Mohon tunggu...
Kusnadi Maedy
Kusnadi Maedy Mohon Tunggu... -

Karyawan di advertising kenamaan ibu kota, senang menonton Persib Bandung, juga menulis

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Tribun Bobotohku, Kini...

9 Maret 2014   02:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspektasi fans persib yang melebihi kapasitas senayan Final Perserikatan 1984

Persib Bandung, 2 kata yang sangat melekat sejak saya duduk di bangku SD. Medio 90-an semenjak ayah saya untuk pertama kalinya mengajak saya menginjakan kakinya di Senayan (kini GBK) untuk menonton putaran final yang di akhir cerita menjadi episode termanis untuk Persib dalam drama bertajuk Liga Indonesia.

Kini, hampir 2 dekade semenjak Robby Darwis cs. Menorehkan 1 bintang di atas kostum kebesaran pangeran biru, kecintaan saya terhadap warisan kebanggaan dari kakek dan ayah tidak sedikitpun luntur, walau secara fisik, intensitas saya menginjakan kaki di atas tribun dimana persib berlaga tidak seperti dahulu lagi, bahkan bisa dikatakan absen sejak 6 musim terakhir karena banyak hal dan lain sebab.

Pada suatu waktu, di musim yang lalu saya diajak menyaksikan laga kandang Persib oleh seorang teman yang bisa dibilang penggemar fanatic persib bandung, dia juga aktif di organisasi bobotoh terbesar. Saya juga sempat bergabung pada tahun 2000 an pada masa kuliah namun tidak terlalu aktif didalamnya, hanya ikut-ikutan.Saat itu Persib menjamu Gresik United dan saya menonton dari tribun samping utara. Laga berlangsung menarik hingga tiba-tiba terlihat dari tribun utara ada baku hantam antar supporter yang masiv, karena menurut pengamatan saya melibatkan 2 kelompok bobotoh yang berbeda. Kawan saya menjelaskan bahwa ada komunitas kecil yang berbeda secara gaya dan cara mendukung diatas tribun, dan organisasi dimana kawan saya bernaung menganggap itu menyalahi budaya yang selama ini sudah ada di atas tribun, dia menambahkan istilahnya jauh dari budaya sunda. Dalam hati saya berpikir tidak ada yang salah dengan apa yang mereka ekspresikan, mungkin zaman nya saja yang sudah berbeda. Rasa penasaran saya pun tumbuh terhadap komunitas tersebut, apa benar mereka seburuk yang diceritakan teman saya barusan di atas tribun sesaat setelah keributan berlangsung.

Tidak banyak informasi yang saya temukan dari dunia maya tentang komunitas tersebut, hingga saya pun terlupa dengan hal tersbut, karena saya harus kembali dengan kesibukan karir di luar jawa. Hingga saya kembali menginjakan kaki di atas tribun untuk menyaksikan laga persib, kali ini sengaja saya memilih tribun utara tepat berapa dibelakang barisan komunitas tersebut, tidak ada yang aneh pada saat itu kecuali pemandangan tanpa atribut dari komunitas tersebut, sebenarnya sih, tidak 100% tanpa atribut, beberapa masih menggunakan jersey persib dan syal yang melingkar di leher. Obrolannya pun sama, menggunakan bahasa sunda, sama seperti saya, hanya berbeda dari nyanyian yang mereka kumandangkan selama persib berlaga.Hingga tiba-tiba menjelang laga usai ada sekelompok bobotoh yang merangsek kea rah komunitas didepan saya, kerusuhan pu tak terhindarkan. Komunitas tanpa atribut terihak kalah secara kuantitas dan memilih mundur ke pojok kiri trbu utara, sebagian memilih loncat ke stadion. Saya yang awalnya mencoba melerai pada akhirnya memilih segera keluar dari tribun melihat massa yang beringas. Saya tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Keesokan harinya, kebetulan saya masih punya waktu di Bandung dan merasa memiliki banyak teman lama saat masih ikut-ikutan berorganisasi di komunitas terbesar tersebut, saya menghubungi kawan saya yang masih aktif di pusat, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi antar bobotoh kini, dan jawabannya sungguh mengejutkan buat saya, lebih dari sekedar masalah budaya atau perbedaan bendera. Ada motif ekonomi dibalik konflik tersebut, teman saya memaparkan semenjak adanya trend bobotoh tanpa atribut, penjualan atribut ditokonya menurun perlahanm jika dibiarkan bisa berbahaya untuk kelangsungan hidup organisasinya, apalagi menurutnya komunitas tersebut lebih kekinian disbanding yang lebih dulu ada dilihat dari gaya berpakaian dan car mendukungnya, pengaruh internet juga mempercepat perkembangannya di atas tribun, kawa saya juga menyebutkan secara organisasi komunitas tersebut telah bubar namun tidak dengan budayanya. Intimidasidimaksudkan untuk menekan laju pergerakan komunitas tersebut. Agar para bobotoh usia remaja berpikir 2 kali untuk bergaya tanpa atribut saat menonton laga persib. Agar tujuan tercapai disebar isu baik di dunia maya dan tataran grass root 2-3 hari sebelum laga kandang, Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar kisahnya saat itu.

Hingga saat ini saya belum berhasil mendengar kisah versi dari komunitas yang termarjinalkan tersebut. Banyak versi yang saya dapat mengenai asal muasal kenapa sampai terjadi konflik antar bobotoh. Namun dalam tulisan ini, saya hanya ingin memberikan masukan pada semua pihak yang bertikai dan pihak-pihak terkait yang memiliki kepentingan di atas tribun seperti kepolisian, panpel, tokoh-tokoh yang dituakan di elemen bobotoh terlepas dari semua versi yang saya dengar sebelumnya. Untuk komunitas yang merasa tersaingi apa tidak ada upaya kreatif untuk bisa menyaingi “bobotoh kekinian” selain dengan intimidasi, misalkan dengan menciptakan lagu baru, koreografi baru, pernak-pernik yang menyesuaikan dengan era masa kini. Untuk komunitas yang termarjinalkan saya harap agar bisa intens menjalin komunikasi dengan elemen bobotoh yang lebih dulu ada, istilahnya berbaur saat berada di atas tribun yang sama. Untuk pihak kepolisian agar lebih peka terhadap potensi konflik di atas tribun, jangan seperti polisi india yang baru bertindak saat api menyala. Untk panpel agar bisa memediasi kedua belah pihak yang bertikai tanpa ada keberpihakan pada 1 komunitas tertentu. Karena tanpa sengaja saya mendengar ucapan dari petinggi panpel yang menghardik bobotoh remaja untuk membuka jaket dan sepatunya agar bisa menonton dengan aman di atas tribun, sungguh tindakan yang tidak bijak bagi saya.

Kembali ke tahun 1995, saya berada di lautan bobotoh dari senayan melewati puncak menuju bandung, tanpa embel-embel organisasi semua larut dalam euphoria yang sama untuk 1 nama besar

Persib Bandung.

Kusnadi Maedy

Bobotoh Persib Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun