Mohon tunggu...
Ahmad Nur Khozin
Ahmad Nur Khozin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya bukan siapa siapa

Urip lan nguripi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjadi Manusia Seutuhnya

24 Februari 2024   15:41 Diperbarui: 24 Februari 2024   15:44 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia secara epistimologi merupakan hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasar akal pikiranya. Manusia adalah hewan yang berpolitik, hewan yang membangun masyarakat diatas family-family menjadi pengelompokan yang impersonal dari pada kampung dan negara (Aristoteles 384-322 SM). Pemahaman pernyataan tersebut tentunya harus menggunakan analisa yang kompleks dan tidak pragmatis dalam penyimpulanya. Tentunya juga tak salah jika manusia dikatakan hewan yang berakal sehat, karena memang pada kenyataanya kita sama dengan makhluk lain dimana mereka hidup, berkembang, bernafas dan melahirkan generasi baru. 

Perbedaan yang mendasar diantara manusia dengan makhluk yang lain adalah kesehatan akal yang mampu melahirkan pikiran secara sistematik dan rasional dalam beradaptasi di segala keadaan. Kemampuan berpikir yang didasari landasan empiris, filosofis, dan historis dapat memunculkan suatu pernyataan antara perbedaan yang benar dan yang salah. Yang dibentuk oleh apa yang namanya akal budi, yaitu suatu alat pikir yang mampu melahirkan tindakan berdasar nilai medis, nilai estetis dan nilai etis.

Manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai relasi luas akan manusia lain di sekitar ataupun lingkunganya, mendorong tindakannya untuk selalu dinamis mengikuti perkembangan yang ada, beradaptasi dan menanyakan eksistensinya . Kemudian dalam perjalananya, manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam berkehidupan, menciptakan suatu kondisi sosiologis yang terbentuk berdasar persamaan hak dan kewajiban, maupun secara kultural historikal. Kondisi sosiologis masyarakat sendiri menghasilkan bentuk interaksi antara dua manusia yang terjadinya proses validasi terkait satu sama lain, maupun validasi terkait dirinya sendiri. Kemudian, sampailah pada konteks pertanyaan sebenarnya untuk apa kita ada?, atau untuk apa kita hidup ?. Dan final jawabanya ketika rasionalitas manusia tidak mampu menjawab hal tersebut, maka dapat ditemukan dalam pilihan kepercayaan religiusitas dari manusia itu sendiri 

Dalam wahyu di agama islam sendiri, manusia ditugaskan untuk menjadi pemimpin ketika mereka diciptakan, pemimpin bagi dirinya sendiri maupun dalam skala kelompok besar. Proses kepemimpinan disini menyangkut manusia di muka bumi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi sesama umat manusia dan makhluk lain. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, untuk memiliki kehidupan yang bahagia, manusia memilih keyakinan yang menjadi tuntunan hidupnya, sebagai salah satu hal yang mampu menunjang proses kepemimpinan guna menciptakan dan membawakan kebaikan maupun kebahagian bagi semua makhluk.

Pola kepemimpinan yang dilakukan oleh manusia selalu mengalami perkembangan dari mulainya dia dalam masa asuh di lingkup keluarga, hingga lingkup masyarakat luas. Kepribadian dan pola tingkah laku manusia sebagai bekal kepemimpinan selalu berawal dari proses kehidupan dalam ranah keluarga. Kebiasaan orang tua yang diajarkan anaknya selalu membentuk kepribadiannya, dan nanti akhirnya akan berkembang seiring meluasnya interaksi sosial yang dilakukan manusia sendiri. Seiring berkembangnya pola pemikiran, pertanyaan "untuk apa sebenarnya kita hidup?", seharusnya seiring berjalanya waktu mampu terjawab dengan proses proses yang kita lakukan dalam menjalani kehidupan, karena proses tersebut merupakan apa yang disebut jalan yang kita pilih sendiri dan jawaban dari pertanyaan yang ada di diri kita.

Melihat relasi yang kompleks mengenai lingkungan sosial yang menjadi tempat tinggal manusia menunjukan pentingnya kondisi sosiologis bagi perkembangan manusia sendiri dalam membentuk mental pemimpin. Kontruksi sosial yang tercipta dari kultur masyarakat sosial merupakan faktor utama dalam perkembangan seorang manusia. Apakah akan menjadi bajik atau menjadi manusia yang merugikan sesamanya berawal dari pola asuh dari masyarakat sendiri. Oleh karenanya, selain penguatan ideologi moral yang ada di diri manusia, kebergantungan manusia terhadap lingkungan sosialnya perlu dipertimbangkan.

Pola kehidupan masyarakat yang sehat melahirkan manusia yang sehat pula, dari segi moral maupun tindakan. Pentingnya pendidikan karakter anak sejak dini perlu dilakukan bagi orang tua agar anak yang nantinya tumbuh kembang di masyarakat mempunyai pondasi ideologi moral yang kuat. Tak hanya itu, lingkungan hidup yang sehat harusnya menjadi tempat hidup yang ideal bagi setiap manusia untuk membentuk mental dan moralitas yang baik pula. Karena hakikat manusia yang ditugaskan sebagai pemimpin pada lingkup kecil yaitu dirinya sendiri perlu dibentuk melalui lingkungan yang mempunyai kondisi sosial yang sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun