Mataku masih saja tak mau terpejamkan, nyanyian jiwa sang bidadari masih terngiang jelas, sedari siang amarahnya bagaikan setinggi puncak gunung, meledak bagaikan nyanyian alam dalam keganasan, menghamburkan bebatuan, hingga gemuruh bersahutan bersama jeritan, panas serasa telinga saat lahar panas membumi, gugurkan daun-daun merindu dan ladang-ladang cinta selama ini, belum lagi terpaan angin mengganas, turut serta menerbangkan debu-debu ke angkasa, sesak serasa hati ini menerimanya, sakit bathin ini saat mengingatnya.
Padahal luka lama belum mengering benar, kini telah tergores kembali bersama desiran angin di malam hari, entah sampai kapan hati ini merasakan, entah hingga kapan raga ini bertahan dalam gemuruh yang tak kunjung reda.
Hanya bisa pasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa, atas segala bencana hati yang kurasakan, biarlah sang bayu mengantarkan segala asa dalam dada, walau kan bercampur dengan debu-debu jalanan, biarlah mungkin itu sudah suratan dari-Nya, aku hanya bisa iklas sembari berdo'a, semoga segala prahara dalam jiwa, kan kembali mencair bersama embun pagi, yang menyejukkan seisi relung hati terdalam, hingga lapang saat kaki ini melangkah meraih harapan.
Di sepertiga malam ini, ku kuburkan segala kenangan dan cacian, beribu asa dan harapan kembali ku pendam mendalam, biarlah sang bayu dalam kesaksian, atas segala tragedi yang menerpah jiwa dan raga di saat hati membuka tuk sebuah perubahan, maka hanya ke iklasan dan tetap berusaha semoga yang terbaik selalu ada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H