Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saving Our Food, Our Healthy Food Begins With You !

24 Januari 2010   14:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:17 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_20699" align="alignleft" width="300" caption="SHUTTERSTOCK"][/caption] Save Our Food, Our Healthy Food adalah tagline yang digunakan selama acara Konferensi Anak yang digelar Majalah Bobo, Kompas Group dan didukung beberapa mitra dan sponsor. Puncak acara Konferensi Anak ini diselenggarakan Kamis 29 Oktober 2009 dengan menampilkan deklarasi 7 anak Indonesia mewakili 38 anak terpilih dari NTT sampai Sulut dan dari Papua sampai NAD. Inti dari deklarasi tersebut tidak lain adalah mengingatkan pentingnya ketersediaan pangan yang sehat bukan hanya untuk generasi sekarang juga bagi generasi mendatang. Dalam konferensi ini diadakan pula lomba mengarang. Salah satu karangan yang dibacakan berjudul “Gethuk buatan Mbah-ti” yang bercerita dengan ceria bahkan kocak tentang dua anak yang masing-masing bersikukuh akan pendapat bahwa makanan khas yang mereka bawa saat libur pulang kampung yaitu gethuk dan burger memiliki rasa lebih enak dan lebih sehat. Karangan tersebut ditutup dengan manis dengan lantunan sebuah lagu sambil didendangkan oleh sang pengarang cilik “Gethuk asale seko telo, wes sue ‘gak pethuk dadi gelo”. Tafsir tagline ini adalah Selamatkan Makanan Kami, Makanan Kami Yang Sehat. Ini adalah pesan anak-anak Indonesia pada kita semua agar bijak dalam mengelola sumber daya alam yang berpotensi menjadi sumber makanan. Mereka juga mengingatkan bahwa bukan hanya generasi sekarang saja yang berhak menikmati kekayaan alam. Janganlah perlakukan semata-mata sebagai warisan nenek-moyang yang bisa dikonsumsi habis sesuka hati melainkan juga sebagai titipan anak-cucu yang musti dirawat dan dipelihara ketersediaan dan keberlangsungannya. Save Our Food -- Bukan Sekedar Gerakan Moral Bagian awal dari tagline yaitu Save Our Food bukanlah ide baru. Ini perjuangan yang telah banyak dilakukan dalam berbagai konteks. Walau Konperensi Anak lebih peduli pada ketersediaan pangan bagi generasi mereka dan penerus, ada juga upaya menghimbau agar masyarakat mengkonsumsi makanan enak yang bersifat lokal yaitu yang berasal dari daerah sekitar. Salah satu gerakan Save Our Food adalah seperti yang dilakukan Badan Pertanian Virginia, Amerika, http://www.saveourfood.org/Pages/default.aspx yang bahkan telah pula melakukan kampanye dijital (digital campaign) memanfaatkan jejaring sosial Twitter. Gerakan ini mengupayakan edukasi publik tentang makanan yang dikonsumsi masyarakat dan melakukan promosi untuk memaksimalkan konsumsi makanan yang berasal dari tanaman, tumbuhan, ternak dan perikanan lokal. Dalam perspektif sosiopolitik, apa yang dilakukan Badan ini tidak lain adalah perjuangan kemandirian pangan atau dikenal dengan istilah fortifikasi (KKadiman, Kompas 1 Maret 2009) yang menjadi kiat pamungkas dalam mengambil manfaat dari globalisasi. Dipercaya bahwa tanpa fortifikasi yang memadai maka globalisasi hanya akan menciptakan ketergantungan. Itu sebabnya ada pihak yang sinis dengan mengatakan bahwa globalisasi setali tiga uang dengan tsunami. Tanpa perbaikan dalam pembuatan gethuk dan promosi serta edukasi publik maka niscaya gethuk akan punah terlanda tsunami burger (NB. Penggalan kata dari hamburger yang merupakan makanan khas masyarakat Hamburg, Jerman). Begitu pula dengan berbagai varian makanan lokal seperti Bubur Menado (Sulut), Bubur Bose dan Daging Sei (NTT), Bubur Sagu (Papua) dan Ayam Tangkap dan Ikan Kayu (NAD). Inisiatif beberapa Pemerintah Provinsi untuk melestarikan makanan lokal layak mendapat dukungan dan bukan sekedar acungan jempol. Ambil contoh bubur bose yang khas NTT. Bubur bose mengandung berbagai jenis bahan pangan pokok dari sumber lokal seperti jagung, kacang tanah, kacang merah dan kacang hijau. Memasak bubur bose dengan cara tradisional akan membutuhkan waktu tidak kurang dari lima jam. Tanpa sentuhan teknopangan maka keberadaan bubur bose terancam oleh pangan cepat saji yang notabene bukan pangan asli dan lokal (non indigenous food atau alien). Telah ada inovasi menghasilkan formula dan teknik yang menyediakan bubur bose cepat saji dan bergizi: Instant Bose ! Idem ditto dengan bubur jagung relle gatti khas Sulsel. Dalam perspektif yang lebih luas, PBB melalui Badan Pangan Dunia (FAO) dalam rapat paripurnanya di pertengahan Oktober 2009 di Roma, Italia mengambil tema sentral Food 2050. Ketahanan (resilience) dijadikan sebagai kata kunci dalam Food 2050. Ketahanan yang dimaksud adalah merupakan perpaduan dari kata-kata : ketersediaan, kecukupan, aman, sehat, dapat diakses akses atau terjangkau. Healthy Food -- Menggugat Semangat 4 Sehat 5 Sempurna Masa awal kemerdekaan RI kita isi dengan semangat yang oleh Presiden Soekarno digelorakan sebagai Nation Building yaitu sebuah perjuangan membangun rasa kebangsaan yang matap dan kompak dengan satu tujuan luhur yaitu -- keutuhan NKRI. Selama perjuangan ini ketersediaan pangan yang bergizi menjadi isu besar. Berbagai upaya dengan mengandalkan kemampuan dalam negeri dan juga uluran bantuan negara-negara sahabat digalang. Gerakan sosial disertai pembelajaran publik dilakukan. Semangat dengan slogan empat sehat lima sempurna digulirkan. Dengan memenuhi empat komponen pangan maka dikatakan kebutuhan minimal tubuh kita akan protein dan karbohidrat terpenuhi. Konsumsi susu sebegai komponen kelima dijadikan sebagai kompenen penyempurna gizi atau nutrisi bagi tubuh. Dalam Semangat 4 Sehat dan 5 Sempurna ini pangan pokok seperti beras, kedelai, terigu, dan gula memainkan peran penting. Sampai-sampai terjadi sebuah gerakan nasionalisasi mengkonsumsi beras. Secara fisik diupayakan penanaman padi untuk menghasilkan beras diseantero NKRI. Masyarakat Indonesia yang semula multi-kultur dalam perspektif pangan pokok melalui gerakan ini diubah menjadi msyarakat monokultur -- beras ! Sempat terjadi gegar budaya (cultural shock) khususnya bagi masyarakat di bagian timur Indonesia yang sejatinya tidak mengenal beras sebagai pangan pokok. Mereka lebih berkawan dengan pangan pokok paduan jagung, sagu, kacang tanah, ubi jalar dan singkong. Sayuran, ikan dan daging sama-sama menjadi pelengkap. Begitu pula dengan gula dan garam. Bukan hanya Indonesia yang mengalami tantangan penyediaan pangan yang cukup bagi rakyatnya, negara-negara yang notabene negara majupun pernah mengalaminya. Angkatan jadul seperti Silver Generation dan Baby Boomers tentu masih ingat dengan gerakan dan himbauan Drink More Milk dan Eat More Beef. Zaman telah berubah yang diikuti dengan kemajuan khususnya meningkatnya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber pangan. Sayuran, umbi dan bulir yang semula hanya mengandalkan hasil berbagai jenis tumbuhan (plants) kini sudah lebih banyak diproduksi sebagai panen macam-macam tanaman (crops). Begitu juga halnya dengan ikan dan daging, tidak lagi semata mengandalkan tangkapan dan hasil buruan di alam bebas melainkan lebih pada upaya budidaya. Sudah saatnya mengganti semangat perjuangan empat sehat dan lima sempurna menjadi makanan sehat dengan gizi berimbang dengan tagline Sehat dan Berimbang atau healthy food. Kuantitas dan kualitas pangan musti diupayakan terjaga seimbang. Obesitas adalah dampak negatif dari mengkonsumsi pangan yang tidak berimbang, yaitu konsumsi melebihi kebutuhan tubuh. Defisiensi nutrisi atau malthus juga disatu sisi merupakan dampak negatif dari konsumsi pangan yang tak berimbang, yaitu kurangnya asupan dibanding kebutuhan minimal tubuh. Obesitas dan malthus adalah dua contoh ekstrim. Banyak juga risiko yang musti ditanggung jika secara terus menerus tidak disiplin pada prinsip sehat dan berimbang. Sebut misalnya -- darah tinggi, kencing manis, diabetes mellitus, kolesterol pembunuh, asam urat penyiksa. Saving Our Food, Our Healthy Food Begins With You !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun