Baca cerita sebelumnya di :Â http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/06/30/selamat-jalan-no-name/
*****
No name, buku diary biru itu selalu ada dalam tas kuliahku.
Setiap hari ku baca tulisan-tulisanmu. Seperti aku membuka lembar demi lembar jiwamu.
Kata-katamu tentang hidup dan kematian telah membangunkan aku dari tidur pedihku. Apa beda hidup dan mati katamu?, seperti yang tertulis di diarymu.
Hidup seperti kertas kosong yang siap ditulis. Dan mati seperti kertas yang penuh dengan tulisan kita yang siap kita baca kembali. Jadi hidup dan mati buatmu seperti menulis dan membaca. Hehehehe, awalnya aku tersenyum membaca tulisanmu. Dan setelah ku renungkan, benar apa katamu, no name. Bagaimana kita bisa menulis jika kita enggan membaca?.
So, simple sekali caramu memandang hidup dan mati, no name. Kita dilahirkan menangis dan orang-orang yang menyambut kita tersenyum bahagia. Bukankah itu sebuah petunjuk Tuhan?. Tanyamu dalam diary itu. Â Agar ketika kita kembali, hendaklah dengan tersenyum bahagia. Dan lihatlah, orang-orang yang kita tinggalkan mereka akan menangis. Jadi hidup dibuka dengan tangis maka hendaklah ia ditutup dengan senyum.
Hidup dan mati seperti senyum dan tangis. Senyum dan tangis adalah sebuah tanda bahagia tapi bisa juga sebagai sebuah tanda pedih. Apakah kita akan terus menangis ketika kita di timpa kepedihan yang dalam?, senyum adalah sebuah tindakan yang bijak. Â Apakah kita akan terus tersenyum ketika kita diberi kelimpahan rejeki?, menangis adalah sebuah bentuk syukur yang bijak.
Hehehehe, hebat. Semuda itu dia sudah bisa menyimpulkan arti hidup dan mati, senyum dan tangis. Sedangkan aku?, menafsirkan senyumnya saja aku tak bisa. Hehehehe, no name, aku rindu pada senyummu.
"No name adalah sebuah nama yang paling berharga dalam hidupku." Kata seorang gadis bernama Litha.
Selain sibuk kuliah, Litha juga salah seorang atlet nasional berkuda. Begitulah cerita Litha padaku.