Mohon tunggu...
Kustanti Hariwati D
Kustanti Hariwati D Mohon Tunggu... Lainnya - Saat ini bekerja sebagai CSO SSR Yapukepa (Perdhaki) dan pekerjaan sampingan sebagai Honorary Reporters untuk Korea.Net

Tertarik dengan topik seputar Hubungan Internasional. Isu Keamanan, Diplomasi dan Isu seputar Malaria. Sangat tertarik dengan Isu seputar Semenanjung Korea (K-Culture, K-Food, K-Drama, K-Pop dan Lainnya).

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Petualangan Mencari Ulat Sagu Dalam Festival Ulat Sagu Ke II - Kampung Yoboi

4 November 2022   11:12 Diperbarui: 4 November 2022   11:31 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini bertempat di Kampung Yoboi, Kabupaten Jayapura dari tanggal 25-27 Oktober 2022, kembali dilaksanakan Festival Ulat Sagu yang kedua. Perjalanan ke lokasi jika tidak menggunakan kendaraan pribadi bisa jadi cukup membingungkan terutama bagi yang belum pernah melakukan perjalanan ke Sentani, namun tidak perlu khawatir masyarakat disana sangat ramah untuk memberitahukan arahnya, kira-kira itulah yang teman saya dan saya rasakan.

Setelah turun taksi (Angkot) di Lampu Merah Pasar Lama, kami menyambung perjalanan menggunakan Ojek, cukup berpesan, "Om (sama dengan panggilan untuk Abang/Mas/Bapak), mau ke dermaga untuk Festival Ulat Sagu", maka tidak perlu waktu lama kami pun tiba di dermaga dan saat sampai tidak perlu bingung, karena bapa-bapa yang sedang duduk di dermaga akan langsung bertanya tujuan kita kemana, langsung saja kami sebut kami mau ke festival sagu, kami pun disuruh duduk dulu untuk menunggu beberapa penumpang lagi. Begitu siap berangkat, kami pun langsung dipanggil oleh bapa-bapa tadi untuk naik ke perahu.

Perjalanan kami menggunakan Perahu ke Festival Ulat Sagu, Kampung Yoboi (Dokpri)
Perjalanan kami menggunakan Perahu ke Festival Ulat Sagu, Kampung Yoboi (Dokpri)

Betul, transportasi ke Kampung Yoboi tempat festival itu hanya bisa menggunakan perahu, cuaca saat itu sangat cerah, saran saya paling tidak gunakan topi. Begitu sampai jangan lupa untuk membayar biaya transportasinya ya. Kebetulan saat kami tiba lokasi masih sepi, untuk itu jangan ragu untuk bertanya, kami pun diarahkan hanya perlu mengikuti jalur warna warni di sepanjang jembatan kayu di kampung tersebut. 

Jalan warna-warni inilah yang menuntun kami hingga ke dusun sagu (Dokpri)
Jalan warna-warni inilah yang menuntun kami hingga ke dusun sagu (Dokpri)

Begitu mudah bukan, dan ternyata lokasi dari tempat festival itu bukan tepat di tengah-tengah kampung namun ada di semacam dusun sagu, sangat sejuk dan anginnya pun sepoi-sepoi, jalan kayu yang dibangun masyarakat kampung untuk menjelajah dusun sagu pun sangat memudahkan perjalanan, tidak perlu sibuk mengkhawatirkan salah melangkah, kami bisa memanjakan mata kami dengan pemandangan pohon-pohon sagu yang begitu tinggi besar dan tentunya berfoto-foto ria.

Pintu masuk menuju lokasi festival (Dokpri)
Pintu masuk menuju lokasi festival (Dokpri)

Salah satu hal yang menarik perhatian saya yakni disetiap tempat pemberhentian disediakan tempat sampah, sehingga tidak heran juga di sepanjang jembatan tidak ditemukan sampah berserakan. Kegiatan festival di hari kedua ini pun dimulai sekitar jam 12 siang, berbagai jajanan seperti ikan mujair, papeda bungkus, pisang rebus bahkan sampai kopi yang asli ditanam dan diolah di Papua pun dapat kami temui, tidak lupa juga kalian bisa menyaksikan bagaimana proses ulat sagu diambil dan tentunya bintang utama dari festiva ini, Ulat Sagu itu sendiri.

Jalanan dari kayu yang dibangun sepanjang jalan didalam dusun sagu (Dokpri)
Jalanan dari kayu yang dibangun sepanjang jalan didalam dusun sagu (Dokpri)

Kami berkesempatan untuk mencicipi ulat sagu yang telah dibakar/dipanggang, memang jika kalian sudah melihat ulat sagu yang masih hidup, bagi beberapa orang akan segan untuk memakannya, sama halnya dengan kami berdua, meski awalnya enggan memakan, dengan sedikit 'paksaan', saya pun mencoba dan tebak rasanya enak !, menurut saya mirip-mirip dengan rasa sate ayam yang biasa saya makan, harganya Rp. 10.000 per tusuk ulat sagunya. setelah perut kenyang, dan mata pun puas dimanjakan dengan alam sekitar kami pun memutuskan menyudahi perjalanan di dalam dusun sagu tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun