Cuaca pagi nampaknya mentari enggan untuk bersinar cerah, awan mendung masih saja menghalangi sinar mentari, mungkin sang awan sengaja menutupi mentari, karena ada beban yang masih di rasa atas berita duka cita .
Ya... Rasa duka mendalam dirasakan betul oleh dokter Jumadi. Â Sungguh sangat kehilangan benar terhadap kawan seprofesinya yang sama-sama dokter specialis. dr. Jumadi menagis meraung meratapi tanah merah pemakaman sahabatnya itu. Sembari memegang kayu nisan yang berbentuk rahim, air matanya perlahan menetes dan jatuh di tanah merah itu.
Satu per satu pelayat pun meninggalkan lokasi pemakaman, dan membiarkan dr. Jumadi yang sedang dalam kesedihan. Melihat situasi demikian, Pak Ustad Haimin yang memimpin pelaksanaan penguburan, tidak tega bila meninggalkan dr. Jumadi sendirian di pemakaman sahabatnya itu.
"ayo dok, kita kembali ke rumah, dan dokter harus sabar dan iklas melepas kepergiannya, semoga beliau damai di surga" ajak ustad Haimin sembari mengangat lengannya.
" Percayalah kita semua akan menemui kematian, " imbuh ustad
Namun sang dokter tetap saja tak mau berdiri.
"Ya Pak Ustad, saya paham dan mengerti, semua orang akan mati, meninggalkan semua yang ada di bumi" jawab dokter sambil terisak-isak.
Lega hati Pak Ustad mendengar jawaban dokter setengah baya ini.
"Alhamdulilah, ternyata dokter memahami dan iklas kalau kita semua hanyalah titipan sementara"
"ya Pak Ustad, persoalannya bukan itu, coba lihat pak Ustad, nisan temanku berbentuk  rahim" kata dokter mencoba bangkit sembari menunjukkan nisan sahabatnya yang berbentuk rahim ke pak ustad.
"oh iya, memang kenapa kok pihak keluarganya membawakan kayu nisan jati berbentuk rahim, bukan seperti pada umumnya ? Tanya Pak Ustad keheranan.