Konyol bukan?. Jadi, kalau sesuatu tersebut dianggap sebagai seni. Bukan berarti sesuatu itu dengan sendirinya baik.
Begitu juga, dalam adegan seks dalam sebuah karya sastra. Meskipun ada yang mengatakan itu adalah seni, sumbangan bagi keanekaragaman dunia sastra, tetap saja itu bukanlah sebuah sumbangan yang baik untuk keagungan sastra. Itu akan menjadikan sebuah karya yang luarbiasa menjadi bagian dari karya sampah, kalau tidak semua, sebagiannya.
Tapi, tidak dipungkiri, pengaruh budaya dan apa yang diyakini oleh seorang penulis akan mempengaruhi pendapatnya, tentang boleh tidaknya menggambarkan adegan seks dalam sebuah karya sastra. Bagi dunia barat dan dunia sekuler, tentu tidak ada masalah dalam hal ini. Bahkan, karya yang di dalamnya aku anggap terdapat hal yang menghancurkan keagungan sastra mendapatkan banyak penghargaan dari mereka. Contohnya adalah kedua contoh yang aku terangkan di atas. Keduanya adalah karya yang pembuatnya berasal dari Jepang, yang kita tahu sendiri bagaimana masyarakatnya memandang seks di sana. Tentu saja, pandangan mereka berbeda terbalik dengan pandangan orang-orang yang sepertiku. Yang menganggap, seks bukanlah sesuatu yang pantas untuk dipajang dan dipamerkan dalam bingkai seni, terkhususnya dalam hal ini, sastra.
sumber gambar : www.sesawi.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H