Seks, tidak seperti perkiraanku sebelumnya, ternyata bukanlah hal yang tabu bagi dunia sastra. Bahkan, Haruki Murakami yang menjadi kandidat pemenang nobel sastra di dalam bukunya yang aku baca, dua sejauh ini, telah meletakkan dan menggambarkan hubungan intim dalam beberapa adegan dalam novelnya. Bahkan, dalam Kafka on the shore, seks merupakan, menurutku adalah salah titik sentral dalam perkembangan ceritanya. Bagaimana diceritakan kalau Kafka Tamura diramalkan oleh ayahnya akan berhubungan seks dengan ibu dan adik perempuannya. Dan kemudian, bagaimana adegan seks tersebut digambarkan dengan cukup detail dan merangsang. Kafka on the shore adalah novel pertama berbahasa inggris yang aku tamatkan. Bahkan aku rela begadang karena tidak rela menunggu esok hari untuk mengetahui lanjutan ceritanya. Ceritanya yang unik bernuansakan supernatural, terlebih lagi, karakter tanaka yang unik, membuatku tertarik untuk menerjemahkannya. Kalau saja, tidak ada adegan seks di dalamnya.
Terus terang, walaupun aku tahu, menggambarkan adegan seks dalam novel bukan sesuatu yang asing dalam sastra dunia. Bagiku, melukiskan adegan seks dalam sebuah karya sastra adalah pelanggaran terhadap keagungan karya sastra itu sendiri. Memang, sebuah karya sastra haruslah mampu mengaduk-aduk, mengacak-acak pikiran dan emosi pembacanya. Tapi, melakukannya dengan menuliskan adegan seks merupakan cara yang buruk untuk itu. Maksudku, kalau ingin menuliskan adegan seks, kenapa tidak menulis cerita porno, atau stensilan, saja sekalian. Karena, memang di sanalah tempat untuk menuliskan adegan-adegan demikian.
Tidak hanya karya sastra saja. Tapi, aku juga merasakan hal yang sama dalam perpanjangan tangan sastra, sebuah film. Contohnya, Departures karya Yojiro Takira, yang memenangkan akademi award untuk film terbaik berbahasa asing. Film tersebut menceritakan tentang Daigo Kobayashi yang bekerja sebagai orang yang mengurus mayat. Aku tidak tahu apa nama pekerjaan tersebut. Tapi, yang jelas pekerjaan tersebut digambarkan di dalam filmnya sebagai sebuah pekerjaan yang tidak diinginkan oleh siapapun. Tapi, karena terjebak masalah keuangan dan gaji yang ditawarkan sangat menggiurkan, Daigo memaksakan dirinya untuk bekerja di sana. Kemudian dimulailah pergulatan yang menginspirasi dan mengharukan di alami oleh Daigo dengan segala lika-likunya.
Sebuah film yang akan aku berikan rating bintang lima kalau saja tidak ada adegan di mana Daigo. Bahasa sekarangnya, menggrepe istirinya. Aku berteriak, kenapa harus ada adegan seperti ini di sebuah film yang menceritakan tentang pekerjaan mengurus mayat. Nilai film ini langsung jatuh di mataku saat adegan seks tersebut muncul. Daigo memang sedang depresi, tapi tidak cukupkah menggambarkan Daigo mengurangi stressnya dengan memainkan celonya saja?. Untuk apa adegan grepe-grepean itu?. Bahkan, aku masih kesal sampai sekarang gara-gara adegan itu.
Mungkin banyak orang yang tidak setuju denganku. Tapi, kalau alasannya adalah, itu adalah seni. Maka, lebih baik alasan tersebut dimasukkan ke dalam keranjang sampah, bau soalnya. Contohnya saja tentang foto telanjang yang menjadi perbincangan beberapa waktu lalu di Indonesia. Salah seorang pendukungnya berkata,
“ apa salahnya?, ini bukanlah hal yang porno, ini adalah seni!”
Apa karena sesuatu itu dianggap sebagai sebuah seni, maka sesuatu tersebut dianggap baik dan tidak dipermasalahkan?. Bisa-bisa koruptor bakalan diuntungkan kalau jawabannya adalah ya. Para koruptor akan berkata dengan entengnya,
“apa salahnya korupsi?. Ini bukan mencuri, ini seni mencari nafkah!”