Mohon tunggu...
kusnia
kusnia Mohon Tunggu... -

My name is kusnia, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga jurusan Ilmu Komunikasi Fishum, nama ayah H.Mataji Dan ibu Hj.Siti Aisyah, anak kedua dari 3 bersaudara. Dan saya sendiri kembar ... Alhamdulillah, cukup dulu ya deskripsinya 😀😀😀

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bedah Documentary film festival 2015 Al-Ghoriib

21 September 2015   01:03 Diperbarui: 21 September 2015   02:37 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bedah film al-ghoriib ini diadakan di Aula G, PP Al-Munawwir krapyak, Yogyakarta. Kemarin minggu pada tanggal 20 september 2015 jam 10 WIB. Dengan menghadirkan kreator film dan pembaca film diantaranya: Vedy santoso (sutradara film al-ghoriib), Dr. Katrin Bandel (subyek film al-ghoriib), Agus Qusyairi, S.Psi ( aktivis ilmu psikologi) dan yang terakhir Syarwani, S.S., M.S.I (Pengamat budaya pesantren). Dalam rangka muktamar NU ke-33 documentary film festival 2015. Film al-ghoriib ini menceritakan tentang seorang yang awalnya hanya bisa menutup diri selama dua tahun dan akhirnya berhenti menutup diri untuk bisa jadi motivasi untuk orang lain bahkan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain juga melalui jatuh diri mencari sesuatu yang muncul tiba-tiba dalam hatinya. Dan Alhamdulillah film tersebut menjadi juara ke-3 dari 66 pendaftar ,tukas pengurus al-munawwir. Dia juga menambahkan bahwa walaupun juara tiga, itu sudah memberikan dampak besar bagi pesantren karena menunjukkan bahwa film-film santri tidak kalah dari film-film yang lain. Juga menggalih potensi-potensi yang terpendam dari santri. Film yang di sutradarai oleh vedy santoso ini berbeda dari film-film sebelumnya karena awalnya tidak terfikir membuat film tersebut hanya sebuah feeling saja yang berasal dari sosok Dr. Katrin Bandel yang ada di pesantren tersebut yang jarang ia temui di pesantren lain dan dia juga merasa asing dengan perjalanan cahaya yang berawal dari PP Al-Munawwir yang berarti juga cahaya dan kembali ke cahaya lagi dan dari situlah di angkat kisah nyata bukan karangan.menariknya lagi bedah film itu diadakan sebagai ajang penambah wawasan untuk santri. Acara tersebut dimulai dari pemutaran film dokumenter al-ghoriib dengan durasi waktu 45 menit. Menurut santri yang hadir “ film ini sangat menyentuh hati dan juga sangat memotivasi dari pengetahuan-pengetahuan yang baru ini untuk terus ingat kepada sang penciptanya”ucapnya sambil menitihkan air mata karena haru. Acara itu juga dilanjutkan dengan diskusi seputar proses kreatif pembuatan film bahkan makna yang terkandung di dalamnya yang bertemakan “ membaca spiritualitas pesantren” membuat acara tersebut menjadi seru, tegang dan haru. Al-ghoriib disini saya coba dari prespektif khasanah intelektual pesantren makna al-ghoriib ini sangat luas kajiannya dari para ulama kita khususnya pada ulama tafsir. Ulama hadis dan sebagainya. Lafad al-ghoriib secara bahasa adalah dinamakan asing selain itu juga peristiwa aneh. Tukas pengamat budaya pesantren. Menurutnya juga al-ghoriib itu sudah ada dalam khasanah intelektual pesantren untuk menarik hikmah dari sebuah pelajarannya. Dan juga temanya sangat bagus dan luar biasa harus mencangkup pesantren bukan hanya komplek saja, tuturnya.mnurut aktivis psikologi al-ghoriibatau suatu keanehan / keasingan yang dianggap suetu ilmiah sebuah kebenaran. Diantaranya terdapat pertanyaan-pertanyaaan. Tapi semua santri antusias dengan beberapa pertanyaan diantarannya adalah tentang pengalaman di jerman dan sisi sulitnya mbk. Katrin dalam keluarganya setelah menjadi seorang muslim. Menurut dia itu adalah memang sebuah hal berat bahkan jadi tantangan bagi dia soalnya untuk cari tempat sholat dan wudhu yang tidak dimana-mana ada masjid itu diatasi dia dengan membawa botol aqua kemana-mana untuk wudhu. Tapi itu bukan hal tersulitnya , hal tersulitnya itu adalah dengan keluarga karena dia masih melepas jilbab disana karena budaya kampung nanti menganggap aneh diri saya dan sekedar hanya menghormati orang tuanya terutama ibunya yang masih berat menerima keislamannya apalagi melihat dia mengenakan jilbab mungkin sangat berat sekali bagi ibunya. Apa yang bagi dia adalah anugerah tapi bagi ibunya merupakan musibah terbesar baginya. Dia juga merenungi karena disisi lain dia sebagai anak dan seorang muslim harus menghormati orang tua, harus membahagiakan orangtuannya tapi situasinya seperti itu mnurut dia itu tidak mudah. Dan dia juga jika berpikiran lebih jauh dia merasa khawatir dengan keselamatan orang tuannya karena keduanya tidak bertuhan bagaimana nasib kedua orang tuannya setelah meninggal. Ya menurut dia itu yang terberat bagi dia.begitulah kisah nyata yang penuh inspiratif dan menyadarkan kita semua bahwasannya hidup itu seperti air yang mengalir tapi tak harus hanyut terus dengan arusnya maksudnya adalah hidup itu mengalir seiringnya berjalannya keidupan tapi kita tidak boleh hanyut dalam kehidupan itu, kita mempunyai banyak hak untuk memilih ingin jadi apa kita dan apa tujuan kita karena hidup itu pilihan dan hanya sekali seumur hidup dan takkan terulang kembali dan kita harus ingat bahwa kita besok akan kembali pada sang penciptannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun