Mohon tunggu...
Dian Herdiana
Dian Herdiana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Kota Bandung

Mencari untuk lebih tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkades: Politik Identitas di Kabupaten Bandung Barat

25 Mei 2020   13:30 Diperbarui: 25 Mei 2020   13:26 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan praktek berdemokrasi secara langsung yang dilaksanakan di dalam struktur pemerintahan terbawah yaitu desa. 

Dilihat dalam konteks sejarah Pilkades sudah dilaksanakan sejak lama, bahkan beberapa referensi menyatakan pemberian kewenangan hak untuk memilih pemimpin bagi masyarakat desa ini diakui oleh pemerintahan Hindia-Belanda sebagai bagian dari hak asli yang melekat dari desa. 

Berbagai hak asli desa termasuk didalamnya penentuan kepala desa yang merupakan kewenangan desa tetap dipertahankan sampai dengan saat ini (Amanulloh, 2015; Kushandajani, 2015; Nur, 2014), Pilkades sudah menjadi bagian dari aktivitas berdemokrasi di tingkat desa(Yuningsih & Subekti, 2016). 

Meskipun demikian Pilkades mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Pilkades yang dahulu banyak dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dalam konteks saat ini dilakukan melalui pemilihan langsung yang mana setiap warga masyarakat yang ada di desa memiliki hak suara sebagaimana telah diatur melalui perundang-undangan(Sajangbati, 2015; Timotius, 2018).

Pilkades yang dilakukan melalui sistem one man one vote ini berimplikasi tidak hanya kepada hilangnya proses pemufakatan untuk menentukan kepala desa tetapi juga mendorong proses pemilihan kepala desa menjadi alat perebutan kekuasaan, sehingga para calon kepala desa akan menggunakan berbagai sumber daya yang dimilikinya untuk memenangkan konstelasi pemilihan kepala desa. 

Salah satu sumberdaya yang digunakan yaitu identitas politik yang dimilikinya, para calon kepala desa akan memanfaatkan politik identitas untuk menggalang suara masyarakat agar dapat dukungan dan meningkatkan elektabilitasnya.

Penggunaan politik identitas dalam Pilkades sejalan dengan kondisi empiris yang ada di Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan kepada hasil penelitian, setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mengapa para calon kepala desa menggunakan politik identitas, yaitu: 

Pertama, adanya perkembangan masyarakat perdesaan yang ada di Kabupaten Bandung Barat yang mana sudah banyak desa yang dihuni oleh heterogenitas masyarakat baik itu latar belakang keturunan, budaya, pekerjaan dan lain sebagainya (Badan Pusat Stasistik, 2019). Hal ini mendorong para calon kepala desa untuk mengkonstruksikan politik identitas yang mana tujuannya mencari kesamaan-kesamaan dengan mayoritas masyarakat sekaligus memetakan arah dukungan politik untuk memotret masyarakat yang berpotensi mendukung atau menolaknya.

Kedua, adanya persaingan antara sesama calon kepala desa sehingga harus memunculkan unsur pembeda antara calon kepala desa yang satu dengan calon kepala desa yang lainnya. Salah satunya cara yang dilakukan untuk memberikan pembedaan yaitu dengan menggunakan politik identitas agar masyarakat memiliki preferensi politik yang jelas mengenai calon kepala desa yang akan dipilihnya. 

Ketiga, penggunaan politik identitas tidak hanya dimaksudkan sebagai branding calon kepala desa di tengah-tengah masyarakat, tetapi juga dijadikan sebagai bagian dari pembentukan visi misi kepala desa yang apabila terpilih nantinya akan dijadikan program pembangunan desa selama 6 (enam) tahun kedepan.

Politik identitas yang dilakukan oleh para calon kepala desa di Kabupaten Bandung Barat tersebut lebih banyak kepada menggunakan nilai-nilai Islam, berdasarkan kepada hasil penelitian,  hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu: Pertama, Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat perdesaan di Kabupaten Bandung Barat sehingga dengan mengkonstruksikan nilai-nilai Islam sebagai identitas politik akan memudahkan para calon kepala desa untuk memperoleh dukungan dari mayoritas masyarakat. 

Kedua, nilai-nilai Islam sudah menjadi bagian integral dalam budaya masyarakat perdesaan yang ada di Kabupaten Bandung Barat bahkan masyarakat perdesaan menilai baik atau buruknya kepribadian seseorang salah satunya menggunakan ukuran nilai-nilai Islam sehingga para calon kepala desa akan menggunakan nilai-nilai Islam sebagai bagian dari identitas politiknya. 

Ketiga, berdasarkan pengalaman pemilihan kepala desa yang dilakukan sebelumnya, masyarakat memiliki kecenderungan mendukung calon kepala desa yang mempraktekan nilai-nilai Islam atau dalam istilah masyarakat desa dikenal istilah "milih anu pang solehna" atau memilih calon kepala desa yang paling shaleh, sehingga pengalaman tersebut dijadikan acuan keberhasilan oleh para calon kepala desa untuk memenangkan konstelasi Pilkades.

Penjelasan tersebut di atas memunculkan pertanyaan mengenai apakah politik identitas yang dilakukan oleh para calon kepala desa di Kabupaten Bandung Barat hanya terbatas kepada mengkonstruksikan nilai-nilai Islam sebagai identitas politik, padahal identitas politik memiliki banyak ragam yang didalamnya termasuk status sosial, ekonomi/pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya. 

Berdasarkan kepada hasil penelitian  yang telah dilakukan, politik identitas dengan memanfaatkan status sosial, ekonomi/pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya menjadi kontraproduktif dikarenakan selain para calon kepala desa beranggapan bahwa isu tersebut tidak relevan untuk diangkat dalam konstelasi politik di tingkat desa juga dikhawatirkan akan memunculkan pertentangan di tengah-tengah masyarakat yang akan membagi masyarakat kedalam kelompok-kelompok berdasarkan status sosial, ekonomi/pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya, hal ini dinilai oleh para calon kepala desa akan merugikan pihaknya dan bisa memunculkan sikap antipati dan sikap penolakan dukungan dalam konstelasi Pilkades yang tengah dilaksanakan. 

Sedangkan politik identitas yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam dianggap tepat dikarenakan mayoritas penduduk pedesaan yang tengah melaksanakan Pilkades di Kabupaten Bandung Barat beragama Islam, sehingga politik identitas yang dibangun tersebut relatif tidak akan menimbulkan gejolak atau pertentangan di tengah-tengah masyarakat.

Keterangan: Tulisan ini merupakan bagian dari artikel dalam jurnal TAPIS dengan judul: Konstruksi Politik Identitas melalui Nilai-nilai Islam dalam Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Bandung Barat. Adapun tautan terhadap artikel tersebut sebagai berikut: Artikel 

Referensi:

Amanulloh, N. (2015). Demokratisasi Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Badan Pusat Stasistik. (2019). Kabupaten Bandung Barat dalam Angka Tahun 2019. Kabupaten Bandung Barat: Badan Pusat Statistik.

Kushandajani. (2015). Implikasi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Terhadap kewenangan Desa. Jurnal Yustisia, 4(2), 369--396.

Nur, T. F. (2014). Sejarah Humum Pengaturan Pemerintahan Desa (Sebuah Catatan Analisis Hukum Tata Pemerintahan Desa).

Sajangbati, Y. C. (2015). Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Jurnal Lex Administratum, 3(2), 24--32.

Timotius, R. (2018). Revitalisasi Desa Dalam Konstelasi Desentralisasi Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 48(2), 323--344.

Yuningsih, N. Y., & Subekti, V. S. (2016). Demokrasi dalam Pemilihan Kepala Desa? Studi Kasus Desa Dengan Tipologi Tradisional, Transisional dan Modern di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013. Jurnal Politik, 1(2), 231--261.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun