Seorang lelaki tua dengan rambut beruban berjalan terseok-seok menyusuri langkah demi langkah di sepanjang Sungai Musi. Dengan pakaian lusuhnya yang bertuliskan "Aku bukan bagian dari kotoran, melainkan pembersih kotoran", dia memunguti ‘sesuatu' yang dianggapnya berharga sepanjang perjalanan yang dilaluinya. Ketika keringat mulai bercucuran, dia berhenti sebentar di Benteng Kuto Besak (BKB) untuk melepas lelah. Sebuah senyum terpancar di wajahnya yang mulai mengeriput. Senyum yang mencerminkan orang yang telah kenyang dengan asam garam kehidupan di dunia ini.
Dengan sedikit keraguan, kudekati lelaki tua itu. "Maaf, Pak. Boleh aku duduk di sini?". "Silakan, nak. Semua tempat di dunia ini adalah milik kita bersama". "Bagaimana ‘hasil' Bapak hari ini ?". "Alhamdulillah, nak. Allah sungguh Maha Kaya". Percakapan terus mengalir, seperti air yang mengalir, begitu jernih dan sejuk. Dan tanpa terasa, Bapak itu mohon pamit untuk melanjutkan perjalanannya.
Dari perbincangan itu, aku terus menerus merenung. Begitu sederhanakah hidup ini ? Untuk menjaga sebuah kebersihan, masih perlukah segala macam diskusi dan seminar di gedung-gedung mewah dengan teknologi yang canggih ?? Terkadang kita yang mengaku orang yang berpendidikan, masih ‘kalah jauh' dengan si lelaki tua yang memahami kehidupan ini dengan pola pikir yang sederhana. Satu pesan terakhir sebelum berpisah dari si lelaki tua : "Nak, apa yang ku perbuat di dunia ini mungkin hina di mata manusia. Tetapi yang penting aku masih bermanfaat bagi orang lain. Aku memunguti ‘sesuatu' yang tidak berharga bagi pandangan manusia, sesungguhnya aku sedang membersihkan ‘kotoran' yang ada di hatiku".
Salam Kompasiana ... semoga bermanfaat J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H