"Bu guru, Adi nakal!"
"Minumku mana!"
Itulah sambutan siswa kelas satu yang dirindukan.
Pagi itu, selepas bertemu guru kelas satu, saya diantar ke perpustakaan sekolah salah satu SD Negeri di Kabupaten Sidoarjo. Riuh rendah suara siswa itu entah membicarakan apa. Oh, bukan membicarakan, tetapi entah meneriakkan apapun.
"Buuu guruuu!"
Saya mendampingi ibu guru kelas satu, berkegiatan di perpustakaan sekolah. Jadwal guru membacakan buku secara nyaring satu minggu satu kali. Satu kegiatan membaca yang -- bagi guru kelas satu dan kelas enam -- dianggap menyulitkan. Membacakan buku kepada siswa kelas satu: merepotkan! Membacakan buku kepada siswa kelas enam: membikin kecut hati karena kritikan mereka. Dalam konsep Whole Language (salah satu pendekatan pengajaran Bahasa), membaca nyaring membantu siswa mempelajari aspek bahasa: mengenal bunyi sebagai produk berbahasa. Sebagai catatan penting, sebaiknya membaca nyaring (juga jenis membaca yang lain) dilakukan di perpustakaan.
Begitulah. Saat guru kelas satu itu benar-benar membacakan buku secara nyaring, siswa mulai mengeluh, berlarian, berteriak, dan tentu menangis! Dengan senyum tipis dan pandangan yang mudah ditebak, ibu guru itu mengisyaratkan SOS: bantuan untuk menangani siswa-siswanya. Saya dan dua guru yang lain segera membantu mengendalikan siswa agar kembali memerhatikan. Lima menit selanjutnya, ibu guru tersebut mampu menarik perhatian siswa dengan permainan intonasi dan ekspresi wajah yang bervariasi. Usahanya tidak sia-sia, dia berhasil menghidupkan teks (kata, kalimat pendek, dan onomatope) menjadi bunyi yang harmonis layaknya siswa berada di dalam cerita tertulis.
Guru kelas membaca nyaring di perpustakaan bukan satu kebiasaan di sekolah di Indonesia. Kebiasaan di Indonesia adalah siswa yang diminta membaca nyaring di depan kelas tanpa model dari gurunya. Selain itu, perpustakaan juga bukan sebagai tempat khusus di mana siswa mendapatkan paparan teks yang melimpah. Guru membaca nyaring (termasuk jenis membaca yang lain) masih menjadi kegiatan yang dipandang tanpa makna dan terlepas dari konsep pengajaran berbahasa. Demikian pula dengan perpustakaan sekolah. Perpustakaan dianggap sebagai peti es yang tidak mendatangkan kebaikan. Sejatinya, perpustakaan sekolah merupakan lembaga di bawah sekolah yang harus tumbuh menyesuaikan dengan lembaga induknya. Dalam konsep perpustakaan ramah anak (disingkat PERAN), guru membaca nyaring di perpustakaan merupakan representasi orang dewasa yang harus mendampingi siswa-siswanya (anak). Â Â
Satu indikator perpustakaan ramah anak terpenuhi: keberadaan orang dewasa, dalam hal ini guru mendampingi kegiatan membaca di perpustakaan. Tentu saja masih ada beberapa indikator lain yang menjadi ciri khas perpustakaan ramah anak. Bagaimana dengan desain rak buku cetak? Dapat dipastikan bahwa dimensi rak buku akan setinggi anak kelas enam (tinggi normal) atau antara 140 - 150 cm. Selain dimensi tinggi rak, dimensi lainnya adalah lebar rak. Lebar rak buku PERAN tidak jauh berbeda dengan ketinggiannya. Dengan dimensi seperti itu, rak buku cetak mudah dipindahletakkan sesuai keinginan petugas perpustakaan, guru, dan siswa. Selain dimensi rak di atas, desain rak buku cetak perpustakaan ramah anak cenderung mengutamakan desain pajangan seperti halnya desain rak majalah. Inilah indikator kedua. Â
Buku, dalam hal ini buku cetak, merupakan urusan terpenting perpustakaan. Kebijakan pengadaan koleksi bukan asal memeroleh koleksi. Dalam PERAN, koleksi buku yang ditekankan adalah buku bermutu. Buku yang siswa (anak) ingin membacanya tanpa paksaan. Buku bermutu dapat juga disebut sebagai buku yang ramah cerna. Selain bergambar dan terukur keterbacaannya, buku bermutu adalah buku berjenjang. Dengan jenjang, siswa dapat menemukan buku yang sesuai dengan kemampuan membacanya. Perlu diketahui bahwa kemampuan membaca tidak sama dengan jenjang kelas. Kebijakan pengadaan koleksi harus mempertimbangkan buku bermutu sebagai koleksi. Inilah indikator ketiga. Â Â
Selanjutnya, indikator penting terakhir yang dibahas dalam tulisan ini adalah warna ruangan perpustakaan dan tata letak rak buku. Sudah jamaknya jika warna ruangan akan memengaruhi perasaan siswa. Karena itu, sudah seharusnya sekolah mempertimbangkan desain warna ruangan perpustakaan. Gambar tematik dan permainan warna akan menjadi keunikan tersendiri bagi perpustakaan sekolah. Selain gambar dan permainan warna, konsep PERAN juga mempertimbangkan keseimbangan ruang baca siswa dan jumlah rak yang dapat disediakan. Adalah menyesakkan memenuhi seluruh ruang perpustakaan dengan rak buku tanpa menyediakan ruang baca bagi siswa. Apalagi jika ruang perpustakaan yang dimiliki sekolah luasnya standar: 7 x 8 meter persegi itu. Â Â