TAK KENYANG MAKA TAK SAYANG
Kata para Cendekia “atom yang menyusun tubuh kita sama dengan atom yang menyusun satu gugusan bintang di seluruh jagad raya ini”. Jika ditelusuri lebih lanjut seluruh tatanan alam semesta ini secara fisik bersumber dari yang satu, yaitu kita kenal sebagai atom atau susunan unsur terkecil dari sebuah benda. Bintang sesungguhnya adalah satu gugusan galaksi yang memiliki tatasurya serta barisan planet-planet di dalamnya yang terlihat kecil jika dilihat dari bumi namun memberikan keindahan tertentu bagi suasana langit di kala malam cerah.
Kebutuhan fisik dipenuhi oleh unsur fisik, kebutuhan mental spiritual harus dipenuhi dengan ajaran, karena fisik kembali lagi ke unsur fisik alam, namun ajaran yang melekat bisa menjadi energi abadi bagi manusia lainnya yang hidup melanjutkan generasi baru dalam mengelola alam ini. Kenyang merupakan makhluk yang diciptakan dari reaksi fisik tubuh manusia jika telah cukup menerima asupan. Asupan fisik dalam bentuk makanan, asupan spiritual dalam bentuk ajaran. Wahhhh..., kecukupan lawannya adalah kekurangan, jika kecukupan nutrisi dan ajaran yang benar maka yang tercipta adalah keharmonisan atau kedamaian, sebaliknya jika kebutuhan fisik kekurangan nutrisi maka inharmonisasi lingkup kecil maupun besar terjadi dan pasti tidak sedap dipandang, apalagi dinikmati.
PARADIGMA TERBALIK
Tidak pernah ada sejarah yang menuliskan Negeri Nusantara sebagai negeri “multidaya” (istilah yang penulis buat sendiri karena bosan dengan istilah “adidaya”) ini mengambil dan mengeksploitasi kekayaan alam negeri orang lain, apalagi mengambil dan mempelajari ajaran sebagai khasanah nilai-nilai spiritual. Yang ada bahkan sebaliknya seluruh negara bangsa-bangsa lainlah yang menjalankan skenario baru dengan “memerdekakan” bangsa ini untuk menjadi daerah koloninya dan selanjutnya merekayasa penjajahan model baru yang sebenarnya bukan barang baru, karena peperangan secara fisik membutuhkan biaya yang amat besar dan kehilangan sumber daya manusia unggulan banyak terjadi di dalam perang fisik, toh hasil akhirnya sama saja penjajah menguasai sumber daya alam dan manusianya dengan mengendalikan sistem dan psikososio bangsa tersebut melalui cara-cara yang lainnya.
Kalau menurut pandangan teori atom tadi, peristiwa sejarah dan kondisi bumi (dunia) hari ini adalah wujud dari perilaku alam semesta baik secara fisik maupun spiritual, karena kebutuhan fisik Tanah Air dan ajaran negeri lain membutuhkan keseragaman nilai, dan kesetimbangan pun terjadi. Ada abad wilayah bumi Nusantara secara nilai sangat berpengaruh dan memiliki peradaban fisik tinggi, ada saatnya tidak. Sebenarnya tinggal kita lihat saja bahagian bumi mana yang memiliki tingkat kesejahteraan dan peradaban tinggi saat ini, itulah wajah Nusantara Dahulu kala. Dan sudah menjadi hukum pergiliran, jika ada satu peradaban baru yang muncul maka dia akan melampaui peradaban yang dilaluinya.
Ini penting, Jika dahulu kala kebutuhan fisik dan nilai-nilai ajaran kebenaran sejati yang menjadi motivasi mereka (penjajah) melakukan invasi dan jenis penjajahan lainnya sampai dengan hari ini bangsa lain terlihat lebih maju dibanding wilayah Nusantara itu wajar, karena mereka dahulunya miskin. Kita tidak perlu melakukan hal yang sama dengan penjajah untuk menggapai kedamaian dan kesejahteraan itu, cara Nusantara lebihberadab dari cara yang dilakukan oleh penjajah lainnya di negeri-negeri bangsa-bangsa itu.
KALAH TELAK
Merelakan sebuah bangsa merasakan peristiwa merdeka merupakan cara terbaik yang dilakukan penjajah untuk dapat “menang selamanya”. Contoh saja peristiwa kemerdekaan NRI (Negara Republik Indonesia) tahun 1945 yang patut juga kita syukuri karena peristiwa itu sangat bermakna bagi Bangsa Indonesia, namun setelah peristiwa itu sampai dengan hari ini kita masih meributkan masalah kemerdekaan, bahkan kedaulatan. Dalam topik ini kita tidak perlu mengungkap kekurangan-kekurangan bangsa ini (silahkan cari di internet) karena kita seharusnya mendaulat daya pikir kita untuk sadar dan berkarya terus sesuai dengan nilai-nilai kebenaran sejati yang berlaku universal.
Pertama kali saya belajar membaca tulisan huruf sekitar umur 5 tahun, yang diajarkan oleh guru adalah pengenalan keluarga, contoh “ini bapak”, “ini Ibu”, selanjutnya “ini Budi” yang menjadi sorotan adalah kalimat selanjutnya “Ibu membeli bla bla bla”, “bapak membeli bla bla bla”, “Budi membeli bla bla bla”. Apa yang tertanam di benak saya disadari maupun tidak adalah kata Budi dan Membeli. Dalam kurun waktu 1 generasi maka mayoritas pemuda bangsa menjadi masyarakat yang konsumtif, karena Budi=Budi Pekerti, Membeli=sifat konsumtif, jadi penanaman karakter konsumtif telah dilakukan lewat sistem pendidikan kita di sekolah.
Hal kedua yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah ternyata mempercepat anak belajar membaca (dalam arti membunyikan huruf) adalah pintu para penjajah secara leluasa menyemai bibit ideologinya sehingga semua opini yang tidak murni ajaran universal dapat masuk menguasai pola pikir, lebih hebatnya lagi dunia akademis hari ini dalam level tertentu menggunakan cara “referensi” sebagai acuan sebuah karya yang mayoritas adalah bukan orang bangsa Nusantara.
Hal ketiga adalah masalah impor, dalam tulisan ini impor yang kita bahas adalah impor produk “intangible” atau impor barang yang tak kasat mata adalah impor ajaran atau kepercayaan, atau ideologi, atau agama pagan. Tidak bisa dipungkiri, dari seluruh sumber sejarah dan bukti-bukti peninggalan arkeologi Bangsa Nusantara telah memiliki nilai spiritual yang tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan (dalam bahasa mana pun, atau sebutan apa pun), memiliki adab terhadap sesama manusia yang hebat, dan tata kelola pemanfaatan alam sebagai wujud pengabdian demi keadilan serta kesejahteraan telah terbukti memiliki masa gemilang. Bahkan kekuatan militer sehebat Kerajaan Mongol pun tidak dapat menembus kehebatan armada maritim Nusantara pada zamannya. Menjadi manusia yang dapat diterima sebagai masyarakat global menjadi tantangan tersendiri untuk bangsa ini, karena masalah impor kepercayaan yang model seperti ini tidak henti-hentinya mencari celah untuk dapat masuk.
Hal keempat adalah masalah pangan, (lagi-lagi kalau mau mencari data tentang permasalahan pangan di bangsa ini silakan cari saja di internet yaa...), belajar dari salah satu ahli pertanian di lahan gambut Kalimantan Tengah sambil menjalani kehidupan sebagai petani sesungguhnya mempunyai makna tersendiri yang tidak kalah hebatnya dengan pengalaman lainnya. Ada istilah yang popoler di salah satu orde bangsa ini adalah “RABI GABAH”. RA=Rabuk atau pupuk, BI=Bibit, GA=Garapan/lahan, BA=Banyu atau air, H=Hama dan penyakit. Pupuk menjadi tumpuan utama bagi para petani dalam menutrisi media tanam agar tumbuhan menghasilkan panen sesuai dengan harapan. Hari ini petani lebih memilih menggunakan pupuk kimia ketimbang pupuk organis yang alamiah dengan alasan mengejar produksi keuntungan dan alasan lainnya.
LANGKAH KENTARA SEBUAH KEDAULATAN
Setelah cukup umur untuk memahami permasalahan bangsa ini, tahapan selanjutnya dari pribadi yang sadar adalah menentukan arah dan melangkah dengan program konkrit. Melihat potensi luas lahan yang dimiliki Nusantara ini, jenis-jenis tanah serta kelebihan dan kecocokannya untuk jenis komoditi pangan membuat ragam potensi yang akan dikembangkan sangat bervariasi. Pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan dengan segala teknologi sederhana sampai metodologi modern dapat menjadi pilihan, juga menjadi tantangan untuk terus belajar sampai dapat menjadi keluarga, komunitas yang mandiri. Secara mendasar dari ‘RA’ (Rabuk/Pupuk) yang kita gunakan diproduksi secara mandiri, memiliki ternak sendiri, mengelola pupuk tersebut bukan hanya di satu titik namun di seluruh penjuru negeri dapat membuat inspirasi baru bagi petani bahkan orang yang menganggap bertani itu profesi yang nomer 2. Tidak terprovokasi oleh jajahan para ‘pengiklan’ pupuk bermerk, bibit bermerk, dan hal-hal lain yang menjanjikan hasil produksi pangan meningkat.
Banyak ‘BI’ (Bibit) yang beredar di pasaran telah direkayasa genetiknya sehingga bibit yang kita beli dari perusahaan ternama tidak bisa dijadikan bibit kembali setelah tanaman pangan tumbuh satu musim, fungsi regeneratif dari bibit tersebut telah dimatikan sehingga setiap kali ingin menanam petani harus terikat dengan bibit produk luar tersebut. Lets Be Smart Guys! Perhatikan tanaman lingkungan sekitar kita, dari mana tumbuhan itu berasal apakah dari biji, umbi, batang, bunga, atau yang lainnya. Jadi tidak perlu semua dibeli jika kita berniat menjadi suksessor dari program ketahanan kemandirian pangan, cukup membeli 1x bibit di pasar, tumbuhkan, panen, dan hasilkan bibit mandiri.
‘GA’ (Garapan) memang syarat mutlak untuk menumbuhkan atau memelihara sesuatu. Hari ini sudah banyak kita kenal berbagai macam bentuk dan cara menyediakan lahan garapan sampai ke lahan pekarangan rumah tersempit pun dapat dilakukan metode tanam vertikultur. Namun hal berbeda terjadi jika lahan yang kita miliki sangat luas bahkan bisa sampai ribuan hektar tentunya harus digarap dengan berbagai sumber daya yang dimiliki. Bagi yang memiliki halaman tanah yang luas agar tidak dijual kepada pihak lain untuk dijadikan supermarket atau bangunan kapitalis lainnya, gunakan lahan tersebut untuk menyediakan apa yang mereka makan dengan alami. Dari sisi akademisi juga banyak pandangan yang keliru tentang jenis dan kandungan tanah yang terpropagandakan sejak lama bahwa tanah merah (jawa) yang paling subur dan tanah gambut (Kalimantan) adalah tanah marginal dan tidak subur, sehingga mematikan iklim investasi di bidang pertanian di beberapa wilayah yang memiliki jenis tanah asam tinggi tersebut.
Ketersediaan ‘BA’ (Banyu/Air) sebagai sumber dari kehidupan mutlak terpenuhi pula sebagai pengairan, kebutuhan mineral untuk tumbuhan dan ternak. Perkara air pastinya seluruh manusia di Indonesia tidak tabu lagi mengenai kondisi yang berbeda jikalau musim berganti menjadi kemarau panjang, karena manusia bertindak dan hidup sesuai kehendak alam maka sudah sepatutnya manusia juga menyesuaikan kebutuhan air untuk kehidupan dan penghidupan lahan garapannya.
Mengenai ‘H’ (Hama/Penyakit) sudah menjadi bagian natural dari setiap makhluk hidup di alam ini, terutama pada tanaman, ternak dan yang lainnya. Sesuaikan potensi lahan garapan terhadap jenis tanaman yang akan dibudidayakan, lalu pilih level benefit yang akan didapatkan dari hasil panen tanaman/ternak tersebut. Setelah itu pilih jenis tanaman yang Kebal, Minim, atau rentan terhadap serangan hama/penyakit tersebut. Seluruh rangkaian rumus pasti alam semesta itu akan berlaku jika kita telah berada dan menjadi aktor dalam pengelolaannya, Untuk itu Bertanilah terlebih dahulu baru kemudian membentuk Kelompok Tani, Bukan sebaliknya membentuk Kelompok Tani terlebih dahulu tapi kita bukan petani yang sungguh-sungguh petani, bahkan lahan garapan saja belum kita miliki.
Kusuma Wicitra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H