Suatu saat saya berbincang tentang tafsir menafsir Alquran dengan seorang kawan.
“Sekarang ini banyak yang menyebut dirinya ahli agama Islam lalu mereka membuat tafsir-tafsir kitab suci yang aneh-aneh”
“Tafsir aneh-aneh itu yang gimana bro?”
“Ya …tafsiran kitab suci yang maknanya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan tafsir ulama sebelumnya. Kadang mereka menyebut tafsirannya sebagai tafsir kontekstual, tafsir kasuistik, tafsir sosiologis, tafsir simbolisme, tafsir ma’nawi, atau apalah itu yang lainnya. Nah, menurut antum ada tidak sih tafsir yang paling otoritatif?”
“Tafsir paling otoritatif? Kayaknya tidak ada ya, mulai dari tafsir Thabari sampai tafsir Quraish Shihab tidak pernah tuh mereka menyebut tafsirnya sebagai yang paling otoritatif.”
“Jadi, setiap orang boleh menafsirkan kitab suci donk?”
“Sepanjang punya ilmunya boleh saja. Namanya ijtihad. Kalau tafsirannya benar ia dapat nilai 2 kalau salah ia dapat nilai 1.”
“Wah, pikiran ente kayak orang-orang JIL?”
“JIL-nya si Ulil…? Hihihi….tepatnya…bukan. Ane bukan simpatisan JIL tapi simpatisan JIN”
“Ah yang bener, apaan tuh JIN, apa maksudnya setan atau genderuwo?”
“Bukan lah…”
“Jadi?”
“JIN = Jamaah Islam NU”
“Oaalah…maksa amat”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H