Hei raja, enyahlah kau dari hadapanku!. Teriak filsuf itu pada raja.
filsuf itu atau mungkin lebih pantas disebut seoarng gipsy. Kata-katanya bertuah, ia bisa menyembuhkan orang sakit hanya dengan kata-kata. Ia bisa memberikan spirit kepada orang-orang hanya dengan kata-kata. Setiap kata yang diucapkannya adalah mantera. Mantera bagi orang-orang yang mau mencari arti dari kata-katanya.
Sang filsuf tengah berendam di bak mandi ketika itu raja datang bersama rombongannya.
Pantaskah kau menghalangi pandanganku wahai raja?.
Akulah rajamu yang lebih pantas kau pandang!. Teriak raja pula.
Tahukah kau apa yang sedang ku pandang?. Poros hidup.
Bukankah aku poros hidupmu?. Yang bisa menentukan mu mati atau hidup. Kata raja sombong.
Aku atau kamu sekalipun bukanlah poros hidup. Aku sedang memandang matahari poros hidupku dan kamu wahai raja.
Pengawal tangkap gembel itu!, bakar di alun-alun untuk menjadi kisah bagi orang-orang yang menghina raja.
Pilsuf gembel itu disalib pada sebuah tiang kayu. Dibawahnya telah bertumpuk rapi kumpulan kayu-kayu yang telah siap membakarnya.
Pesan terakhir apa lagi yang akan kau sampaikan?. Tanya sang pendeta sebelum membacakan do'a kematian.
Wahai raja!, engkaulah raja di raja jika engkau bisa menerbitkan matahari di ufuk barat dan menenggelamkannya di ufuk timur?.
Aku akan tunduk padamu, jika kamu sanggup wahai raja.
Ditantang seperti itu, raja cuma diam.
Bagaimana kau akan sanggup, sang mataharinya pun tak sanggup memindahkan dirinya sendiri.
Filsuf gembel itu semakin mengoceh tak karuan.
Benar Copernicus bilang, bumi itu bulat bukan datar. Aku, kamu dan bumi yang kita tempati ini mengitari matahari. Mataharilah poros kehidupan alam semesta, bukan manusia atau kamu wahai raja.
Raja mendengar itu semakin marah.
Bakar!. Perintah raja kepada si penyulut api.
Si penyulut mulai menyulutkan api yang ada disusunan paling bawah. Api mulai menyebar.
Filsuf itu semakin semangat berteriak.
Apakah kamu pikir kamu akan hidup selama-lamanya wahai raja?.
Aku, kamu dan matahari adalah ada dari ketiadaan.
Yang pada akhirnya pun akan tiada kembali.
Api mulai menjilati kayu-kayu yang ditapaki filsuf itu.
Wahai raja, Kau bisa membakarku tapi tidak kata-kataku.
Ia akan tetap hidup, karena kata-kataku adalah cahaya yang akan membakar semangat rakyatmu. Selalu hidup dan terus hidup.
Kini tinggal puing-puing hitam dan abu sang pilsuf yang bertebaran di tiup angin.
Rakyat yang menonton mulai membubarkan diri. Pulang dengan membawa sedikit cahaya, sedikit api keberanian.
Dua tahun kemudian raja tersebut digulingkan oleh rakyat yang berani merubah nasibnya, berani melawan kesewenang-wenangan.
Sang filsuf telah pergi selamanya, walaupun tanpa monumen untuk mengingatnya namun kata-katanya terus menghujam pada jiwa-jiwa yang berani.
Kutu Kata, Filsuf Dan Raja, 19062012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H