Mohon tunggu...
Ar Kus
Ar Kus Mohon Tunggu... karyawan swasta -

senang berpikir apa adanya dan adanya apa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialog Theis dengan Atheis

28 Juli 2012   04:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:32 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada dialog menarik antara seorang atheis dan theis tentang kehidupan dan kematian, berikut petikannya:

Abim (Theis):

Hai masbro saya mau bertanya nih, untuk seorang atheis sebenarnya untuk apa kita hidup dan jadi apa kita setelah mati? Top of Form

Abam (Atheis):

Jadi apa setelah mati? Ya tergantung cara matinya deh, umumnya setelah mati orang akan membusuk, terurai, dan kembali menyatu dengan alam. Adapula yang dibakar kemudian menjadi debu lalu disebar atau dikubur yang berarti kembali menyatu dengan alam. Semua makhluk yang mati pada dasarnya akan kembali menyatu dengan alam. Kembali kepada induknya.

Terkait pertanyaan untuk apa kita hidup sangatlah berbeda-beda dari individu ke individu. Sangat tergantung terhadap bagaimana cara kita memaknai hidup ini.

Abim:

Kalau kita mati hanya menjadi mayat, membusuk, dan kembali menyatu dengan alam kenapa kita harus capek-capek bekerja, mengejar kesuksesan, berbuat baik, dan lain sebagainya? Kenapa kita tidak hidup abadi?

Abam:

Karena aku ingin kehidupan yang nyaman, aman, sehat, berbahagia, dan bermanfaat bagi lingkungan. Aku tidak mau sebelum mati tercatat sebagai parasit di dunia ini. Aku tidak mau tercatat sebagai makhluk tak bermanfaat.

Lagipula aku ingin memberi kehidupan yang baik dan aset yang cukup bagi anak-anakku untuk berkembang. Aku ingin memastikan pada anak-anak dan keturunanku, bahwa genku terus hidup abadi.

Selain itu, keabadian bagiku adalah jika kebaikanku dikenang. Keabadian adalah jika pemikiran-pemikiranku masih digunakan. Boleh saja tubuhku hancur dan menjadi debu kosmik, tapi namaku mudah-mudahan tetap dikenang, tetap abadi.

Abim:

Hmm.. kalau begitu apa Anda tidak merasa kehidupan Anda menjadi sia sia belaka?

Abam:

Kenapa sia-sia? Jika kita memiliki kehidupan yang baik, bermanfaat, diingat orang jasa-jasanya, berketurunan yang baik dan bermanfaat pula. Bukankah ini jalan hidup yang indah? Ketika matipun pasti aku dalam keadaan puas. Hal yang paling indah bagiku adalah menjadi manusia baik, bermanfaat, dan dikenang kebaikan dan jasa-jasaku. Ini adalah kemewahan hidup bagiku. Sama sekali tidak sia-sia. Apanya yang sia-sia?

Abim:

Jadi, Anda cukup puas dengan kehidupan Anda jika kondisinya seperti itu? Ibarat game-kan, Anda yang sedang di level tertinggi tiba-tiba mati dan menghilang..apakah seperti itu saja puas?

Abam:

Mati itu sesuatu yang sangat normal dan pasti terjadi pada siapapun dan makhluk hidup apapun. Nikmati saja prosesnya. Jika anda bermain game, proses gaming-nya kan yang Anda nikmati? Sudah mendapat ini itu dalam game itulah kenikmatannya. Setiap game kan ada game over. Setelah game over kan ga ada apa-apa lagi.

Abim:

Tapi jika pola pikirnya seperti itu... bukankah manusia itu tidak pernah puas? Mungkin Anda puas jika hidup dengan pola hidup seperti itu, tapi bagaimana dengan yang lain? Trus bagaimana juga tolak ukur menjadi manusia bermanfaat menurut Anda?

Abam:

Soal pola pikir orang lain saya tidak tahu. Tolok ukur bermanfaat ya pada intinya menghasilkan sesuatu yang bisa dimanfaatkan orang lain. Saya punya bisnis dan itu membawa manfaat bagi kostumer, karyawan, dan supplier. Inilah kepuasan hidup saya. Tapi, pada dasarnya setiap orang bisa menjadi pribadi bermanfaat dengan beragam cara dan beragam kesempatan. Silahkan jadi pribadi bermanfaat dengan potensi pribadi masing-masing.

Abim:

Oke, sekarang apakah jika kepuasan seseorang itu dalam segi hal negatif, misal: dia seorang raja narkoba, tapi dia merasa puas, kemudian dia mati, apakah dia dapat dikatakan sudah mencapai tujuan hidupnya atau dia mati sia-sia?

Abam:

Jika si raja narkoba itu tujuan hidupnya jadi raja narkoba ya matinya puas-puas saja mungkin. Namun, orang-orang seperti itu sangat egois karena mengutamakan diri sendiri. Bagaimana dengan nama baik keluarganya setelah dia mati? Bagaimana masa depan anak-anaknya? Bukankah mereka semua dirugikan atas perbuatannya di masa hidup?

Tapi sekali lagi, saya tidak tahu pikiran orang lain. Makna hidup tiap orang bisa berbeda-beda.

Abim:

Hmm oke, jadi menurut Anda walaupun kita setelah mati tidak menjadi apa apa, tapi sangat perlu untuk meninggalkan manfaat untuk generasi berikutnya? Mulia sekali, kalau begitu apakah faktor kriminalitas itu berasal dari adanya suatu agama? Apakah kehidupan yang tidak menjalankan aturan yang dibuat oleh "tuhan" akan membuat dunia ini menjadi lebih baik?

Abam:

Ya nggak lah mas. Kriminal kan banyak latar belakangnya. Ada yang sakit jiwa, lingkungan, pergaulan, kebutuhan, dan lain sebagainya. Ada banyak sebab seseorang berbuat kriminal, dan itu bisa terjadi baik pada theis maupun atheis.

Pada dasarnya manusia tuh baik kok mas. Buktinya kita merasa iba kalau melihat anak nangis, merasa ngeri klo melihat orang dianiaya, dan geram kalau diperlakukan tidak adil.

Itulah insting survival spesies kita. Saling menyelamatkan sesama manusia. Atau altruism.

Dahulu agama memandu manusia untuk moralitas lokal, misalnya jangan membunuh, jangan menipu, jangan berzina, jangan mencuri, dan seterusnya. Karena tidak ada perangkat hukum yang baku maka reward/punishment-nya adalah dosa/neraka dan pahala/surga. Masalahnya, kriterianya tidak terlalu jelas. Sekarang ini sistem hukum sudah cukup bagus sebagai panduan kita berperilaku.

Di masa lalu agama mungkin sangat diperlukan, tapi di masa kini dan apalagi di masa depan agama sudah tidak lagi diperlukan.

Abim:

Hmm, apakah Anda sekarang ini masih menjalankan "aturan" agama? Aturan loh ya.. karena saya tahu Anda tak mungkin dari bayi langsung atheis.. dan jika Anda melakukan tindakan kejahatan ketakutan apa yang anda rasakan.. takut karena dosa atau melanggar hukum?

Abam:

Ya kita selektif saja dalam berperilaku. Jika ada ajaran yang baik ya dipraktekkan. Jika ada yang buruk ya jangan. Anjuran untuk berolahraga itu bagus, ya dipraktekkan.

Sekarang saya masih bangun subuh. Puasa juga masih saya lakukan, karena menurut saya cukup bermanfaat. Diet vegetarian juga bagus jadi dipraktekkan sekali-kali.

Soal kejahatan, saya belum pernah melakukan sih. Tapi pelanggaran ya sering, misalnya gak pakai seat belt atau melanggar lampu merah, dan seterusnya. Rasanya ya was-was dan ada rasa bersalah.

Ada atheis yang baik dan ada juga yang jahat...begitu juga theis yang baik dan ada juga yang jahat.

Abim:

Jadi, atheis itu manusia biasa....atau manusia super?

Abam:

Siapa bilang atheis manusia super? Atheis emang manusia biasa koq. Cuman tidak terikat lagi dengan dogma agama, hanya terikat dengan moralitas, rasa kemanusiaan, dan hukum-hukum negara... tuhan dan dewa-dewa cukup jadi dongeng saja.

Abim:

Oke cukup, jadi Anda yang atheis bisa menjalani hidup tanpa aturan agama dan tetap berbuat kebaikan dan bermanfaat untuk sesama, baguslah kalau semua atheis punya pola pikir seperti Anda.

Tetapi saya lebih suka hidup dengan berpedoman pada ajaran agama, memang sih pahala dan dosa itu konsepnya abstrak tidak bisa dilihat secara nyata, tapi itulah gunanya iman, ya kan? Karena jika saya tidak punya tuhan, saya bakal hidup sesuka saya saja, tidak takut melakukan apa pun. Berpatokan pada hokum negara? Saya piker hokum negara tidak cukup kuat untuk mengekang seseorang dari tindakan kejahatan. Apalagi di zaman hukum bisa dibeli seperti saat ini.

Ketakutan yang datang kepada saya jika tidak bertuhan adalah ketika saya akan mati, karena kesenangan dunia saya bakal berakhir dan saya jadi mayat, apalagi jika tidak jadi apa-apa di kehidupan saya selanjutnya...

Nah, saya rasa cukup, kita akhiri dengan hamdalah.

Abam:

Alhamdulillah.

***

Mksh buat abam dan abim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun