Mohon tunggu...
Eni Kus
Eni Kus Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

suka menari bali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketupat dan Filosofi Dalamnya

17 April 2024   17:54 Diperbarui: 17 April 2024   18:00 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin diantara kita masih berada di kampung halaman dan belum pulang ke kota besar. Pada hari ke delapan bulan Syawal, biasanya di banyak daerah di Jawa, merayakan Lebaran Ketupat, Sebuah bentuk nasi yang dipadatkan dan dibungkus janur kuning atau lontong. Memakannya dengan memakai opor ayam atau rendang.

Ini memang  tidak akan Anda temukan jika berlebaran di Timur Tengah atau negara Asia lainnya. Hanya ada di Indonesia, khususnya di kota-kota kecil di Jawa. Warga di daerah itu menyambutnya dengan gembira dan saling mengirimkan makanan serta bersilaturahmi ke beberapa kerabat yang tak sempat mereka kunjungi

Ini bukan sekadar tradisi. Ketupat "diciptakan" oleh Sunan Kalijaga yang berada di Jawa Tengah untuk memberikan pengertian soal dosa (kesalahan) dan saling memaafkan pada saat Idulfitri. Sunan Kalijaga juga yang memberi makna soal ketupat (yaitu pengakuan kita soal ngaku lepat (salah) yang pernah kita lakukan. Pengakuan ini penting karena merupakan sikap ksatria dari seseorang. Jadi beliau menginginkan persoalan mengaku dosa dan memaafkan bukan soal semoni tanpa makna saja saja pada saat Idul Fitri tapi punya pemahaman yang mendalam lainnya.

Ketupat yang berasal dari janur yang jika kita tilik bersama janur tak jauh dari jatining nur atau hati Nurani. Permintaan maaf atas salah kita kepada orang lain atau memberi maaf kepada orang lain haruslah berasal dari hati Nurani dan haruslah kita bertobat untuk tidak mengulangi melakukan kesalahan yang sama. Begitu juga memberi maaf kepada orang lain yang melakukan kesalahan kepada kita haruslah kita beri maaf dengan inkhlas.

Bentuk ketupat yang dianyam agak rumit dan menyerupai bujursangkar sejatinya merupakan perlambang bahwa persaudaraan yang erat antar sesama. Anyaman yang rumit itu melambangkan sejatinya sulit untuk saling melepaskan dengan alasan apapun. Artinya, anyaman itu sempurna, saling melekat dan menjadi satu kesatuan.

Karena itu, budaya maaf memaafkan yang berasal dari hati dan budaya saling memaafkan ditambah dengan saling mengunjungi yang memang kerap dilakukan pada saat Idul Fitri . Silaturahmi itu memang selalu dilakukan , apalagi kita juga punya tradisi pulang kampung. Sehingga seseorang yang sudah merantau jauh ke Jakarta akan kembali ke kampung halaman dan bertemu dengan saudara, ayah ibu dan para tetangga dan sebagainya. Disitulah kemudian filosofi ketupat itu terjadi.

Filosofi yang dalam itulah yang ingin dituju oleh sang pencipta ketupat itu, Sunan Gunung Jati. Wali yang lahir di Tuban ini meminjam symbol-simbol Hindu untuk mencapai filosofi yang sangat dalam dalam ajaran Islam soal meaaf memaafkan.

Sehingga tidak ada alasan untuk menyebut tradisi itu adalah bi'dah. Toh para wali (dan caranya) sudah membuat umat Islam menjadi terbesar di Nusantara (Indonesia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun