Pasar khususnya pasar rakyat atau pasar tradisional bagi saya memiliki tempat tersendiri di hati. Nenek dari pihak bapak, atau yang sering saya sebut Mbah Jlopo sering menceritakan dengan riang gembira kalau kami mengunjunginya tentang perjalanan kami dari pasar Jatinom ke pasar Delanggu, Klaten. “Naik bis pak Yin”, begitu katanya selalu diulang-ulang.
Jangan salah bis disini bukan bis besar-besar seperti sekarang ini, namun bis kecil dengan bentuk seperti sebungkus roti tawar bulat, yang kalau mau dinyalakan mesinnya harus di engkol dulu di bagian depan. Maklum masih di tahun 70-an. Paling senang diajak nenek ke pasar, karena pasti akan dibelikan roti kesukaanku, “Roti Kijing”.
Roti Kijing adalah kue bolu padat yang berbentuk kubus dan ada tonjolan di tengah. Tak lupa akan dibelikan pula segelas es serut “Lelur” yang terkenal, sangat enak untuk dinikmati dengan potongan-potongan roti tawar yang dicelupkan dalam gelas. Sering juga nenek mengajakku ke pasar dengan naik kereta kuda beroda empat yang kami sebut “Andong”.
Saya dan kakak paling suka kalau duduk dibelakang andong (suatu tempat dimana pemilik andong menaruh barang bawaan penumpang), menghadap ke belakang dengan kaki-kaki kami yang berjuntai hampir mengenai aspal jalan, bahagianya.... Kebahagian itu sederhana bagi saya.
Kadang-kadang saya juga diajak nenek dari pihak ibu yang saya sebut Mbah Gempol untuk membeli gula jawa di daerah Wates, Yogyakarta. Ya, Mbah Gempol merupakan pedagang gula jawa di Pasar Ponggok, Klaten.
Mbah Gempol selalu dengan bangga menceritakan cucu-cucunya ke teman-temannya sesama pedagang pasar. Meskipun Mbah Gempol tidak bisa baca tulis, namun jangan coba-coba bermain curang dengan beliau, untuk urusan gula jawa dan uang, nenekku jagonya. Dari setiap rupiah yang dikumpulkan, Alhamdulillah nenek bisa berangkat haji.
Ibu juga sering mengajakku ke pasar untuk membantu membawakan belanjaannya. Sejak memiliki keluarga sendiri berganti istri yang mengajak ke pasar untuk membawakan belanjaan, meskipun sekarang lebih sering menunggu di pelataran parkir. Di pasar tak jarang kami bertemu tetangga atau sahabat yang juga sedang berbelanja.
Menurut pengamatan saya tidak ada perubahan interaksi antara penjual dan pembeli dari jaman dulu waktu saya masih kecil hingga sudah berkeluarga, penuh keakraban, bahkan kadang-kadang diselingi dengan candaan antara pedagang dan pembeli, ataupun menanyakan kabar masing-masing sembari belanja. Saking akrabnya, adakalanya kalau penjual atau pembeli memiliki hajat entah menikahkan anaknya entah hajatan yang lain, akan saling mengundang untuk datang. Keakraban inilah yang tidak dimiliki oleh pasar-pasar dalam bentuk lain.
Pasar rakyat yang memiliki keanekaragaman tersebut, baik dari sisi penjual maupun pembeli maupun keanekaragaman barang yang diperjualbelikan bisa menjadi sarana bersosialisasi warga. Bisa menjadikan penjual dan pembeli menjadi sahabat bahkan menjadi satu keluarga besar, yang pada akhirnya akan tercipta kerukunan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada suatu titik kita bisa menciptakan pasar, meskipun kadang-kadang tanpa sengaja. Seperti misalnya kalau ada orang yang punya hajatan, maka tanpa diundang akan datang penjual balon atau mainan anak keliling. Atau setiap ada keramaian entah panggung hiburan atau pasar malam, bisa dipastikan disekitar arena akan muncul pasar dadakan.
Begitu juga dengan adanya Car Free Day yang diadakan di setiap daerah saat ini, banyak bermunculan pedagang-pedagang yang menjual aneka dagangan. Di awal Car Free Day hanya ada satu dua pedagang. Namun di acara Car Free Day berikutnya sudah banyak yang berjualan. Bahkan saat ini sudah ratusan pedagang yang berjualan di arena Car Free Day.