Sebagai orang yang hidup di desa, tentu ibarat jauh panggang dari api, tatkala harus mendengar jargon tentang hubungan bilateral dan multilateral. Terlalu sulit untuk bisa membayangkan apalagi memaknainya. Terlampau dalam untuk kami jajaki dengan kedangkalan kerangka berpikir kami. Terasa sangat jauh untuk gapai dengan pendeknya angan pikir kami.
Sebagai orang yang hanya pengrajin tahu, sebegitu susahnya mengartikan istilah pasar global. Pasar yang kami kenal hanyalah pasar tradisional, tempat dimana para pedagang tahu kami melakukan transaksi. Pasar tradisional tempat kami meloper dagangan tahu kami. Tempat yang sangat “ricuh” dengan cashflow “receh”.
Sebagai orang yang berhubungan dengan para peternak sapi yang membeli ampas tahu kami, maka sesungguhnya isu dan kasus impor daging sapi pun masih sekedar sayup sayup terngiang dalam telinga tanpa pernah termaknai kejadian yang sebenarnya. Sapi sebatas yang kami pahami hanyalah hewan yang begitu suka dengan ampas kedelai. Sehingga kami pun harus melayani pembeli ampas tahu dari luar kota, tentu dengan sebatas kapasitas yang terbatas.
Sebagai orang muslim yang hidup dalam lingkungan muslim tradisional, sungguh sangat tinggi pencapaiannya jika harus memaknai permasalahan jalur Gaza dan Israel. Islam yang kami maknai adalah syariat dengan penuh toleransi dan penghormatan terhadap sesama hamba Tuhan. Bahkan sebagian besar para pelanggan yang membeli ampas tahu kami adalah non muslim. Kami jaga hubungan kemitraan dengan tetap menjunjung tinggi hak individu.
Tetapi, kami sadar betul bahwa Indonesia bukan hanya desa kami, bahwa tahu bukan satu satunya usaha di negeri ini, dan sapi juga bukan hewan yang wajib dipelihara di negara tercinta ini. Kami sangat sadar bahwa hidup harus berkomunikasi seluas tanpa batas karena dalam sepakbola tidak sekedar hanya ‘tarkam” tapi ada kejuaraan dunia. Kami juga harus hormati bahwa makna pasar bukanlah pasar tradisional semata karena toko bahkan warung pun sekarang sudah berbagai jenis modelnya.
Semua kesadaran tersebut telah menjadikan alat bantu jarak pandang terhadap jauhnya logika politik dalam kornea mata kami, dan alat bantu dengar dari sesuatu yang nyaris tak terdengar oleh genderang telinga kami. Alat bantu yang membuat kami harus toleransi terhadap semua itu. Toleransi akan kenyataan bahwa bangsa ini harus termaknai secara luas. Sehingga apap pun yang mereka kobar dan kibarkan tentu untuk arti yang sangat luas dan bukan harus untuk kami. Dan sudah sangat tentu untuk INDONESIA dan RAKYAT.
Akhirnya sebagai penutup tulisan ini, ingin saya perjelas judul tulisan ini. Bagi kami sekeluarga khususnya, “ Memilih adalah NURANI, Tidak Menyakiti adalah NALURI dan Menang atau Kalah itu TAKDIR”
Salam..KSL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H