Sejak tahun 1994, saya sudah Golput. Kalaupun saya pernah datang ke TPS, pertama untuk silaturahmi dengan tetangga, kedua ingin menulis puisi di kertas suara dan itu betul-betul saya lakukan, atau saya mencoblos semuanya (yang kemudian saya menyebutnya sebagai Goput aktif).
Dalam benak saya, ada dua jenis Golput, pertama Golput pasif. Adalah mereka yang sama sekali tidak datang ke TPS karena sengaja, ketiduran, namanya tidak terdaftar dalam daftar pemilih, pura pura tidak tahu ada pencoblosan, atau memang tidak tahu sama sekali adanya Pemilu.
Kedua, jenis Golput Aktif. Adalah mereka yang datang ke TPS dan mencoblos semua gambar, atau malah merusak surat suara dengan cara apapun, dengan harapan kertas yag sudah dicoblos/rusak, tidak dimanfaatkan orang-orang tertentu.
Dalam tulisan saya di Koran Sindo Senin 24 Pebruari 2014 “Golput Yang Seksi” dan Pikiran Rakyat Jumat 7 Maret 2014 “Pemilu di Persimpangan Golput”, disana saya menulis tentu dengan redaksi yang berbeda: Golput bukanlah sebuah gerakan yang teroragnisir dengan baik, ia lahir dengan sendirinya tanpa komando resmi dari siapaun, ia lepas dari sistem manajemen sebuah organisasi. Karena Golput adalah akumulasi keinginan dari personal rakyat.
Sebenarnya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan partai politik merupakan salahsatu pemicu Golput berkembang pesat, Wabil khusus perilaku korupsi yang dilakukan kader-kader Parpol, asal mencomot artis jadi caleg, merayu pemuka agama jadi caleg, lupa tugas utama, yakni mensejahterakan rakyat.
Padahal untuk menggiring rakyat agar tidak Golput hanya satu jawabannya, yakni jika pemimpin punya itikad baik untuk mensejahterakan rakyatnya, bekerja dengan ikhlas dan tulus. Jumlah Golput hanya akan berkurang jika politik dijalankan dengan hati bersih dan mulia, jujur dan adil. Jika tidak?, maka Pemilu yang akan datang adalah Pemilu yang sunyi
Dari tahun 1994 hingga 2014 adalah rentang waktu yang panjang, hingga akhirnya datang Jokowi, sebuah jawaban yang lahir dari rakyat. Saya tidak mengulang lagi keberadaan Jokowi yang hebat dan merakyat. Orang semacam Jokowi lah yang dirindukan rakyat. Kalau Prabowo, jelas saya tidak tertarik!
Sayang sekali, saya keukeuh dalam poisisi Golput, posisi yang akan saya pertahankan sampai saya mati, atau sampai saya menemukan Jokowi yang tidak dikukung oleh Amerika dan China. Sampai saya menemukan Jokowi yang tidak didukung Jenderal Wiranto, Jenderal Purnawirawan Sutiyoso, Letnan Jenderal Purnawirawan Johny Lumintang, Mayor Jenderal Purnawirawan Syamsir Siregar, Jenderal Purnawirawan Subagyo H.S., Jenderal Purnawirawan Da'i Bachtiar, dan bekas kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono dan Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono.
Hendropriyono dan Muchdi kerap dikaitkan dengan kematian aktivis hak asasi manusia, Munir. Waktu itu Munir dibunuh saat Hendropriyono menjabat Kepala Badan Intelijen Negara. Sedangkan Muchdi sempat ditahan karena didakwa membunuh Munir meski akhirnya dibebaskan di pengadilan.
Nah, sekali lagi, Jokowi hebat merakyat tapi saya tetap Golput, sampai Jokowi riil bekerja dan bersih dari orang-orang yang saya sebutkan tadi. Pemikiran saya terlalu sederhana memang, tapi apapun sebuah pemikiran, inilah hati saya, dalam hal lain hati saya suka leah, tapi untuk yang satu ini hati saya termasuk Qoswatul Qolbi - hati yang tak pernah dibeli dengan “kebaikan” pemimpin sejak 1994.
Lain waktu, mungkin saya pilih Jokowi…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H