Sejak zaman purba, musik adalah salah satu jenis seni universal yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia. Musik mampu menyampaikan perasaan, cerita, dan identitas budaya, mulai dari melodi sederhana hingga komposisi yang kompleks. Musik dapat ditemukan di berbagai bagian dunia kontemporer, baik sebagai hiburan, pelipur lara, atau sebagai media ekspresi diri. Bagi sebagian besar orang, mendengarkan musik adalah kegiatan yang menyenangkan dan menenangkan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, musik juga mulai dianggap sebagai komponen yang memiliki efek yang signifikan pada kesehatan mental seseorang. Setiap orang dapat menemukan genre musik yang sesuai dengan suasana hati atau kebutuhan emosionalnya berkat banyaknya genre yang tersedia. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, yang sering dihadapkan pada tantangan seperti tekanan akademis, ekspektasi sosial, dan perjuangan mencapai keseimbangan hidup, musik telah menjadi elemen penting dalam menjaga kesehatan mental. Namun, sejauh mana musik benar-benar memberikan manfaat psikologis? Apakah konsumsi musik memiliki dampak negatif yang sering diabaikan? Dengan pendekatan kritis, tulisan ini akan mengupas bagaimana musik memengaruhi kesehatan mental, khususnya dalam konteks mahasiswa, dengan menimbang sisi positif dan risiko yang menyertainya.Â
Ada bukti bahwa musik dapat membantu otak manusia. Penelitian menunjukkan bahwa mendengarkan musik dapat memicu pelepasan hormon dopamin dan endorfin, yang masing-masing bertanggung jawab untuk menciptakan perasaan positif dan tenang. Musik sering digunakan untuk meredakan stres yang disebabkan oleh tekanan akademik atau masalah sehari-hari.Musik klasik atau instrumental, misalnya, sering digunakan untuk meningkatkan konsentrasi selama belajar atau relaksasi setelah hari yang melelahkan. Sebaliknya, genre seperti pop, rock, atau EDM dapat memberikan energi tambahan untuk memulai hari atau meningkatkan semangat ketika merasa lesu. Mahasiswa juga kerap menggunakan musik sebagai medium untuk mengenali dan memahami emosi mereka sendiri, terutama ketika menghadapi kecemasan, kesedihan, atau kelelahan emosional.Â
Namun, manfaat tersebut tidak hanya tergantung pada genre, tetapi juga pada cara konsumsi musik. Mendengarkan musik secara aktif (menghayati lirik atau melodi) sering kali memberikan efek yang lebih mendalam dibandingkan mendengarkan secara pasif (sebagai latar belakang). Hal ini menyoroti pentingnya kesadaran dalam memilih dan mendengarkan musik untuk mencapai manfaat optimal. Di sisi lain, konsumsi musik yang tidak terkendali atau tidak bijak dapat membawa dampak negatif yang signifikan. Ketergantungan pada musik sebagai pelarian dari realitas sering kali menghambat kemampuan mahasiswa untuk menghadapi tantangan hidup secara langsung. Sebagai contoh, mahasiswa yang mengandalkan musik untuk mengatasi kecemasan dapat terjebak dalam siklus ketergantungan, di mana mereka merasa tidak mampu menghadapi situasi tanpa musik.Â
Selain itu, konten musik itu sendiri dapat memengaruhi kondisi mental pendengarnya. Lirik yang melankolis atau agresif, jika dikonsumsi secara berlebihan, dapat memperburuk suasana hati seseorang. Musik yang terlalu emosional bahkan berisiko memperkuat pola pikir negatif, terutama jika pendengar berada dalam kondisi mental yang rentan. Teknologi streaming yang semakin canggih juga menimbulkan tantangan baru. Algoritme platform musik sering kali mempromosikan playlist yang sesuai dengan mood pengguna, namun hal ini dapat memperkuat bias emosi tertentu. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang sedang sedih mungkin terus-menerus disuguhi lagu-lagu melankolis, yang akhirnya memperpanjang periode kesedihan mereka.Â
Sebagai mahasiswa, penting untuk memandang musik bukan hanya sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai alat yang memiliki potensi terapeutik sekaligus risiko jika tidak digunakan dengan bijak. Memahami efek emosional dari berbagai jenis musik dan menganalisis pola konsumsi pribadi dapat membantu mahasiswa memanfaatkan musik secara optimal tanpa terjebak dalam risiko psikologisnya. Selain itu, pendekatan kritis terhadap musik juga mencakup kesadaran akan lirik, genre, dan situasi ketika musik dikonsumsi. Musik tidak seharusnya menjadi pengganti penanganan masalah yang lebih substansial, seperti konsultasi psikologis atau dialog dengan teman sebaya, tetapi lebih sebagai alat pendukung untuk mencapai keseimbangan mental.Â
Mendengarkan musik dapat menjadi pedang bermata dua dalam kehidupan mahasiswa. Di satu sisi, musik menawarkan potensi besar untuk mendukung kesehatan mental dan memberikan pelarian sejenak dari tekanan hidup. Namun, di sisi lain, ketergantungan yang tidak terkendali dan konsumsi yang tidak bijak dapat memperburuk kondisi emosional. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, penting untuk memahami dinamika ini dan memanfaatkan musik sebagai alat yang mendukung kesejahteraan mental, tanpa mengabaikan kebutuhan untuk menghadapi kenyataan secara langsung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H