsel melaksanakan 11 hari latihan militer untuk mempersiapkan Korsel menghadapi Korut di tengah hiruk pikuk uji coba rudal yang sering dilakukan Korut (South Korea and US Begin Large Annual Military Drills With Eye on North Korea, 2024).Â
Merespon aliansi AS-Korsel, Kim Jong Un cenderung mengutuk dan mengancam bahwa aksi seperti latihan militer gabungan dinilai sebagai upaya untuk memprovokasi Korut dan alhasil membuat Korut terus melakukan uji coba rudal. Di lain sisi, kemampuan pengembangan senjata nuklir dan rudal Korut malah dapat mengancam Korsel dengan jangkauan serangan senjata tersebut dan otomatis bisa memicu retaliasi dari AS.Â
Dalam konteks aliansi AS-Korsel, terdapat dilema yang berkelanjutan mengenai komitmen yang dimiliki AS dalam membantu Korsel menghadapi ancaman nuklir Korut. Dalam Washington Declaration dinyatakan aliansi AS-ROK membentuk The Nuclear Consultative Group yang bertujuan untuk memperkuat pencegahan, meningkatkan perencanaan nuklir dan strategis, dan mengelola ancaman terhadap rezim non-proliferasi Korut. Presiden Joe Biden juga menegaskan komitmen untuk memberikan pencegahan dengan memanfaatkan seluruh kemampuan pertahanan AS, mulai dari pertahanan nuklir, konvensional, rudal, dan kemampuan non-nuklir lainnya. Tak hanya itu, Presiden Joe Biden juga kembali menekankan bahwa setiap serangan nuklir oleh Korut akan mendapatkan respons yang cepat, luar biasa, dan tegas dari AS (Washington Declaration, 2023).
Namun seberapa cepat, luar biasa, dan tegas dari AS masih dipertanyakan oleh Korsel. Faktanya, kepentingan AS bukan hanya menghadapi ancaman nuklir di Semenanjung Korea. AS sedang memasuki masa pemilu dan situasi konflik di luar Semenajung Korea juga menarik perhatian AS, mulai dari perang Palestina-Israel, konflik Laut Cina Selatan, hingga konflik Rusia-Ukraina. Kita bisa menilai dimana AS meletakkan isu ancaman nuklir Korut dengan melihat hasil debat terbaru antara calon presiden AS, yakni Donald Trump dengan Kamal Harris pada 10 September 2024. Pada debat tersebut, hanya ada dua konflik internasional yang muncul, yakni terkait Perang Rusia-Ukraina dan situasi di Israel-Gaza (Here Are Our Debate Questions for Harris and Trump, 2024). Debat pertama calon presiden AS antara Trump-Biden yang dilaksanakan pada Juni 2024 pun lebih berfokus pada perdebatan terkait isu demokrasi dan ekonomi (Lau et al., 2024).Â
AS juga menghadapi tantangan dalam menekan Korut menghentikan program pengembangan nuklir. Meskipun AS masih mengharapkan jalan diplomasi dengan rezim Kim Jong Un, kekosongan diplomasi antara Korut-Korsel mempersulit jalan tersebut. AS juga mempertimbangkan potensi negosiasi multilateral dengan Korut sebagai  untuk menekan kegigihan Korut untuk mempercepat pengembangan senjata nuklir. Dengan itu, AS harus mempertimbangkan bagaimana cara menyeimbangkan komitmen ini dengan prioritas domestik dan kepentingan AS lainnya di luar Semenanjung Korea.Â
Di sisi lain, Korsel juga mulai mencari opsi lain untuk meningkatkan kekuatan militernya yang mana Korsel mungkin saja memilih untuk memperoleh kemampuan senjata nuklir sendiri. Opsi tersebut tampaknya akan memicu ketegangan yang lebih parah di semenanjung Korea dan sanksi ekonomi. Dengan demikian, Korsel sebagai negara dengan kekuatan militer tanpa nuklir harus berhadapan dengan Korut sebagai negara yang memiliki kekuatan nuklir. Pada akhirnya, Korsel harus berlindung dalam payung AS. Namun, keberadaan aliansi AS-Korsel juga dilihat sebagai ancaman bagi Korut yang mana dapat mendorong niat Korut lebih dalam untuk mempercepat pengembangan senjata nuklir.
Secara keseluruhan, jalan keluar yang ditawarkan untuk Korsel guna menghadapi ancaman nuklir Korut masih ada. Hal ini balik lagi pada prinsip utama non-proliferasi nuklir yang tertera pada Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) Treaty. Meskipun Perjanjian NPT tidak memuat hukuman bagi negara-negara yang melanggar perjanjian tersebut, esensinya negara-negara yang masih terlibat dalam perjanjian tersebut sejatinya dapat bekerja sama untuk menekan negara lain yang sedang berupaya untuk mengembangkan senjata nuklir.Â
Kita masih bisa mendorong keterlibatan middle sampai third world countries. Kegagalan Six-Party Talks yang berisikan China, Korut, Jepang, Rusia, AS, dan Korsel mencerminkan bagaimana perundingan multilateral yang hanya berisikan negara-negara berkepentingan hanya akan mengedepankan kepentingan nasional dan cenderung mengesampingkan tujuan utama: pengendalian senjata dan pembatasan persenjataan nuklir Korea Utara. Dengan demikian, perlu adanya middle power countries yang berkedudukan sebagai penyeimbang yang dapat memberikan pandangan baru terkait isu nuklir Korut. Misalkan India atau Brasil.Â
Sebagai upaya untuk menjaga perdamaian dunia dan untuk menghindari adanya perlombaan senjata di kawasan, lebih baik AS dan Korsel juga meluaskan aliansinya dengan negara lainnya. Kerja sama ini juga tidak perlu menekankan ide-ide provokatif dan lebih kepada membangun kerja sama yang berorientasi pada perundingan konflik nuklir di Semenanjung Korea. Jika kita lihat dari perspektif Korut maka perilaku Korut sejatinya merupakan sebuah respons terhadap ancaman eksternal. Dengan memiliki senjata nuklir, Korut dapat melindungi keamanan dan pertahanan negaranya dari ancaman eksternal.Â