Mohon tunggu...
Masdarto Toto
Masdarto Toto Mohon Tunggu... -

Sudarto, saat ini mahasiswa CRCS UGM, tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebhinnekaan dan Pendidikan Agama di PTU Yogyakarta

14 November 2013   19:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:10 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kota Jogjakarta dibangun di atas visi “Terwujudnya Kota Pendidikan Berkualitas, Berkarakter dan Inklusif, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan dan Ekonomi Kerakyatan”. Terkait “klaim” sebagai kota pendidikan, tiga isu utama yang sangat penting adalah pendidikan berkualitas, berkarakter dan inklusif. Persoalannya bagaimana PTU di Yogyakarta menterjemahkan visi kota pendidikan tersebut?

Berdasarkan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan prinsip pendidikan di Indonesia harus “diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultur dan kemajemukan bangsa”. Rumussan prinsip pendidikan ini berangkat dari kesadaran bahwa kebhinnekaan terutama agama masih menjadi isu yang rawan.

Tidak bisa dipungkiri, hubungan antara agama di Indonesia masih sering diwarnai dengan ketegangan dan konflik. Ada banyak factor yang menyebabkan konflik antar agama terjadi, antara lain; masing-masing agama mengklaim bahwa agamanya sebagai satu-satunya sumber kebenaran dibandingkan agama-agama lainnya. Klaim bahwa agamanya paling benar berakibat setiap kelompok agama mengasingkan diri dari kepercayaan dan agama lainnya, sehingga setiap usaha yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian, keharmonisan serta keselarasan antar umat beragama semakin sulit diejawantahkan dalam kehidupan bersama.

Prilaku membangun jarak berlebihan tersebut, oleh Karl Rahner (1962), disebut sebagai sikap eksklusif yakni satu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat, menjauhkan diri dari, mengasingkan diri, mencegah masuknya yang liyan dan ujungnya mengecualikan serta menutup pintu bagi perbedaan.

Menyadari betapa bahayanya eksklusivisme beragama, pemerintah Indonesia merumuskan fungsi pendidikan agama sebagai “Pembentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama”. Bahkan dalam kurikulum DIKTI 2002 telah memasukkan materi Kerukunan antar umat beragama, Agama merupakan rahmat bagi semua, Hakekat kebersamaan dalam pluralitas beragama dan dialog antar umat beragama.

Perumusan kurikulum dan materi pembelajaran agama di Perguruan Tinggi tersebut, oleh banyak kalangan dinilai sudah lebih progresif, dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang masih bernuansa indoktrinasi. Namun persoalannya bahwa rumusan kurikulum pendidikan agama yang begitu progresif, belum sepenuhnya menjadi perhatian serius dikelola dengan baik oleh PTU khususnya di Yogyakarya.

Terkait rumusan kurikulum agama oleh DIKTI, semestinya pihak perguruan tinggi melalui wakil rektor bidang akademik dan kemahasiswaan, mengundang wakil-wakil dekan  dosen pengampu matakuliah agama pad Perguruan Tinggi masing-masing, untuk membincangkan bagaimana semestinya kurukulum pelajaran agama yang telah berwawasan kebhinnekaan tersebut dapat lebih operatif dan terukur sebagai bahan ajar bagi mahasiswa. Sebab mata pelajaran agama dianggap menempati posisi sentral untuk membangun generasi muda yang berkualitas, berkarakter dan ingklusif.

Sayangnya inisiatif itu kurang terbangun. Pendidikan Agama yang menempati posisi sentral itu di PTU Jogja secara umum masih berada di pinggiran. Meskipun masing-masing perguruan tinggi memiliki kelompok dosen Pengembang Kepribadian (MPK), dimana matakuliah agama, keberadaan laksana “krakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau”. Hal itu disebabkan para dosen MPK, yang berasal dari berbagai agama yang memungkinkan mereka berdialog merumuskan arah pengembangan pendidikan yang berwawasan kemajemukan itu tidak cukup tersedia kecuali bertemu dalam pembagian jadwal jam mengajar agama. Kurangnya control dari pempinan Perguruan Tinggi menyebabkan para dosen pengampu mata kuliah agama membangun kreativitas masing-masing menurut trend kelompok keyakinan dalam agamanya masing-masing. Berdasarkan pemantauan pada fakultas-fakultas sains misalnya tidak jarang mereka terlibat dalam memupuk eksklusivisme keberagamaan dengan dalih menjaga kemurnian agama.

Akhirnya tentunya kita berharap perguruan tinggi tidak sekedar melahirkan ahli teori demokrasi, namuan justru tidak mampu mengelola kemajemukan sebaga fitur dasar demokrasi tersebut. Kita juga berharap perguruan tinggi tidak sekedar melahirkan ahli tentang teori konflik, namun konflik kepentingan mayoritas yang dominan mengakibatkan hak-hak agama minoritas tidak cukup diakomodir. Itu sebabnya mendorong keterlibatan perguruan tinggi dalam membangun pendidikan karakter beriman dan bertakwa demokratis, toleran dan bertanggungjawab, sebab perguruan tinggi sesungguhnya merupakan laboratorium untuk belajar bertoleransi bukan hanya mahasiswa tetapi juga civitas akademik lainnya. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun