Tidak ada yang menyangka atau memprediksi, bahwa sebuah toko mainan kecil yang didirikan di Taiwan pada tahun 1974, kini mampu menjadi salah satu dari 3 besar penguasa pasar permainan radio control dunia. Toko mainan kecil tersebut kini telah menjadi sebuah perusahaan radio control raksasa dengan nama Thunder Tiger Corporation. Produk Thunder Tiger saat ini sudah melayani hampir 1 juta hobiis di lebih dari 40 negara di dunia.
Kesuksesan Thunder Tiger tidak lepas dari peran seorang Aling Lai, seorang wirausaha yang pada masa kanak-kanaknya sangat tergila-gila terhadap segala seluk beluk tentang pesawat. Kesukaannya ini didasari oleh pengalaman Aling Lai yang tinggal di lingkungan pangkalan udara milik tentara Amerika Serikat di Taiwan. Pada saat itu, sekitar tahun 1950-an, Amerika Serikat sedang dalam masa Perang Dingin dengan Uni-Soviet dan membuat Aling Lai terbiasa mendengar desingan mesin pesawat jet yang melintasi rumahnya.
Walaupun hanya berpendidikan sekolah dasar, kegigihan Lai mampu meyakinkan saudaranya untuk menginvestasikan dana sebesar NT$ 3.8 juta (atau setara dengan US$ 95.000) untuk memindahkan toko mainan kecilnya menjadi sebuah perusahaan di kawasan Taichung Industrial Park, Taiwan. Perusahaan yang kemudian dinamakan Thunder Tiger ini pun tidak hanya memproduksi radio control untuk pesawat-model saja, melainkan juga memproduksi mobil-model, perahu-model, hingga mesin-mesin kecil dan beberapa suku cadang pesawat.
Hobi dan Teknologi
Manufaktur dari usaha radio-control ini ternyata diklasifikasikan sebagai leisure industry, yaitu sebuah industri yang menggambarkan gabungan aktivitas ekonomi terkait hiburan (entertainment), rekreasi, dan pariwisata. Radio control ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuwan bernama Nicola Tesla, yang mendemonstrasikan sebuah piranti perahu yang mengikuti perintah jarak jauh Tesla. Namun, tokoh yang berhasil mengaplikasikan teknologi ini untuk piranti pesawat adalah Archibald Low pada tahun 1917. Temuannya ini kemudian langsung digunakan oleh Sekutu untuk melakukan pengeboman jarak jauh dalam Perang Dunia II.
Namun, pengembangan teknologi ini tidak selamanya menjadi milik militer. Penemuan sirkuit terpadu (IC-Integrated Circuit) pada tahun 1970 membuat produk elektronik radio control ini menjadi lebih kecil, ringan, dan murah. Lebih jauh lagi, invensi dalam hal kandungan material untuk radio control juga berkembang. Pasca Perang Dunia II, bahan plastik mulai ramai dipergunakan, salah satunya oleh industri radio-control. Selain ringan, plastik juga mudah untuk dibentuk dan dimodifikasi, sehingga perusahaan dapat membuat berbagai piranti model yang diinginkan.
Uraian mengenai teknologi di atas mungkin hanya akan menjadi bahan penemuan saja dan teronggok usang di laboratorium jika tidak ada seorang wirausaha yang mengeksplorasinya. Aling Lai merupakan salah satu sosok yang mampu mengimplementasikan teknologi tersebut untuk dapat menjadi konsumsi yang ramah bagi publik. Berbekal keinginannya yang kuat dalam hobi mengutak-atik perangkat teknologi, Aling Lai sukses dalam membuat aktivitas teknis pertamanya yang dinamakan “reverse engineering”. Dalam aktivitas ini, Lai membeli piranti modelnya, kemudian mengetes proses kerjanya, mencopot bagian-bagiannya, dan kemudian merangkaikannya kembali.
Aling Lai memiliki seorang mentor yang juga menjadi guru di sekolahnya, yaitu Brother Lemio. Mentor Lemio inilah yang membanjiri pemikiran Lai dengan berbagai informasi mengenai pengembangan pesawat-model yang pada saat itu masih terbatas penggunanya. Bahkan, berkat bimbingannya, Aling Lai berhasil meraih kemenangan dalam berbagai kejuaraan pesawat-model di berbagai negara.
Menyemai Hobi Kreatif
Aling Lai yang lahir pada tahun 1952 di kawasan Ching-Chuan-Kang, Taiwan, harus mengikuti wajib militer selama 3 tahun. Pada 1974, setelah menyelesaikan kewajibannya tersebut, gelora bisnisnya semakin tak terbendung. Dimulai dengan membuat sebuah klub pecinta pesawat-model, Lai mempelajari pasar mainan berbasiskan hobi di Taiwan. Sebuah peluang datang ketika melihat belum adanya pemasok untuk pesawat-model tersebut. Berbekal dana pinjaman dari sang kakak, Lai mendirikan toko pertamanya dan melayani para hobiis lokal dan juga tentara Amerika yang hilir-mudik di pangkalan udara di sekitar rumahnya.
Namun, baru saja membuka toko, Lai dihadapkan bahwa daya beli hobiis lokal sangat rendah karena harga jual produk Lai senilai dengan biaya kebutuhan 1 keluarga di daerahnya selama 1 bulan. Hal ini terjadi karena pemerintah Taiwan menerapkan 150% tarif terhadap biaya masuk dan kesejahteraan penduduk di daerah tersebut yang belum meningkat. Lai kemudian memindahkan tokonya ke pusat kota dan memulai lagi bisnisnya disana.
Tak habis akalnya untuk mengoptimalkan keuntungan yang harus diperolehnya dari toko yang dia bangun ini. Melihat pengenaan tarif yang begitu besar, Lai memutuskan memproduksi sendiri beberapa bagian dari produk yang dijualnya. Lai pun meminta sebuah pabrik lokal untuk dapat membantunya memproduksi piranti pendukung dari pesawat-model yang dijualnya. Totalitas hobi Lai pun semakin terlihat tatkala Lai sendiri yang menjaga tokonya sepanjang hari dan kemudian pada malam harinya, Lai menghabiskan waktu untuk merakit bagian-bagian dari pesawat-model yang akan dijualnya di toko.
Berkat keuletan dan semangatnya menjalani bisnis yang juga hobinya, Lai berhasil membangun Thunder Tiger Corporation untuk memproduksi sebagian besar produk model yang dijualnya. Melalui pengalamannya pula, kini Lia menuai keuntungan dari kemampuannya dalam memilih lokasi toko untuk menjual, membangun jejaring dengan pemasok, membangun organisasi, dan tentunya cara memasarkan produknya.
Akselerasi Menjadi Seorang Unggulan
Lai sangat menyadari bahwa bisnis radio control ini merupakan bisnis dengan siklus produk yang pendek. Ketika masa suka atau kegemaran akan suatu model sudah terpuaskan, maka konsumen yang mayoritas adalah hobiis, akan menuntut lagi model dan rancangan baru untuk mereka nikmati. Instingnya yang juga adalah seorang hobiis membuat Lai berani berkeputusan untuk mengalokasikan 6% dari total pendapatan Thunder Tiger untuk menjadi biaya riset dan pengembangan.
Upaya konsisten dan rasional tersebut kemudian diganjar dengan sebuah penghargaan bertitel Taiwan Symbol of Excellence untuk 14 tipe produk yang diluncurkannya. Bahkan, dari beberapa seri radio-control yang dipasarkan, salah satunya Super Combo Series, menjadi pionir dan mainstream dalam pengembangan model radio-control di dunia. Lai pun tidak lupa dengan konsep keunggulan komparatif, dimana beberapa bidang di dalam hobinya bukan merupakan kompetensi dari Thunder Tiger. Lai kemudian menjalin kerjasama dengan pionir-pionir top dari berbagai bidang, antara lain Kazuhiro Mihara (desain mesin), Shigetada Taya (desain helikopter), dan Franco Sabatini (desain mobil balap).
Kisah Lai ini telah memberi bukti bahwa hobi dan bisnis dapat saling bersinergi untuk menciptakan suatu keunggulan bersaing. Insting dan perasaan hati yang senang bercampur dengan kelihaian berbisnis membuat Aling Lai mampu membawa Taiwan ke tingkat tertinggi negara-negara penghasil leisure industry terbesar dunia. Aling Lai juga memberikan bukti bahwa hal-hal sederhana yang ditekuni dengan baik dan perasaan bahagia, akan membawa kekuatan yang besar untuk mengubah dunia.
Artikel ini tersedia dalam edisi cetak pada Forum Manajemen Prasetiya Mulya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H