Mohon tunggu...
Kyla Emelly Putri
Kyla Emelly Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

INTJ-A

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penanganan Destructive Fishing Berbasis Kearifan Lokal Suku Bajo

10 November 2024   15:30 Diperbarui: 10 November 2024   15:31 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut merupakan sumber kekayaan sumber daya alam dan juga sumber penghasilan bagi manusia, khusunya bagi mereka yang tinggal di pesisir dan bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan tentunya mencari nafkah dengan menjual hasil sumber daya laut seperti ikan, rumput laut, dan lain sebagainya. Namun, tidak jarang dalam proses pemanfaatan sumber daya tersebut memberikan dampak atau efek samping yang dapat merusak ekosistem laut. Contoh-contoh aktivitas pemanfaatan sumber daya laut yang tidak sesuai dengan prinsip ramah lingkungan dan merusak ekosistem laut antara lain penggunaan bahan kimia dalam menangkap ikan, penggunaan bom ikan, penggunaan pukat harimau, dan lain lain.

Aktivitas-aktivitas penangkapan ikan yang dapat merusak ekosistem laut disebut dengan destructive fishing. Dalam kurun waktu 2013 hingga 2019, Pengawas Perikanan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) PSDKP berkolaborasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi setempat dan instansi terkait telah menangani setidaknya 653 kasus destructive fishing di berbagai wilayah perairan di Indonesia dengan jumlah kasus tertinggi di wilayah perairan Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 471 kasus penggunaan bahan peledak dan bahan beracun, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 57 kasus penggunaan setrum, serta Provinsi Lampung sebanyak 30 kasus penggunaan bahan peledak dan setrum.

Kegiatan destructive fishing tersebut dapat merubah atau merusak ekosistem laut karena dengan menggunakan alat-alat tersebut nelayan dapat menangkap ikan dengan jumlah yang besar, bahkan ikan yang kecil pun ikut tertangkap. Ikan-ikan kecil yang tertangkap tersebut membuat semakin sedikitnya populasi jenis ikan tertentu di laut. Penggunaan bom ikan dan bahan kimia juga selain menyebabkan terbunuhnya ikan secara masif, dan menyebabkan kerusakan ekosistem laut lainnya seperti kerusakan terumbu karang.

Jika dibiarkan begitu saja kegiatan-kegiatan itu tidak hanya akan merusak ekosistem laut tetapi juga mengancam kehidupan manusia, pasalnya manusia juga membutuhkan laut sebagai sumber ekonomi dan penghidupan. Dalam mengatasi hal-hal tersebut, kita bisa menerapkan kearifan-kearifan lokal yang diterapkan Suku Bajo dalam memanfaatkan hasil laut. Suku Bajo tinggal di daerah pesisir Sulawesi dan sekitarnya, terutama di Sulawesi Selatan. Masyarakat Bajo dikenal sebagai masyarakat pesisir yang mahir mengelola sumber daya laut. Masyarakat Suku Bajo beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memanfaatkan sumber daya di laut, Suku Bajo masih mempertahankan cara-cara tradisional nenek moyang yang ramah lingkungan dan terbukti mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Namun sayangnya, kearifan lokal Suku Bajo kini sudah mulai terkikis seiring perubahan zaman dan pengaruh budaya masyarakat yang datang dari luar komunitas Suku Bajo. Berkembangnya berbagai jenis alat tangkap dan teknologi yang lebih modern telah memicu rusaknya ekosistem perairan laut dan terancamnya kelestarian sumber daya alam pesisir dan laut. Oleh karena itu, dengan melakukan cara-cara tradisional atau kearifan lokal Suku Bajo dalam memanfaatkan hasil laut, kita tidak hanya dapat mengatasi perubahan kondisi lingkungan, tetapi juga melakukan pemberdayaan terhadap kearifan lokal yang dimiliki Suku Bajo untuk diterapkan di daerah lain yang memiliki kondisi geografis yang sama dengan Suku Bajo. Kearifan lokal-kearifan lokal yang diterapkan Suku Bajo dalam memanfaatkan hasil laut antara lain.

Pertama, budaya Bapongka. Bapongka adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya laut sekaligus melindungi laut dari eksploitasi hasil laut dalam jangka waktu tertentu. Bapongka seringkali dianggap sebagai elemen pengelolaan sumber daya laut dan pesisir dengan tujuan keberlanjutan (Walhi Sulteng, 2001: 20). Konsep Bapongka dengan aturan dan pamali meliputi larangan membuang limbah tertentu ke laut dan larangan menangkap ikan yang masih belum memiliki ukuran dewasa. Dalam budaya Bapongka, nelayan harus menjaga kondisi dan keberlanjutan dari lautnya. Apabila laut berada dalam kondisi yang baik, tentu akan menjamin kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir. Sebaliknya, apabila kondisi laut rusak, sumber penghidupan masyarakat sekitar pun berada dalam bahaya. Maka dari itu, dengan menerapkan budaya Bapongka kelestarian ekosistem laut dan pesisir akan terjaga.

Kedua, sistem Tubba Dikatutuang. Tubba Dikatutuang memiliki arti “karang yang disayang”. Tubba Dikatutuang merupakan larangan penangkapan dalam jumlah besar di area tertentu dan larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Sistem Tubba Dikatutuang ini selaras dengan pengelolaan wilayah konservasi. Dalam sistem ini juga dikenakan sanksi bagi yang melanggar (melakukan penangkapan di daerah yang dilarang), yaitu dengan dikenakan denda yang nominalnya disepakati masyarakat.

Terakhir, sistem Parika. Parika merupakan sistem kelembagaan yang bertindak sebagai penentu waktu penangkapan dan pada tempat penangkapan. Parika dianggap sebagai penjaga, pengawal, dan penasihat dalam menentukan daerah penangkapan dan waktu penangkapan ikan.

Dengan menerapkan kearifan lokal Suku Bajo dalam memanfaatkan hasil laut, kita dapat meminimalisir dan mencegah potensi kerusakan ekosistem laut akibat ulah manusia yang mengambil sumber daya laut secara berlebihan. Karena dalam kearifan lokal Suku Bajo ini, setiap pelanggaran pada kearifan lokalnya akan dikenai sanksi. Sanksi tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan disepakati bersama sehingga juga mengandung unsur sanksi sosial yang dapat memberikan efek jera bagi seseorang yang melanggar.

Referensi :

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun