Setiap akhir tahun pendidikan, hampir semua  siswa termasuk orang tua  ketar ketir  menanti hasil pendidikan anak mereka. Apakah hasilnya baik atau justru kebalikannya, apakah naik kelas atau harus mengulang lagi?
Ada satu hal yang paling tidak menarik dan paling ngak jelas menurut saya dalam setiap kenaikkan kelas,  RANGKING  atau Peringkat. Banyak orang tua  masih menganggap rangking adalah ukuran kepandaiaan seorang anak  padahal jika kita telusuri  rangking dapat di create dengan berbagai  alasan  mulai dari kedekatan, kontribusi, dan posisi dari orang tua dengan pihak sekolah dan guru wali kelas.
Saya yakin banyak orang tua yang tidak sependapat dengan hal ini, namun  banyak juga orang tua yang  mengakui hal tersebut. Mengapa pendidikan di Indonesia masih menempatkan  rangking/peringkat sebagai  ukuran kepandaian seorang siswa padahal  banyak anak yang  berperingkat rendah di kelasnya ternyata  memiliki kemampuan penguasaan pelajaran dan tingkat iq yang jauh lebih  baik dibandingkan juara dikelas itu sekalipun.
Anak saya adalah contoh korban perangkingan  seperti itu sejak dia masuk Sekolah Dasar hingga saat ini dia di SMU, banyak juara juara kelas yang ternyata kemampuannya jauh dibawah anak saya  dan itu terbukti saat Ujian Nasional (UN)  dilaksanakan baik itu pada jenjang SD maupun SMP  anak saya selalu menjadi  siswa dengan  nilai UN yang memuaskan jauh diatas juara juara kelasnya..Â
Sistem Ranking  atau pemeringkatan mungkin akan baik jika ditujukan untuk mengasah kompetisi antar siswa  namun itu hanya dapat dilakukan jika penilaian yang dilakukan oleh guru dan wali kelas  benar benar objektif bukan berdasarkan kontribusi, kedekatan dan posisi orang tua siswa tersebut.
Sistem  pemeringkatan yang tidak objektif  bukan hanya akan membuat banyak persaingan tak sehat untuk memperoleh rangking, namun lebih jauh lagi akan sangat berbahaya untuk semangat  belajar anak kita  jika mengetahui bahwa temannya yang paling "bodoh" disekolah yang setiap ulangan selalu di remedial ternyata bercokol  jauh diatas anak anak yang  memiliki nilai bagus setiap ulangannya.
Lalu masih pentingkah rangking jika hanya akan membuat  murid tidak semangat dan orang tua  menghalalkan segala cara agar si anak bisa mendapat rangking yang baik dan menyuburkan  gerakan KKN di antara guru dan orang tua??
Mengapa tidak cukup dengan pernyataan  Naik Kelas / Tidak Naik Kelas di Raport, sementara rangking  cukup ditentukan pada akhir masa kelulusan berdasarkan  hasil UN saja?
Maaf untuk Bapak dan Ibu Guru semua,  itu adalah  opini saya terhadap ketidak jelasan  pemeringkatan yang ada  dan sebaiknya pemerintah segera merevisi sistem pemeringkatan tersebut agar  siswa dapat belajar denga baik tanpa ada kekecewaan atas hasil  usahanya yang seolah olah tidak dihargai oleh guru dan wali kelas.
Beruntung bagi siswa yang  memiliki orang tua  yang tidak menilai rangking sebagai ukuran  kepandaian dan keseriusan belajarnya, namun seberapa banyak tipe  orang tua seperti itu?
Mengapa kita tidak belajar dari negara negara lain di luar sana yang sistem pendidikannya lebih  maju, yang tidak pernah mencantumkan rangking pada  raport  anak anaknya, sehingga tidak menimbulkan beban tersendiri bagi kejiwaan  siswa tersebut. Mudah mudahan  sistem tersebut segera diperbaki dan  menjadikan  siswa lebih enjoy dan tidak terbebani dalam  belajar.