Mohon tunggu...
Masdarto Toto
Masdarto Toto Mohon Tunggu... -

Sudarto, saat ini mahasiswa CRCS UGM, tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Berdaulat Minus Kedaulatan

1 Maret 2014   01:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepertinya guyonan bahwa udara yang kita hirup setiap saat, segera dikalkulasikan dengan rupiah yang harus dibayar seperti mengisi pulsa akan menjadi nyata. Jika demikian masihkah kita memiliki kedaulatan atas individu di sebuah Negara yang hampir 70 tahun berdaulat ini?

Mengalami sekaligus mengamati aktivitas keseharian mahasiswa di sebuah perguruan tingg ternama di Yogyakarta, semakin menguatkan asumsi bahwa kedaulatan kita sebagai sebuah warga bangsa menjadi patut dipertanyakan kembali.

Ketika kita bangun tidur lalu mengkonsumsi air putih, karena kenyataan air sumur di kota-kota telah tercemar, akhirnya kita berlangganan air Aqua galonan isi ulang, yang dianggap masih lebih alami dan terjamin. Namun kenyataannya kepemilikan saham air Aqua 74 % dipegang oleh Danone perusahaan milik pengusaha Perancis. Ketergantungan kita terhadap air isi ulang Aqua, tak dapat disangkal lagi telah ikut memicu naiknya harga air minum kemasan dari Rp 13.500/galon di awal tahun 2013 menjadi Rp 17.000/galon pertanggal 1 November 2013 ini.

Ketika mahasiswa dan mungkin juga sebagian besar kita berfikir penghematan, dengan tidak minum teh manis di warung-warung. Kemudian kita membeli teh kemesan bermerek Sariwangi atau SariMurni, adalah kenyataan bahwa 100% saham milik Unilever Inggris. Bersamaan ketika mahasiswa harus memenuhi asupan gizi dengan minum susu SGM dan sejenisnya. Kembali kita dihadapkan dengan kenyataan susu SGM milik PT. Sari Husada 82% sahamnya dikuasai Numico Belanda. Demikianpun gulanya yang bermerek Gulaku juga produk import.

Pagi-pagi kita makan cemilan yang paling tradisional milik tanah leluhur, seperti tahu goreng dan tempe mendoan ala Banyumasan, kenyataan kedelai sebagai bahan bakunya sebagian besar juga import dari Amerika dan Thailand. Selesai sarapan, bagi mahasiswa perokok dan ingin merokok barang sebatang atau dua batang menjelang ke kampus. Mengisap rokok Sampoerna, kenyataannya juga  97% saham milik Philip Morris Amerika.

Selesai sarapan, mahasiswa harus mandi pagi untuk segara pergi ke kampus, dengan menggunakan air PDAM, mahasiswa menggunakan sabun, sampoo, gosok gigi, kita juga harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa produk-produk untuk membersihkan tubuh kita seperti sabun Lux Lifeboy Pepsodent, bahkan parfum dan deodoran juga milik Unilever Inggris.

Tidak beberapa lama, mahasiswa pergi ke kampusnya masing-masing, mereka mengendarai sepeda motor atau bahkan mobil bagi mahasiswa anak keluarga berpunya, ternyata juga sepeda motor dan mobilnya juga made ini Jepang, Cina, India dan sebagainya. Demikian juga yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan harus mobil angkutan umum maupun ternyata juga made in Jepang maupun Eropa. Bahkan yang bersepada dengan merek-mereka ternama juga bukan milik bangsa sendiri.

Sesampai di kampus, karena udara semakin panas, kita menyalakan AC, kenyataan juga made in Japan, Korea, Cina dan lainnya. Selama proses belajar mengajar, baik dosen maupun mahasiswa dan mungkin menyalakan laptop. Kenyataan juga laptop yang kita punyai juga made in Jepang dan Korea, sementara yang sedikit lebih wah kesannya ternyata juga made Eropa atau Amerika. Tidak beberapa lama kemudian Hp mahasiswa milik dosen dan juga sebagian miliki mahasiswa bordering, namun juga tidak bisa dielakkan bahwa Hp kita made in Eropa, Amerika, Cina, Korea dan sebagainya, sedangakan operatornya adalah Indosat, XL, Telkomsel semuanya juga sudah menjadi milik asing; Qatar, Singapura, Malaysia dan lainnya. Atau kalau kita masih punya hanya sebagain kecil sahamnya.

Waktu istirahat makan siang, sebagian mahaiswa yang kayak pergi ke tempat makan-makan cepat saji dan terkesan wah, sedangkan yang kantong cekak pergi makan di Angkringan nasi kucing khas Jogjakarta, kenyataan juga sebagian besar nasi yang dimakan mahasiswa adalah beras impor dari Thailand, Cina Vietnam dan sebagainya. Termasuk keinginan kita makan sayur dan buah-buahan supaya pencernaan kita lebih baik, ternyata sebagiannya sudah produk import.

Sebagian mahasiswa pulang daru kampus, sambil relex mereka berbelanja di Carefour, kenyataan juga Carefournya milik Perancis. Malas ke Carefore, kita belanja ke Alfamart, 75% sahamnya milik Carefour. Demikian juga dengan Giant yang dimiliki Dairy Farm Internasional Malaysia sama dengan kepemilikan Hero. Demikian juga ketika sebagian mahasiswa memilih makan cepat dan siap saji sambil nongkrong-nongkrong di Circle K, kenyataan juga milik pengusaha Amerika.

Rutinitas keseharian mahasiswa yang tinggal di Jogjakarta dan kota-kota besar lainnya, seakan semakin mengukuhkan bahwa kita sedang tinggal di kontrakan atau bahkan numpang hidup di negeri sendiri. Jika demikian adanya apa yang telah kita lakukan sebagai bangsa yang merdeka selama 68 tahun ini? Atau bagaimana sebenarnya Negara cq pemerintah memaknai pasal 33 dari UUD 1945? Kita tidak sedang bertanya pada rumput bergoyang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun