Berangkat dari ungkapan Sujiwo Tejo, Apa enaknya berpuasa bareng-bareng? Aku berpuasa, kau, dan dia, juga mereka, pun kalian, kita semua berpuasa pada hari dan bulan yang sama," ungkapnya.
Bahwa yang Sujiwo Tejo maksud adalah berpuasa dibulan suci ramadhan. Lalu, yang semakin ia tidak mengerti, orang-orang bangun dan makan sahur nyaris di jam-jam yang sama, nyaris serentak. Bahkan bagi dia lebih absurd lagi, Tejo bilang, "lalu kita mengadakan buka puasa bersama."
"Aku lebih suka berpuasa seorang diri. Orang-orang tetap makan dan minum, sementara aku tidak. Bahkan saat itu aku berada di antara mereka. Itu puasa yang asyik."
Baginya, dan bagi orang-orang yang merasakan hal yang sama, Bulan Suci Ramadhan justru menjelma bulan makan-minum teratur. Bulan konsumtif, bulan ketika grafik inflasi meningkat hingga lebaran.
Tidak hanya itu. Sujiwo Tejo menaruh kecurigaan: jangan-jangan berpuasa di luar Ramadhan lebih baik dari berpuasa di Bulan Suci yang penuh berkah ini. Ya, Allah memang berjanji akan memberi rahmat pada sepuluh hari pertama, ampunan pada sepuluh hari kedua, dan perlindungan dari api neraka pada sepuluh hari ketiga. Belum termasuk anugerah Lailatul Qadar yang bahkan nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Dengan ungkapan Sujiwo Tejo itu, mulai menduga-duga. Bahwa bulan suci Ramadhan semacam interval atau spasi atau jeda dari sebelas bulan lainnya dalam satu tahun. Sama seperti ungkapan para kyai, yaitu: Jadikanlah ibadah di bulan suci Ramadhan serupa latihan keras sebelum kita berlaga di sebelas bulan ke depan.
Namun, apa jadinya jika orang yang berpuasa dibulan ramadhan menuntut untuk dihormati oleh orang-orang yang tidak berpuasa? Sebelas bulan ke depan, apa jadinya jika mereka tidak berpuasa? Apakah mereka akan menghormati orang lain yang berpuasa? Â Ataukah egosentris ini hanya ada dibulan suci ramadhan? Bukankah saling menghormati lebih penting daripada tidak saling menghormati?
Tentu, tema obrolan meluas jika lantas mulai membanding-bandingkan. Hari Raya Nyepi di Bali, misalnya, berlaku secara umum bagi siapa pun. Tak hanya umat Hindu, siapa pun yang pada hari itu berada di Pulau Dewata diwajibkan untuk patigeni atau tidak menyalakan pelita. Bali gelap gulita. Bahkan bandar udara internasional Ngurah Rai sampai ditutup. Tapi hanya sehari, bayangkan jika itu berlangsung satu bulan penuh.
Bayangkan jika warung, resto, kafe, dan tempat makan-minum lainnya, serta toko-toko sembako, ditutup total satu bulan penuh. Bayangkan Bulan Suci Ramadhan benar-benar menjelma bulan untuk merasakan lapar dan dahaga. Kita makan-minum seadanya. Bukan justru jadwal makan menjadi teratur, menu menjadi lengkap, dan yang tidak ada pada sebelas bulan lainnya menjadi harus ada di Bulan Suci Ramadhan.
Jika berpuasa Ramadhan dimaknai sebagai menahan lapar dan haus, maka kita akan memperlihatkan wujud asli setelah adzan maghrib berkumandang. Kita melahap apa pun demi membayar rasa lapar dan haus seharian. Semacam balas dendam. Bulan Suci Ramadhan menjelma sebagai bulan aji mumpung. Mumpung Ramadhan, ini harus ada, itu harus tersedia. Toh cuma sebulan dalam setahun. Tidak sepanjang tahun.
Berpuasa seharusnya lebih tentang menahan makan-minum tentu juga menahan hawa nafsu lain, termasuk hubungan badan suami-istri. Bukan menahan lapar dan dahaga. Sebab, kita justru diminta merasakan lapar dahaga yang dialami fakir miskin dan anak yatim piatu. Jika tidak begitu, wajar jika tingkat konsumsi justru naik bahkan paling tinggi dalam setahun di bulan yang semestinya paling hemat ini.