Covid-19 berdasarkan kepada pernyataan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak akan hilang dalam waktu dekat ini, mengingat baik obat maupun vaksinnya belum diketemukan sehingga masyarakat yang ada di berbagai negara harus mampu hidup berhadapan dengan COVID-19 (World Health Organization, 2020).Â
Didasarkan kepada pemahaman tersebut maka banyak pemerintah khususnya di negara-negara yang terinfeksi COVID-19 menyusun instrumen kebijakan dalam rangka hidup berdampingan dengan masyarakat yang mana di satu sisi pemerintah tetap menggalakan upaya penanggulangan COVID-19 dan di sisi lainnya berupaya untuk mengembalikan kondisi sosial kemasyarakatan kedalam kondisi sebelum adanya COVID-19, instrumen kebijakan tersebut dikenal dengan istilah "new normal" atau tatanan normal baru (David, Collins, & Winfield, 2020).
Tatanan normal baru memberikan hak kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas yang menjadi rutinitasnya sebelum adanya wabah COVID-19 dengan menekankan kepada adanya sikap kesiap-siagaan terhadap penyebaran COVID-19 yang mungkin terjadi di lingkungannya (Keogh, 2020). Didasarkan kepada pemahaman tersebut maka tatanan normal baru dalam konteks wabah COVID-19 setidaknya didasarkan kepada 3 (tiga) tiga hal, yaitu:Â
Pertama, adanya upaya penanggulangan COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintahan dan menunjukan tingkat pengendalian penyebaran COVID-19 harus pula diikuti dengan upaya pengembalian kegiatan sosial kemasyarakatan sebagaimana sebelum adanya wabah COVID-19.Â
Kedua, keberlanjutan kegiatan sosial kemasyarakatan tersebut didasarkan atas adanya kesadaran akan sikap kesiap-siagaan terhadap penyebaran COVID-19. Ketiga, tatanan normal baru berimplikasi kepada tuntutan keharusan masyarakat untuk dapat beradaptasi dan menyesuaikan kegiatannya yang didasarkan kepada pola perilaku hidup sehat dan aman dari COVID-19.
Tatanan normal baru dalam konteks Indonesia dilihat dalam konteks kebijakan publik tidak membedakan masyarakat maupun kegiatan yang dilakukannya, berbagai kegiatan dapat dilakukan oleh masyarakat sepanjang kegiatan tersebut dinilai telah aman dari penyebaran COVID-19.Â
Kebijakan tatanan normal baru dalam konteks Indonesia akan diberikan kepada pemerintah daerah yang dianggap telah memenuhi kriteria yang terdiri dari adanya tingkat penularan COVID-19 R0 (basic reproductive number) dibawah angka 1 (satu), adanya data yang menunjukan jumlah kasus infeksi COVID-19 tidak melebihi dari 60% dari jumlah total fasilitas kesehatan, serta adanya upaya melakukan tes yang intens terhadap COVID-19 bagi masyarakat (Hakim, 2020b, 2020a).
Berdasarkan kepada kebijakan tersebut, maka kegiatan sektor pariwisata termasuk menjadi bagian yang diperbolehkan untuk dilakukan kembali sepanjang telah dinyatakan aman dari penyebaran COVID-19, sehingga dalam pelaksanaan tatanan normal baru untuk mewujudkan kegiatan pariwisata yang aman dari penyebaran COVID-19 maka diperlukan syarat atau ketentuan yang harus diikuti dan ditaati oleh para pemangku kepentingan yang bergerak dalam sektor pariwisata, syarat atau ketentuan tersebut kemudian dikonstruksikan kedalam instrumen kebijakan yang harus ditaati dan dilaksanakan.Â
Untuk memahami instrumen kebijakan tersebut, maka diperlukan suatu rancang bangun yang menjadi dasar bagi terselenggaranya tatanan normal baru sektor pariwisata yang menjadi dasar penyusunan instrumen kebijakan tatanan normal baru sektor pariwisata. Adapun alternatif rancang bangun tatanan normal baru dalam artikel ini dapat dijelaskan melalui gambar  berikut ini:
Berdasarkan kepada gambar tersebut di atas, maka tatanan normal baru didasarkan kepada dua dasar pertimbangan yaitu, keinginan untuk tetap melanjutkan upaya penanggulangan COVID-19 dan tuntutan untuk melanjutkan usaha di sektor pariwisata dengan harapan adanya keberlanjutan kegiatan pariwisata akan mampu mendorong percepatan pemulihan pasca COVID-19.Â
Dengan begitu kebijakan tatanan normal baru sektor pariwisata diartikan sebagai keberlanjutan kegiatan pariwisata yang didasarkan kepada pengetahuan dan pemahaman terhadap COVID-19 yang ditujukan dengan sikap adanya kesiagaan terhadap penyebaran COVID-19 yang dimungkinkan terjadi selama kegiatan pariwisata berlangsung.