[caption id="attachment_30426" align="alignright" width="298" caption="Kusmayanto Kadiman di acara Kopdar Kompasiana 2008 - admin (KOMPAS.com/Edi Taslim)"][/caption] Sebagian ekonom memperlakukan iptek sebagai faktor eksternal dari pasar, yakni faktor produksi bagi produsen (atau alat‐alat bagi konsumen). Sebagian teknolog memperlakukan pasar sebagai faktor eksternal dari iptek, arena jual‐beli yang meminta hasil penerapan iptek. Dari sini, terlewatkan adalah hubungan‐hubungan saling terpaut dengan intim antara iptek dan pasar. Transaksi pasar seringkali merupakan arena dimana iptek berkembang dan bersirkulasi. Meski demikian, dalam praktiknya bisa saja kedua kegiatan ini, pengembangan iptek dan transaksi pasar, tidak bersifat saling perkuat (mutual reinforcement). Berikut ini mari kita tengok langkah‐langkah yang ditempuh dua negara maju dan berkembang, yang membawa efek terjadinya saling perkuat antara iptek dan transaksi pasar. Khususnya akan didiskusikan perkembanga di Amerika Serikat (AS,United State of America) pada periode 1900 sampai paska 1990an, dan Cina (China) pada periode 1970 sampai 1990‐an. Akan digunakan kata valorisasi yang berarti memberi nilai tambah atas modal ataukapital yang dimiliki. Walau kata valorisasi ini berasal dari kata Bahasa Perancis, eg. valorisation des déchets namun sesungguhnya makna dari valorisasi ini bermuara dari kritik Kalr Max pada konsep politik-ekonomi yang pada waktu itu berkembang di Eropah. Karl Max menyodorkan sebuah konsep tandingan yang dalam Bahasa Jerman disebut Kapitalverwertung yang selain susah dilafalkan oleh orang-orang yang tidak berlidah Jerman juga sering diartikan salah yaitu sebagai pembengkakan-diri (self-expansion) modal, yaitu jalur singkat uang hasilkan uang. Catatan: Certia tentang hal ini ada dihttp://umum.kompasiana.com/2009/09/22/money-makes-money-–-the-change-agents/ Padahal yang dimaksud penggagas konsep ini adalah modal memberi nilai tambah pada barang, yaitu membentuk siklus yang lebih panjang -- uang (atau modal) ke barang dan baru kemudian menjadi uang yang nilainya lebih besar dari uang (modal). Valorisasi dalam Bahasa Perancis lebih tepat dan mudah dilafalkan dan dipahami ketimbang kata aslinya dalam Bahasa Jerman. Valorisasi Iptek di AS Dalam literatur, para peneliti menyimpulkan bahwa ekonomi AS di akhir abad ke-19 tidak kompetitif. Dalam hal kemajuan iptek, AS jauh tertinggal dari negara-negara Eropah seperti Jerman, Belanda dan Perancis. Meskipun demikian, tingkat kesejahteraan masyarakat AS di masa itu jauh di atas masyarakat negara‐negara Eropa. Tiga faktor bekerja menopang kesejahteraan masyarakat AS: sumber daya alam yang berlimpah, pasar domestik yang berukuran besar, dan tradisi berdagang dan berusaha yang dipraktekkan meluas di masyarakat AS. Terpeliharanya tradisi berdagang ini bersumber pada kondisi sosio‐historis bangsa AS. Para imigran dari Eropa yang tinggal di AS banyak yang hidup sebagai pedagang, dan menimbulkan struktur sosial yang relatif rat (flat), atau tidak hirarkis. Ini membedakan AS dari negara‐negara Eropa dan Cina yang pernah memiliki kerajaan atau dinasti yang kuat, didominasi oleh kalangan bangsawan, yang menghasilkan struktur sosial berbentuk hirarkis. Di akhir abad ke-19, praktik kartel berkembang luas dikalangan pelaku pasar. Banyak pengusaha beraliansi dan mengendalikan harga produk. Hal ini menimbulkan protes dari masyarakat sipil (kalangan konsumen), karena mengancam kebebasan konsumen. Merespons meluasnya gejolak sosial akibat praktik kartel tersebut, Pemerintah Federal AS mengeluarkan kebijakan antitrust untuk melarang praktik kartel tersebut. Larangan praktik kartel ini menstimulasi perusahaan‐perusahaan AS untuk menempuh strategi persaingan yang baru, yakni dengan melakukan diferensiasi produk melalui inovasi teknologis. Mereka mulai menengok hasil‐hasil riset iptek di Eropa, untuk digunakan dalam diferensiasi produk. Berkembanglah kemudian praktik diferensiasi produk dengan pola ‘pinjam dan komersialisasi’ (borrowing and commercialization). Sumber‐sumber iptek seperti mesin bakar, kimia organik dan polimer, serta pesawat jet komersial semuanya berasal dari hasil‐hasil riset di Eropa. Para pengusaha AS meminjam hasil‐hasil riset ini, dan juga menyewa para periset dari Eropa, untuk melakukan modifikasi secara berangsur‐angsur untuk tujuan persaingan domestik. Ini semua berlangsung sampai menjelang Perang Dunia I di awal 1940‐an. Catatan: Fenomena migrasi periset dari Eropah ke AS ini yang kemudian memicu isu sosial The Brain Drain. Untuk cerita lebih lengkap kunjungihttp://umum.kompasiana.com/2009/08/02/brain-drain-–-jangan-terkecoh/ Strategi ‘pinjam dan komersialisasi’ dilakukan oleh perusahaan‐perusahaan AS dengan mendirikan ‘laboratoria industrial.’ Perguruan‐perguruan tinggi (terutama Massachusetts Institute of Technology dan University of Stanford) mulai terlibat, dan relevansi antara riset di perguruan tinggi dan riset industrial mulai meningkat. Tetapi bermacam kegiatan riset akademik (perguruan tinggi) tersebut berorientasi sepenuhnya terapan, dengan misi mengeksploitasi pengetahuan akademik untuk menurunkan biaya produksi, meningkatkan kehandalan produk, atau mengembangkan desain produk yang baru. Pemerintah memainkan peran yang penting untuk menjaga agar irisan tersebut tidak menimbulkan efek yang saling merugikan. Institusi iptek tetap memegang misi pengembangan iptek, dan institusi pasar mengemban misi meningkatkan daya saing ekonomik nasional. Penyerapan iptek ke dalam institusi pasar AS menghasilkan sumber‐sumber daya iptek yang penting bagi perkembangan ekonomi dan pertahanan militer bangsa AS. Sumber‐sumber daya iptek ini kemudian dieksploitasi di era paska Perang Dunia (paska 1945), dimasa Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Pemerintah Federal AS melakukan investasi besar ke dalam program‐program riset, pengembangan infrastruktur riset dan transformasi berbagai institusi riset, untuk kepentingan pertahanan. Namun demikian, langkah‐langkah ini menimbulkan efek bumerang. Ketika perkembangan iptek dan industri‐industri terlalu berorientasi pada kepentingan pertahanan, relevansi iptek dengan perkembangan ekonomik menjadi lemah. Seusai Perang Dingin (pada tahun 1989), Pemerintah Federal membelokkan kembali arah riset dan pengembangan iptek pada kepentingan daya saing ekonomik, terutama untuk menghadapi ekspansi bisnis perusahaan‐perusahaan elektronik dari Jepang. Valorisasi Pasar di Cina Perkembangan di Cina berbeda secara mencolok dari AS, dan hal ini tidak terlepas dari perbedaan struktur sosial dan kebudayaan masyarakat di kedua negara besar tersebut. Cina, seperti juga AS, memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan memiliki populasi penduduk yang besar. Pada awal 1970‐an, pemerintah negara ‘Tirai Bambu’ ini memulai bereksperimen dengan kebijakan‐kebijakan untuk memacu perkembangan iptek, untuk tujuan memacu kemajuan kemajuan. Seorang tokoh reformis di masa itu, Deng Xiaoping, berargumen bahwa: “Profound changes have taken place and new leaps have been made in almost all areas. A whole new range of new sciences and technologies is continuously emerging“ Langkah‐langkah yang ditempuh Pemerintah Cina adalah, antara lain, melakukan impor iptek dari negara‐negara Barat untuk tujuan merenovasi perusahaan‐perusahaan milik negara. Penanaman modal asing dirangsang untuk masuk ke Cina, tapi dengan batasan‐batasan yang ditentukan oleh Pemerintah Cina. Meskipun ekonomi Cina dimasa itu sudah terbuka terhadap korporat multinasional (Multi-National Corporation, MNC), tetapi peran MNC di pasar domestik dibatasi, dengan cara diharuskan bermitra dengan BUMN Cina. Salah satu program pemerintah berpengaruh meluas adalah yang dikenal dengan The Torch Plan yang mencakup pengembangan berbagai kawasan hi-tech (high‐technology). Dalam kawasan itu didirikan sejumlah perguruan tinggi berikut perusahaan‐perusahaan hi-tech, yang menggabungkan riset, pendidikan, dan produksi industrial. Para pelaku utama dalam proses inovasi tersebut adalah perusahaan milik negara (BUMN), perguruan tinggi, dan lembaga riset pemerintah. Tetapi strategi ini tidak sukses. Hubungan antara institusi riset dan perusahaan swasta Cina tidak berkembang. Meskipun telah berdiri sejumlah industrial parks, hanya sedikit perusahaan swasta Cina yang berpartisipasi di situ. Pemerintah Cina pun mengubah kebijakannya, dengan mengurangi kendali pemerintah pusat, serta lebih terbuka lagi terhadap penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment, FDI). Pada awal1990‐an pemerintah Cina meminta perusahaan‐perusahaan swasta Cina untuk melakukan alih teknologi, dan mengupayakan peningkatan kapabilitas teknologi. Grup swasta didorong untuk melakukan pengembangan produk, dengan berbasiskan riset iptek yang berorientasikan persaingan pasar. Kebijakan ini menstimulasi tumbuhnya kelompok swasta non‐pemerintah yang didirikan oleh para individual dari perguruan tinggi, dengan kepemilikan secara bersama publik‐swasta. Di tahun 1995, Partai Komunis mempertegas arah kebijakan nasional dan memutuskan untuk mempercepat pengembangan iptek. Dalam kebijakan yang baru ini, pengembangan riset fundamental menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan pengembangan teknologi terapan diserahkan ke para pelaku pasar (Cina) dan pemerintah provinsi. Perhatian pada perusahaan kecil dan menengah mulai meningkat. Pengembangan industrial parks juga bergeser kearah yang lebih sesuai dengan kebutuhan perusahaan kecil dan menengah. Sejumlah pusat inkubasi membentuk modal ventura untuk kelompok usaha kecil‐menengah, dan membantu mereka untuk mendapatkan pinjaman-lunak bank. Meskipun sukses merangsang pertumbuhan pelbagai perusahaan berbasis iptek, muncul persoalan baru yang signifikan. Program akuisisi teknologi lewat FDI justru menimbulkan dominasi pasar domestik oleh kelompok usaha multinasional berbasis asing. Dibanyak sektor, para MNC bergerak jauh lebih agresif dan meraih posisi pasar yang kuat, serta mempertahankan kendali mereka atas kepemilikan teknologi. Keterbukaan terhadap FDI tidak memberikan manfaat pada Cina dalam bentuk alih teknologi.
Ekonomi Cina telah makin terbuka terhadap investasi asing dan, dalam artian ini, berayun ke ujung ekstrim dari ekonomi terpusat (dan dikendalikan oleh pemerintah), ke arah yang lebih liberal. Namun penanaman modal langsung tidak membawa tumpahan (spillover) dalam bentuk alih teknologi yang semula diharapkan oleh pemerintah Cina. Peningkatan investasi asing tidak menghela adopsi dan difusi teknologi sekaligus. Menyadari sekaligus menyikapi situasi ini, pemerintah Cina mengubah kebijakannya lagi, dan penekanannya kali ini berorientasi keluar dan berorientasi domestik sekaligus. Pemerintah Cina mengubah kebijakannya, dengan memberikan peranan pada perusahaan swasta domestik (swasta Cina) untuk mengembangkan iptek. Pemerintah Cina melihat bahwa perkembangan teknologi tidak bisa didorong melalui monopoli perusahaan milik negara, tetapi juga tidak bisa dihela melalui penanaman modal asing dan alih teknologi. Dalam reformasi kali ini, pemerintah Cina lebih memprioritaskan dukungannya pada kelompok usaha kecil dan menengah (UKM), terutama bagi perusahaan yang mengupayakan pengembangan iptek untuk bersaing. Termasuk ke dalam kategori ini adalah berbagai perusahaan baru yang merupakan spin‐off dari aktivitas riset di perguruan tinggi dan di lembaga riset. Pemerintah Cina melakukan reformasi di sektor pajak dan perbankan, sehingga menjadi kondusif bagi persaingan domestik antara perusahaan‐perusahaan tersebut. Pemerintah Cina tidak lagi melihat perusahaan swasta (Cina) sebagai ‘lawan’ dari perusahaan negara. Sebaliknya, pemerintah memperlakukan perusahaan swasta sebagai ‘perusahaan nasional’ yang dinilai turut memperjuangkan kepentingan nasional, yaitu bersaing menghadapi perusahaan‐perusahaan asing.
Aristoteles -- A state is not a mere society, having a common place. Political society exists for the sake of noble actions, and not of mere companionship.Aristoteles
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H