Berkalung bunga, bertopi fedora, pria renta itu berdiri di Bandara Sentani, Papua. Tongkat penopang dia lepaskan dari tangan, badannya membungkuk dan akhirnya tengkurap. Dia mencium tanah Papua, melunasi rindu yang menggebu.
Pria tua itu adalah Nicolaas Jouwe, dan peristiwa di Bandara Sentani pada 22 Maret 2009 itu sekaligus menghancurkan sumpah untuk tak kembali lagi ke Papua sejak dia pergi ke Belanda pada1963 silam. Dia adalah sosok paling penting di balik bendera kontroversial dari Bumi Cenderawasih, yakni Bendera Bintang Kejora, atau sering juga disebut sebagai Bendera Bintang Fajar (Morning Star Flag).
" Saya lah yang membuat Bendera Bintang kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961," kata Nicolaas dalam bukunya, 'Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran, dan Keinginan'.
Nicolaas lahir di Hollandia (saat ini Jayapura) pada 24 November 1924. Garis tangan, begitulah istilah yang dia gunakan, membawanya menjadi tentara meski dia tak pernah ingin jadi tentara. Garis tangan pula yang membawanya menjadi salah satu tokoh Papua di masa silam meski dia mengaku tak menginginkan sebutan itu.
Nicolaas adalah salah satu dari alumni sekolah pamong praja di Jayapura yang didirikan Residen Belanda, Jan Pieter Karel van Eechoud. Sekolah itu didirikan van Eechoud pada 1944, termasuk juga sekolah polisi. Atas jasanya mendidik orang Papua, van Eechoud dijuluki Bapak Orang Papua.
Melalui sekolah itulah kelas elite terdidik Papua lahir dan mewarnai pergerakan politik, baik yang pro-kemerdekaan maupun yang pro-Indonesia. Selain Nicolaas, ada nama Frans Kasiepo, Markus Kasiepo, Silas Papare, Elieser Jan Bonay, Lukas Roemkorem, hingga Abdullah Arfan. Semuanya alumni sekolah yang didirkan van Eechoud.
Dijelaskan Jon RG Djopari dalam bukunya, 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka', elite terdidik Papua kemudian pecah menjadi tiga orientasi politik. Pertama, pro-Papua merdeka pro-Belanda. Kedua, pro-Papua merdeka anti-Belanda. Ketiga, pro-Indonesia. Nicolaas Jouwe digolongkan sebagai pro-Papua merdeka yang kooperatif dengan Belanda.
Sebenarnya, Nicolaas Jouwe sempat ikut dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM) bentukan Dr JA Gerungan di Hollandia (saat ini Jayapura) pada 1945. Namun ada kekecewaan saat KIM berubah menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM), apalagi saat konferensi Denpasar pada 1946 tak menyertakan wakil dari Papua. Konferensi itu sendiri menghasilkan Negara Indonesia Timur, pihak Indonesia menyebut itu adalah karya politik divide et impera Belanda.
Belakangan, Jouwe berubah menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Jouwe ikut dalam aktivitas Gerakan Persatuan Nieuw Guinea yang dibentuk Belanda untuk menentang pengaruh Indonesia. Mulai dari sini, nasionalisme Papua dibentuk.
Pada masa pemerintah Belanda, kawasan yang kini disebut sebagai Papua bagian Indonesia bernama Nederland Nieuw Guinea (Nugini Belanda). Nicolaas terpilih menjadi wakil presiden Dewan Nugini (Nieuw Guinea Raad), mendampingi presiden bernama Frits Sollewijn Gelpke, seorang pegawai negeri Belanda. Saat itu Nicolaas berjuang agar semua pihak menghormati hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa merdeka.
Bendera Bintang Kejora dibikinnya, bercorak 13 garis biru dan putih horisontal, angka itu melambangkan jumlah rencana kawasan yang akan dikembangkan. Adapun gambar bintang adalah simbol cita-cita. Nicolaas lewat buku karya Danilyn Rutheford menyatakan bintang itu bermakna pengharapan, salah satu elemen dalam kebajikan Kristiani yakni iman, kasih, dan pengharapan.