Nuansa menjelang  Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 sangat berbeda dengan 2019. Jika kita masih ingat pilpres 2019 diwarnai dengan persaingan dua kontestan dengan nuansa ujaran kebencian yang kental. Ibarat serangan, serangan itu melalui serangan darat, laut, udara. Diantara serangan itu yang paling menyedihkan adalah narasi-narasi yang berisi SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan)
Jika kita ingat, salah satu calon selalu dikaitkan dengan komunis, padahal secara fakta itu tidak terjadi . Meski begitu, tanpa memeriksa kebenaran, tanpa memperhatikan konteks, serangan-serangan itu membabi buta. Kita bisa melihat dan mengingat kala itu keterbelahan sempat terjadi,. Kandrun dan kampret sempat menjadi ujaran yang hits. Dan kebencian masih berlarut-lartut meski pilpres sudah lewat.
Ini mirip dengan kondisi saat Pilkada Jakarta yang berlangsung sangat dramatis. Pisau isuenya sama yaitu issue sara. Saya mengatakan dramatis karena memang terjadi drama-drama yang membelah masyakarat Jakarta. Bersaudara saling tidak menyapa karena pilihan yang berbeda. Suami istri mengalami ketegangan hubungan yang tidak nyaman karena pilihan yang berbeda. Satu tim dalam kantor bisa saling curiga dan saling benci karena pilihan yang berbeda. Bahkan bisa dikatakan satu kota terbelah dua.
Dan kali ini, penyebabnya adalah masalah agama. Kita menemukan banyak sekali orang terperdaya karena tidak memahami agama dengan baik. Bahkan kala itu agama dipahami dengan ansich (leterlek) Padahal jika kita terapkan pada kondisi Indonesia, ayat-ayat dalam kitab suci harus diletakkan berdasarkan konteksnya.
Karena agama di Indonesia memegang peran penting dalam segela lini kehidupan masyarakat. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu maupun Kong Hu Chu. Taupun penganut kepercayaan. Baiki dari suku batak, aceh, Dayak, Jawa, Betawi dll. Karena karena keragamaman etnis dan agama di Indoensia, maka agama perlu diartikulasikan dan diekspresikan sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam system negara dan falsafah Pancasila. Itu semua harus dihormati.
Banyak orang mengira bahwa kontekstualisasi tidak merusak esensi agama. Tapi justru mengoptimalkan fungsi agama agar tetap relevan dan beradaptasi di Tengah perubahan dan kompleksitas kehidupan moderan. Mari kita belajar dari kesalahan masa lalu soal perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H