Kebutuhan sebuah perusahaan untuk mengambil keputusan yang baik ternyata tidak hanya membutuhkan kontribusi dari sang manajer saja, melainkan juga kontribusi dari tim di dalam perusahaannya. Seorang manajer harus mampu mengakomodasi ide dan gagasan anggotanya dalam mengambil suatu keputusan, bukannya bertindak sendiri layaknya seorang single fighter dengan alasan apapun. Akan tetapi, rasa egois pribadi yang berasal dari kesuksesan sang manajer saat masih menjadi individu, membuat manajer tersebut memiliki tingkat kekhawatiran yang semakin tinggi jika memberikan kesempatan berdiskusi dengan bawahannya. Kesuksesan masa lalu membuat posisi manajer menjadi bias dan merasa menjadi manusia terpandai di ruangan dan menafikan anggota lain di kelompoknya.
Pendekatan yang digunakan manajer jenis tersebut mendorong mereka untuk memaksimalkan kemampuan mereka dibandingkan mengembangkan kapasitas berkolaborasi di dalam timnya. Para manajer tersebut merasa bahwa kemampuan mereka dalam mengambil keputusan adalah suatu anugerah dari Tuhan (gifted problem solver), sehingga menaruh kepercayaan yang rendah kepada bawahannya.
Seorang manajer solo dengan karakteristik tersebut cenderung hanya menjadikan bawahannya sebagai anggota suku dibandingkan seorang rekan kerja. Para bawahannya pun menjadi merasa tidak dihargai karena setiap pekerjaan sudah disediakan arahan yang tidak boleh dilakukan penyesuaian tanpai izin sang manajer. Motivasi bawahan menjadi rendah dan pada akhirnya kecepatan perkembangan perusahaan menurun. Menurut penelitian yang telah dilakukan di negara maju, tipe manajer solo merupakan sumber bottleneck utama dari rendahnya produktivitas perusahaan, karena sang manajer selalu ingin berada di setiap area pengambilan keputusan.
Bagi para manajer solo, berpikir untuk menjadi manajer kolaborator merupakan suatu turning point yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecepatan pergerakan perusahaan. Melalui kemampuan kolaborasi yang baik dengan bawahannya, manajer dapat mengambil keputusan dengan lebih tepat dan fokus sesuai dengan rekomendasi bawahan. Tindakan seperti ini akan membuat bawahan lebih merasa dihargai dan memiliki andil dalam kesuksesan yang diraih dari hasil keputusan tersebut.
Manajer yang mampu mewujudkan kolaborasi dengan bawahan akan mampu membawa transformasi positif di dalam suasana kerja, antara lain scalability, ownership, retention, dan motivation. Scalability adalah mendayagunakan seluruh pegawai untuk mengelola berbagai persoalan dan isu yang berpengaruh terhadap perusahaan dan memprediksi setiap hasil yang mungkin terjadi dari persoalan tersebut. Ownership merupakan rasa memiliki dari setiap pegawai terhadap setiap keputusan yang diambil manajer karena mereka turut ambil bagian dalam keputusan tersebut. Retention merujuk kepada kemampuan manajer menjaga agar para pegawai, khususnya yang memiliki potensi, untuk nyaman dalam pekerjaannya dan tidak berpikir untuk keluar. Motivation merupakan keinginan yang dimiliki oleh para pegawai untuk terus dalam perusahaan karena dapat berkontribusi signifikan bagi perusahaan.
Menjadi manajer kolaborator bukanlah menjadi seorang Direktur Jawaban (chief of answers). Menjadi seorang manajer kolaborator menunjukkan bahwa manajer tersebut mampu mengaplikasikan berbagai perspektif dalm mengambil keputusan yang berasal dari rekomendasi anggota tim. Manajer kolaborator akan terus berusaha menantang status quo dan membuat perubahan-perubahan positif di perusahaan. Manajer kolaborator akan berupaya membuat seluruh aspek perusahaan menjadi lebih paham dalaam pengambilan keputusan dan berupaya terus mengikutsertakan tim sebagai partner dalam mewujudkan keputusan menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H