Mohon tunggu...
Kutu Kata
Kutu Kata Mohon Tunggu... -

No comment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Saat Ibuku Beranjak Tua

22 Desember 2012   06:24 Diperbarui: 5 Juli 2015   12:52 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di saat ibuku beranjak tua.

Sering ibuku berkata lirih, ”maklumilah keadaan ibu dan bersabarlah … .”

Nampak, ibuku tidak lagi seperti yang dulu, usia telah merenggut keayuan dan kebugarannya.

Memang aku harus banyak-banyak bersabar. Tapi bisakah aku sesabar ibu ketika ia merawatku semasa bayi?.

“Jangan tergesa-gesa, nafas ibu suka sesak kalau terburu-buru, nak.” Begitu kata ibu ketika aku jalan bersamanya. Dan karena tak sabarnya, dengan muka cemberut dan kesal memandangi langkah-langkah ibu yang lambat menghampiriku yang telah berdiri jauh di depannya.

“Disaat kedua kaki ibu semakin lemah karena sering diserang rematik, jangan kau tambah rasa ngilu di kaki ku dengan cemberutmu ... ulurkan tanganmu yang masih muda dan kuat, papahlah ibumu ini, nak!. Sebagaimana ibu dulu dengan hati-hati memapah dan menuntunmu ketika kau mulai berjalan tertatih-tatih, selangkah demi selangkah, setapak demi setapak, lalu kemudian kau jatuh dan menangis... Selalu ku bujuk, ayo nak!, bangkit lagi!, berjalan lagi!... Dan kau pun merangkak, berdiri, berjalan perlahan... sampai kini kau telah bisa berjalan mendahului ibumu ini.”

Aku jadi teringat, di masa kanak-kanakku, saat aku menumpahkan kuah makanan di seluruh baju dan celanaku hingga berceceran berantakan di lantai. Dengan senyum, ibu melap sisa kuah makanan di mulutku, membersihkan tubuhku, mengganti bajuku yang kotor dengan yang bersih. Setelah aku rapih, ibu menyapu membersihkan sisa-sisa makanan yang berserakan yang telah ku tumpahkan di lantai.

Ibu pernah berkata, “jangan sungkan apalagi merasa jijik, di saat ibu sakit keras dan membutuhkanmu untuk membersihkan tubuh ibu ... masih ingat tidak?, disaat masa kecil dulu, ibu dengan susah payah dan berusaha dengan seribu satu cara membujukmu untuk mau mandi.”

Oh ibu, aku jadi teringat juga, di saat aku belum bisa mengikatkan tali sepatuku sendiri, tanpa merasa bosan, ia mengikatkan tali sepatuku setiap pagi disaat aku hendak berangkat ke sekolah. Lambat laun, ia pun mengajariku hingga aku bisa mengikatkan tali sepatuku sendiri.

“Jangan kau bosan mendengar perkataan “nenek-nenek” ini, yang sering ibu ulang-ulang, bersabarlah dan jangan kau potong pembicaraanku takut aku lupa apa yang telah aku ucapkan sebelumnya ... rasa-rasanya ibu sudah mulai pikun, nak. Hmmm, dulu disaat kau baru belajar bicara, dengan sabar aku mengulang-ulang kata demi kata sampai kau mampu ucapkan sebuah kata yang pertama kali bisa keluar dari mulut mungilmu ... Ma ... Ma ... Ma ... ya cuma kata itu yang bisa terucap tapi aku mengerti maksudnya ... kau berusaha untuk memanggil-manggilku.”

“Dari satu kata demi satu kata, hingga kalimat demi kalimat, cerita demi cerita yang sering ibu dongengkan sebelum tidur ... hingga kau pun teridur pulas terbuai dalam alam mimpimu, nak ... terus menerus ibu lakukan agar kelak kau jadi anak yang pandai.”

Ya, memang sekarang-sekarang ini, aku sering tidak sabar mendengar ibu bicara selain ucapannya yang kurang jelas dan juga topik pembicaraannya sering kali melenceng.

“Maklumilah, nak ... ibu sudah beranjak tua ... beri sedikit waktu untuk ibu bisa mengingat-ingat kembali apa yang sedang kita bicarakan, nak. Bagi ibu .. topik pembicaraan bukanlah hal yang penting!. Kesabaranmu untuk mau mendengarkan dan menemani ibu ngobrol, itu saja sudah membahagiakanku.”

“Jangan tertawai ibu, di saat ibu kebingungan menggunakan HP yang baru saja kamu belikan. Katamu alat ini lah yang bisa mengobati rasa kangen ibu padamu nak. Tapi ma’af ibu bingung ... dan gak pandai menggunakannya.”

Ah ibu, ada-ada saja!. masa pakai HP saja tidak bisa?. Mungkin anakku yang terkecil lebih pandai menggunakan HP dari pada ibu. Kenapa aku sering ‘ketus sekali pada ibu?. Dulu semasa aku kecil, ibu tak pernah ketus menjawab setiap pertanyaanku, kenapa begini, bu?. mengapa bisa begitu bu?. Seperti sebuah encyclopedia ibu telah memuaskan rasa ingin tahuku.

“Jangan bersedih, nak ... bukankah setiap yang hidup akan mati?, setiap yang ada lalu tiada?. Semakin hari ibu terus beranjak tua dan selalu akan merepotkan dan menyusahkanmu saja. Ibu selalu berdo’a agar ibu cepat dipanggil ... pulang dalam keadaan khusnul khotimah. Hapuslah air matamu, nak ... Bukankah kehidupan akan terus berputar seperti itu?. Kematian bukanlah perpisahan, kematian hanyalah jedah, tempat ibu istirah seperti bapakmu ... Apakah kamu tidak ingin berkumpul bersama-sama lagi di surga nanti?. Sudahlah!, air mata mu hanya menyiratkan ketidak yakinanmu akan ada alam lain selain alam fana’ ini. Muluskan dan lapangkan jalan ibu ‘tuk kembali dengan do’a dan kesabaranmu ... Berilkan kasih sayang kepada anak-anakmu sebagaimana ibu berikan kasih sayang yang tulus kepadamu ... .”

Aku sudah berusaha keras untuk tidak menitikkan air mata lagi. Iya ibu, kita akan berkumpul bersama lagi di surga nanti ...

Ma’afkan aku ibu ... ini tetes mata terakhir sebagai tanda keikhlasanku jika kelak Tuhan menjemputmu.

*****

Saat Ibuku Beranjak Tua, 221212

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun