Pemikiran sederhana, berawal dari pengalaman peribadi saat mengikuti sebuah proses di kampung bersama puluhan warga lainnya. Warga memang berfikir sangat sederhana, bahwa mereka bersyukur ketika jalan desa di kampung, mendapat bantuan dari pemerintah desa untuk dibangun lebih baik dan permanen menjadi jalan cor beton.
Sebagai mantan jurnalis yang kurang berhasil, saya berfikir lain dan sekedar berhati-hati agar apa yang ada dalam benak saya tidak terjadi. Daripada saya mengungkapkannya secara lisan maka lebih baik saya ungkapkan dalam bentuk sebuah tulisan.
Apa itu? Tentang anggaran pembangunan jalan desa, korupsi anggaran oleh aparat desa dengan memanfaatkan kekurang pahaman masyarakat kampung. Mengapa demikian?
Saya hidup di kampung yang benar-benar kampung. Pesisir utara Jawa Tengah. Kondisi warga hamper seluruhnya adalah petani dan buruh tani. Ekonomi selalu menjadi masalah utama dalam keseharian, meskipun mereka punya tabungan dalam bentuk emas, hewan ternak, sawah yang lumayan luas, namun perputaran uang termasuk kategori menengah kebawah.
Secara keagamaan cukup baik, bahkan boleh dikatakan masyoritas masyarakat lebih baik secara implementasi nilai keagamaan dibandingkan masyarakat kota hanya kalah dari sejumlah orang, mereka yang tinggal di perumahan kota besar dari segi pengetahuan, dan pendidikan itu saja.
Focus kepada pendidikan, warga mayoritas hanya lulus SMP, terutama yang kepala keluarga. Jarang ada yang menempuh pendidikan hingga SMA. Ada yang jebolan Pondok Pesantren.
Yang terpenting dari kesemuanya adalah bahwa kegotong royongan masyarakat dalam semua hal sangat signifikan. Terutama bagi dalam hal yang sifatnya umum.
Kembali ke pokok permasalahan, kondisi inilah yang bisa jadi menjadikan mulusnya jalan bagi aparat bejat yang korup. Warga terbiasa bekerja keras bertahan dalam situasi pada semua kondisi. Keberlangsungan hidup menjadi tujuan utama dalam keadaan yang seadanya.
Selabihnya saya melihat adanya kekurang terbukaan manajemen pembangunan. Sebagai mantan jurnalis tentu saya harus berfikir untuk kritis dan selalu mengedepankan tanda taa tidak langsung menerima.
Pembangunan jalan desa inilah yang tampaknya menjadi proyek basah bagi warga. Tanpa konsep yang disampaikan kepada warga. Warga dibawah komando ketua RT melaksanakan pembangunan.
Pasir, koral, dan semen dalam jumlah tertentu. Tanpa adanya hitung-hitungan tenaga dan upah buruh. Disinilah yang menjadi area paling aman untuk dihitung dan kemudian dicantumkan dalam anggaran.
Wow jumlahnya tidak sedikit, dalam hitungan matematis jumlahnya jutaan per satu proyek pembangunan. Belum lagi biaya sewa alat dan pembelian material.
Tapi ah peduli amat, bodoh amat, toh warga sudah bisa menerima. Bahwa mereka yang harus mengerjakan proyek, sepanjang itu untuk mereka tidak ada masalah. Habis perkara. Saya juga tidak mampu berbuat banyak, sebagai bagian dari warga tentu sebuah keharusan ikut gotongroyong melakukan pembangunan. Aman.
Perkara ada korupsi atau tidak itu urusan mereka. Aparat yang bermain. Haha, betul….(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H