Mohon tunggu...
Ar Kus
Ar Kus Mohon Tunggu... karyawan swasta -

senang berpikir apa adanya dan adanya apa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Beda Pemikir Bebas dengan Agamawan

28 Desember 2012   07:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:54 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan itu unik. Makhluk hidup itu unik. Manusia itu unik. Saking uniknya, masih banyak aspek yang belum kita mengerti dan pahami dari makhluk bernama manusia. Beragam pengetahuan dan teknologi mencoba membedah apa dan bagaimana perihal manusia, tetap saja banyak hal yang masih misterius dan belum tergali dari dalam diri manusia.

Pada dasarnya perbedaan itu alami. Tak ada yang benar-benar sama persis dalam hidup ini. Bahkan dua orang manusia kembar sekalipun tidak ada yang benar-benar identik sama. Biologisnya mirip, tapi tetap tidak persis sama. Apalagi jika masuk ke alam rohaninya, kemungkinan akan jauh lebih berbeda lagi.

Begitu pula dalam ranah berpikir. Manusia memiliki latar belakang dan keyakinan yang berbeda sehingga pemikirannya pun tidak persis sama. Bahkan jika mereka saling bersetuju dalam suatu persoalan. Keduanya tetap memiliki persepsi yang berbeda dengan kesetujuannya tersebut.

Agamawan (teolog) dan pemikir bebas (freethinker) adalah kelompok pemikiran yang seringkali berlawanan atau berbeda pendapat. Mengapa ya seringkali berbeda? Apa yang menyebabkan pemikirannya berbeda? Darimana perbedaan pemikiran itu muncul? Mengapa kedua kelompok pemikir ini sering berhadapan pemikiran?

Hal ini beranjak dari dua paradigma berpikir yang berbeda, kita bisa melihat bahwa teolog adalah seorang believer dan pemikir bebas adalah seorang unbeliever, lebih jauh lagi pemikir bebas adalah orang yang skeptis. Seorang pemikir bebas bisa jadi ia seorang atheis, agnostik, maupun theis. Seorang teolog pastilah seorang theis tulen.

Paradigma berbeda mengakibatkan pola pikir juga berbeda. Pemikir bebas beranjak dari kesadaran bahwa proses berpikir tidak boleh dibelenggu oleh dogma. Secara umum, pemikiran bebas adalah sudut pandang filosofis yang berpendapat bahwa pemikiran harus dibentuk atas dasar logika, nalar, dan empirisme dan bukan atas dasar otoritas, tradisi, atau dogma-dogma lain.

Seorang pemikir bebas tentu saja tidak menyebut dirinya seorang unbeliever karena ini adalah sebuah kata negative, seorang pemikir bebas lebih menyukai kata-kata positif, yaitu: BEBAS. Seorang freethinker adalah seorang yang BEBAS dalam berpikir, BEBAS dalam bertanya, dan BEBAS dalam meragukan. Seorang pemikir bebas tidak terikat oleh dogma apapun.

Mohon diingat bahwa pengertian bebas di sini adalah bebas dalam arti berpikir, bertanya, atau meragukan sesuatu saja, bukan bebas dalam arti bertindak. Berpikir punya paradigma tersendiri dan bertindak pun punya paradigma tersendiri. Dua-duanya punya paradigma yang berbeda, sudut pandang yang berbeda, dan acuan yang berbeda.

Sebaliknya, pemikiran teolog tidaklah bisa sebebas seorang pemikir bebas pada umumnya. Seorang teolog terikat pada ajaran, kitab, dan apapun yang dilakukan oleh pencetus agamanya. Seorang teolog muslim akan terikat dengan apa yang nabi Muhammad ajarkan. Begitu pula dengan teolog Buddha, Kristen, Hindu, juga Konghucu, dan yang lainnya. Mereka terikat dan bahkan bergantung 100% pada dogma, tradisi, dan pemikiran yang berlaku dalam agamanya.

Pemikir bebas lebih cenderung berkiblat pada sains dan kemanusiaan, tapi pemikiran positif dari siapapun—termasuk dari kaum agamawan--tetap bisa diterima, sepanjang baik bagi kemanusiaan. Sebaliknya, pemikir bebas akan melawan agama, agamawan, dan bahkan Tuhan jika mereka menginjak-injak harkat dan martabat kemanusiaan.

Jika ada agamawan menggunakan instrument Tuhan untuk memaksakan, mengebiri, dan bahkan menindas kemanusiaan, seorang pemikir bebas tak segan-segan untuk merapat ke ateis, agnostis, humanis, maupun sekuleris, dan menggunakan pemikiran mereka untuk melawan kaum agamawan. Tentu saja, melawan dengan pemikiran. Pemikir bebas tak punya senjata, selain pena/keyboard.

“Kau bilang itu perintah Tuhanmu? Silahkan buktikan dulu bahwa Tuhan itu ada! Jangan-jangan apa yang kau anggap Tuhan itu adalah hantu. Dan…jika benar itu dari Tuhan, mana mandat yang Dia berikan sehingga kamu berhak mengatakan ini dan itu mengatasnamakan Tuhan. Benarkah kamu ditunjuk menjadi juru bicaranya Tuhan? Bagaimana kamu bisa membedakan itu berasal dari Tuhan dan bukan Tuhan?”

Sebaliknya, jika pemikiran kaum teolog mendorong pertumbuhan kualitas-kualitas kemanusiaan, dengan senang hati seorang pemikir bebas akan mendukungnya….secara gratis…tis…tis. Tanpa syarat dan tanpa embel-embel. Asalkan hal tersebut adalah benar merupakan yang terbaik bagi kemanusiaan. Kiblatnya adalah kepentingan kemanusiaan, bukan kepentingan yang lainnya.

Pemikir bebas akan selalu mengingatkan agama, agamawan, bahkan Tuhan (jika memang ada) bahwa fungsi agama adalah meningkatkan moralitas dan bukannya melanggar moralitas hanya karena mereka hendak memaksakan imajinasi mereka mengenai Tuhan mereka kepada orang/pihak lain yang berbeda Tuhan atau bahkan tidak memiliki Tuhan seperti halnya kaum atheis.

Pemikir bebas tidak berkehendak menghapuskan agama, profesi agamawan, dan bahkan Tuhan. Agama adalah buah pemikiran. Pemikiran tidak mungkin dihapuskan. Pemikiran tidak bisa dibunuh. Pemikiran akan selalu hidup dan terus hidup. Sepanjang manusia masih berpikir, berimajinasi, dan berharap, akan selalu ada agama. Agama akan selalu ada sepanjang masa, walaupun nanti mungkin tidak lagi disebut agama.

Pemikir bebas hanya berusaha mengingatkan bahwa tak ada kebenaran absolut dari pemikiran pribadi dan budaya—termasuk agama di dalamnya. Semua pemikiran adalah setara. Tak ada yang lebih antara satu dengan yang lainnya. Jika saja tafsiran agama kaum agamawan melewati batas demarkasi harkat dan martabat kemanusiaan, pemikir bebas siap mengkritisinya.

Kita memang tidak mungkin menyamakan semua perbedaan yang ada. Tetapi, pelangi menjadi indah justru karena warnanya beraneka ragam. Televisi berwarna jauh lebih indah disbanding televisi hitam putih. Kehidupan menjadi indah justru karena adanya beragam warna, beragam pemikiran, dan beragam kebutuhan. Hal terpentingnya adalah bagaimana menyajikan perbedaan tersebut--pemikiran di dalamnya--dalam harmoni yang indah.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun