Mohon tunggu...
Kus Wanda
Kus Wanda Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Owner Travetour

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Momentum Perbaikan Komunikasi Orangtua - Remaja

5 Oktober 2013   10:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:58 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380946193895083274

[caption id="attachment_283251" align="alignleft" width="210" caption="Gbr: cingmeucakan.blogspot.com"][/caption]

Seiring dengan banyaknya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor dibawah umur (pelajar), banyak sekolah (terutama di perkotaan) yang sudah secara resmi mengeluarkan larangan membawa sepeda motor sendiri ke sekolah kepada siswanya yang belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Kalau sebelumnya baru sebatas himbauan, sekarang sudah banyak sekolah yang merazia siswanya digerbang sekolah. Siswa yang kedapatan belum  memiliki SIM dan membawa sepeda motornya ke sekolah, pihak sekolah langsung meminta orangtua siswa untuk datang mengambil kendaraan yang dibawa anaknya.

Meskipun mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari orangtua siswa, tentu kebijakan sekolah ini perlu mendapat apresiasi yang baik. Sekolah punya tanggungjawab moral untuk menjaga anak-anak generasi penerus bangsa ini agar dapat meneruskan perjuangan pendahulunya dengan baik. Jangan sampai ribuan nyawa calon penerus bangsa ini melayang sia-sia karena keteledoran kita orang tuanya, baik orangtua di rumah maupun sebagai orangtua disekolah.

Mengapa anak-anak sekolah yang notabene belum memiliki SIM diizinkan oleh orangtuanya membawa kendaraan bermotor ke sekolah? Tentu banyak jawabannya, alasan yang paling umum diberikan saat penulis berkomunikasi dengan orangtua siswa adalah: PENGHEMATAN & WAKTU.

Salah seorang wali siswa mengilustrasikan, dengan jarak tempuh dari rumah ke sekolah sekitar 6 km, anaknya harus naik angkutan kota (angkot) dua kali dengan ongkos masing-masing 3 ribu rupiah. Adapun waktu yang diperlukan normalnya 45 menit. Total ongkos yang harus dikeluarkan setiap hari berarti 12 ribu rupiah. Agar bisa tepat waktu datang ke sekolah, misalnya maksimal 15 menit sebelum bel masuk jam 07.00, maka anaknya mesti berangkat dari rumah jam 06.00. Tapi itu bisa jadi terlalu mepet, karena seringkali waktu yang diperlukan lebih dari 1 jam, entah itu karena macet atau angkotnya banyak ngetem ditiap gang.

Atas pertimbangan itulah kemudian orangtua siswa ini mengizinkan anaknya membawa sepeda motor ke sekolah, meskipun dengan sadar sang bapak tahu anaknya belum cakap untuk mengemudikan sepeda motor baik karena faktor usia maupun keterampilan. Demi PENGHEMATAN & WAKTU, sang bapak mengabaikan kekhawatirannya dengan mengedepankan logika perhitungan matematis. Coba saja bandingkan, ongkos satu kali jalan pulang pergi naik angkot sebesar 12 ribu, cukup untuk bensin selama seminggu menggunakan sepeda motor (kalau hanya digunakan pulang pergi sekolah). Waktu yang diperlukan pun maks 30 menit. Lebih CEPAT, lebih HEMAT, demikian bapak ini berargumen.

Kemacetan dan angkot ngetem di tiap gang, memang menjadi salah satu alasan yang menjadikan para pelajar enggan naik angkot saat pergi ke sekolah. Namun tulisan ini tidak bermaksud membahas masalah tersebut biarlah itu menjadi bahan tulisan kompasianer lain yang lebih punya pengetahuan.

Tulisan ini hanya memberikan sedikit gambaran betapa pelarangan siswa membawa sepeda motor ke sekolah bisa jadi sebuah momentum yang baik. Katakanlah bahwa permasalahan angkot/angkutan masal sulit diselesaikan dengan cepat oleh para pemangku pemerintahan, sehingga solusi pergi ke sekolah yang HEMAT & CEPAT ya menggunakan sepeda motor. Apakah tidak sebaiknya anak-anak kita diantar jemput oleh ibu/bapaknya. Akan ada banyak manfaat ketika orangtuanya dengan setia mengantar atau menjemput anaknya disekolah. Kita bisa memantau terus aktivitas anak dan memastikan tidak ada hal-hal negatif yang dilakukan anak kita di luar sekolah. Selebihnya tentu komunikasi anak dengan orangtuanya akan lebih terjaga, karena interaksinya intens dan kuat.

“Kapan dewasanya anak kita?” demikian beberapa orangtua siswa beralasan. Tingkat kedewasaan tentu bukan hanya ditunjukkan ketika anak bisa pulang pergi sekolah sendiri.

“Kita kan kerja, udah gitu tempat kerja kita arahnya berlawanan”. Ibunya kerja juga, atau ibunya tidak bisa bawa sepeda motor. Solusinya mungkin bisa menggunakan ojeg, kalau berlanggananan tarifnya masih bisa lebih murah dibanding menggunakan angkot, CEPAT dan sedikit HEMAT. Pilihlah tukang ojeg yang sudah kenal baik.

Solusi kedepannya mungkin bisa mempertimbangkan lokasi sekolah anak kita yang lain (kalau yang sudah terlanjur tidak perlu pindah....hehehe) dekat dengan tempat kerja orangtuanya atau setidaknya satu arah, sehingga bisapergi bersama-sama. Ini malah bisa lebih HEMAT dan CEPAT. Sehingga larangan anak sekolah yang masih dibawah umur dan belum memiliki SIM membawa sepeda motor ke sekolah bisa jadi momentum untuk meningkatkan kedekatan dan komunikasi orangtua dengan anaknya, karena itu akan memberi pengaruh positif terhadap perilaku anak-anak kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun