Mohon tunggu...
kusumo suryoharjuno
kusumo suryoharjuno Mohon Tunggu... lainnya -

trainer pendidikan penulis buku best seller "ice breaker penyemangat belajar"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

ANAK BERPERILAKU BURUK DARI KEBIASAAN ORANG TUANYA

18 Januari 2014   06:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kali ini, bulan Desember tahun 2013 yang lalu saya di undang oleh Pengurus Organisasi Ibu Ibu Pejabat di Tasikmalaya Jawa Barat untuk memberikan seminar Parenting kepada ratusan ibu ibu pejabat mulai dari tingkat kelurahan hingga bupati di lingkungan PNS Tasikmalaya. Dalam seminar Parenting tersebut, acara yang dilaksanakan di Aula Pendopo Baru Bupati Tasikmalaya berjalan lancar dan seluruh Ibu Ibu pejabat yang hadir sangat antusias mengikuti acaranya hingga selesai.

Ada banyak kebiasaan orang tua yang dapat menimbulkan perilaku buruk pada anak, yaitu :

1.       Raja yang selalu benar

Ketika anak kita masih kecil dan belajar jalan, tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup…cup…diem ya… Akhirnya si anak pun terdiam.

Ketika proses pemukulan terhadap benda-benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak bahwa ia tidak pernah bersalah. Yang salah adalah bendanya. Itu kalau yang ditabrak benda, kalau yang ditabrak orang lain/kawannya, maka yang salah adalah orang lain/kawannya tersebut. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan, sanksi atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.

Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan kepada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarinya untuk tidak pernah merasa bersalah.

Solusinya:

Apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru belajar berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi, katakanlah kepadanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit) : “sayang, kamu terbentur ya, rasanya sakit, ibu turut prihatin, lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu, supaya tidak membentur lagi”

2.       Menghukum secara fisik

Dalam kondisi emosi, bias jadi kita cenderung menjadi sensitif oleh perilaku anak. Hingga pada akhirnya suara kita yang keras berubah menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak. Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan beringas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikanlah pada saat ia bersosialisasi dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli oleh orang tuanya di rumah.

Anak yang sejak kecil terbiasa dipukul oleh orang tuanya akan menyimpan dendam dalam batinnya. Dendam itu akan ia lampiaskan pada saat badannya mulai bertumbuh besar. Rasa dendam itu juga terkadang ia lampiaskan kembali pada orang tuanya sendiri, orang lain atau kawan sebayanya.

Solusinya :

Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, misal mencubit, memukul atau menampar, bahkan ada juga yang menggunakan alat seperti ikat pinggang, batang pohon atau rotan.

Anak kita adalah anak manusia yang telah dirancang oleh ALLAH SWT untuk bisa diatur dengan kata-kata. Bila kata-kata kita sudah tidak lagi didengar oleh anak, koreksilah segera diri kita, pasti ada yang salah dengan kebiasaan kita hingga anak tidak lagi menurut.

Seandainya dulu kita pernah diperlakukan demikian oleh orang tua kita, maafkanlah orang tua kita itu dan jangan lanjutkan kebiasaan yang sangat buruk ini pada anak kita. Hukuman pukulan lebih cocok kepada binatang daripada manusia. Gunakanlah media dialog, pujian dan kelembutan. Jika dengan cara dialog tidak berhasil maka coba evaluasilah diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan berulang-ulang hingga menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.

Catatan :

Jika kita dahulu pernah dipukuli oleh orang tua kita/diremehkan orang tua kita/anak manja/anak abk:tuna wicara dan tuna rungu

3.       Merendahkan diri sendiri

Apa yang kita lakukan sebagai orang tua ketika melihat anak kita bermain game dan mengalahkan jam belajarnya? Mungkin yang sering kita ungkapkan atau ucapkan kepada mereka, “Ayo, matikan gamenya itu. Awas ya, nanti dimarahi sama Papa kalo pulang dari kerja.” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figure yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman tadi adalah ketika yang ditakuti figure papa.

Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar telah mengajarkan kepada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan bermain game adalah sang papa. Artinya, figure yang hanya ditakuti atau dihormati adalah sang papa. Maka, sudah sangat jelas bila anak semakin tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tak mampu menghentikannya bermain game. Ini pula yang menjadi penyebab kenapa anak berani melawan mamanya dibanding papanya.

Solusi :

Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara, setelah siap, dekati anak, tatap matanya dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main game sekarang atau berikan pilihan, misalnya “Sayang, papa/mama ingin kamu sekarang belajar. Kamu mau belajar sekarang atau lima menit lagi? Bila jawabannya, “Lima menit lagi Pa/Ma.” Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit, kamu belajar ya. Tapi, jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama simpan gamenya hingga lusa.”

Setelah persis lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa kompromi dan tidak ada tawar menawar lagi. Jika si anak tidak menepati pilihannya, langsung laksanakan konsekuensinya segera. (bersambung)

Salam,

Kusumo, Trainer Nasional / Penulis Buku "Ice Breaker Penyemangat Belajar"

HP.085230129264

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun