Entah apa yang mendorongku untuk menulis semua ini, menulis tentang seseorang, orang yang asing bagiku, maksudku asing dengan kepribadiannya. Kurasa aku memang aneh. Bisa-bisanya aku menilai kepribadian seseorang yang tidak pernah kukenal, bukan benar-benar tak kenal, hanya sekedar tahu siapa dia, gerak-geriknya, sifatnya yang kulihat dari luar ,itu saja. aku belum sempat mengenalnya. Fath, dialah orang yang belum kukenal itu. Kali pertama aku melihatnya adalah saat aku mengikuti sebuah ekskul paling elite di sekolahku, saat itu Kami masih berstatus murid baru di SMA kami. Saat itu dia mampu menyikat habis pertanyaan yang diberikan oleh Pembina Ekskul tanpa menyisakan satu saja untuk yang lainnya, dan memang sepertinya saat itu tak ada yang mampu memecahkan soal tersebut. Sesuatu yang spektakuler kala itu pun terjadi. Fath muncul ke permukaan,memecahkannya dengan yakin,tenang dan terkesan santai. Ketika itulah aku melihat aura yang beda dalam sosok Fath.
Tingginya sekitar 165 cm, berat badannya cukup seimbang dengan tinggi badannya. Rambutnya hitam lurus dan selalu dipangkas cepak, kulitnya sawo matang khas Melayu, matanya yang sayu membuat pandangannya terkesan teduh. Dari sanalah aura keambisiusan terpancar. Jiwa pekerja keras sudah terlihat. Dialah Fath, setiap kedipan matanya, setiap simpul senyumnya, menyimpan berbagai hal. Sifat ambisius dan jiwa pekerja keras itu akhirnya membuahkan hasil. Posisinya di berbagai organisasi yang dia ikuti selalu baik. Tak jarang dia berada di jajaran atas di organisasi itu, dan itu artinya dia mampu melakukan sesuatu dengan baik. Meski begitu, dia sering terlihat sendiri, terkesan individual, dan terkadang seperti dijauhi teman-temannya. Dari itulah aku melihat lagi sesuatu dalam diri Fath. Terutama dalam senyumnya. Senyum ramah nan tulus yang di dalamnya terdapat suatu beban. Itulah Fath di tahun pertama ketika berada di SMA.
Kelas XI, kejayaan Fath mencapai puncak. Fath masuk program IA, di kelas unggulan pula. Kepandaiannya berorganisasi dan berbicara di depan umum hingga memikat semua warga sekolah dengan orasinya menjadikan dia terpilih sebagai Ketua OSIS, jabatan yang tak sembarangan orang dapat mendudukinya. Pada periode yang digawanginya itu, banyak tejadi pembaharuan di sekolah. OSIS cemerlang, prestasi Akademik pun tak mau kalah. Buktinya, tak jarang dia mewakili sekolah dalam berbagai event. Sempurna, itu kelihatannya. Tapi istilah no body’s perfect tetap berlaku. Aku tak pernah tahu ada apa di balik kesuksesannya.
Awal kelas XII, Fath dinobatkan sebagai Murid Teladan sekolah sekaligus Siswa berprestasi Tingkat Kota. Setelah Dia lengser dari OSIS, dia vakum dari segala kegiatan luar kelas. Mungkin dia fokus pada pelajaran, karena tak lama lagi Ujian Akhir akan digelar. Dan benar, kevakumannya membuahkan hasil. Nilai UAN-nya masuk jajaran The Big Five di sekolah, dia juga telah diterima di tiga Universitas terkenal sekaligus melalui jalur PMDK. Hebat.
Memasuki bangku Universitas, aku bingung, apakah ini sebuah kebetulan, keajaiban atau takdir? Fath masuk di Universitas yang sama denganku. Fakultas yang sama. Bedanya, dia bisa sedikit tenang karena masuk melalui jalur PMDK, sedang aku harus jungkir walik mengikuti SPMB. Jurusan yang kami ambil pun jelas beda. Fath mengambil Teknik Arsitektur, sedang aku diterima di Teknik Industri. Keadaan pun tak pernah berubah, kami tetap tak saling kenal seperti dulu. Meski begitu, entah mengapa aku masih selalu bisa mengamati segala sesuatu tentangnya. Tapi sungguh, aku tak bermaksud apa-apa. Semuanya mengalir begitu saja. Aneh memang.
Sepertinya, hoki Fath terletak di Organisasi, nyatanya dia semakin gencar saja ikut serta di berbagai organisasi. Meski gagal menduduki posisi Ketua BEM, dia berhasil merebut jabatan sebagai Sekretaris, dia aktivis setia Pers mahasiswa, Pecinta Alam dan sesekali di Teater. Di luar kampus pun dia masih sempat ikut sebuah LSM, Juga sebuah lembaga pengembangan bakat remaja. Malah sempat kudengar dia juga bekerja part time di sebuah Radio. Aku sampai heran, bisa-bisanya dia membagi waktu untuk semua itu di tengah kesibukan perkuliahan. Prestasinya pun makin cemerlang. Jika Kusebutkan satu per satu menurut sepengetahuanku mungkin tak akan cukup tempat, itu baru sepengetahuanku, belum lagi yang tak Kuketahui.
Memasuki semester akhir, ketika musim skripsi mencapai titik klimaks, kudengar dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan Program S2-nya ke Jerman. Saat itu pula dia telah direkrut oleh suatu perusahaan. Betapa bangganya Orang Tua Fath memiliki Putra seorang Fath, yang Shaleh, berotak Pentium tinggi, multi talent dan masih banyak lagi pesona yang dimiliki Fath. Tapi, dia tetaplah seorang manusia biasa, dia sama seperti kita, hamba Allah yang penuh keterbatasan, karena kesempurnaan hanya milik Allah.
Sesuai dengan namanya -Fath, yang berarti kemenangan- Kuharap suatu saat dia akan mendapatkan kemenangan itu. Yang jelas bukan saat ini, bukan di dunia ini. FathNur rasyid, si Shaleh nan cerdas itu telah mendahului kita menghadap Sang Khalik. Si Ambisius nan misterius itu tinggal kenangan. Fath telah pergi selamanya. Meninggalkan kenangan tersendiri bagi orang-orang yang mencintainya dan meninggalkan sejuta tanya untukku. Kepergiannya merupakan suatu kejutan untuk orang-orang di sekelilingnya. Sehari setelah diwisuda dan seminggu sebelum keberangkatannya ke Jerman. Saat itu dia bermaksud menghadiri pengajian yang diadakan LSM yang diikutinya. Namun naas, dalam perjalanan, motornya tertabrak truk. Ketika itulah, Fath memenuhi panggilanNya. Mungkin Fath memang belum meraih kemenangan di dunia ini, namun semoga kemenangan itu dapat diraih di sisiNya.
Desember 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H