Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perburuan Gelar Akademik & Ambivalensi Kompas

18 Juli 2010   15:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

UUD-45 Bab XA hak Asasi Manusia, Pasal 28C

  1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat PENDIDIKAN dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Cuplikan UUD-45 diatas menggambarkan bagaimana para pemimpin bangsa ini sejak awal kemerdekaan sudah memposisikan pendidikan serta pemanfaatan iptek, seni dan budaya sebagai sektor terpenting dalam upaya pencapaian cita luhur kemerdekaan yang kemudian ditegaskan dalam Sila-V Pancasila -- Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Dahaga ilmu dan pengetahuan dapat dipuaskan dengan banyak cara. Jalur bangku sekolah dengan meniti dari sekolah dasar sampai ke strata pendidikan tertinggi hanyalah salah satu cara. Otodidak dan berguru langsung pada suhu bergaya pesantren atau padepokan adalah cara lain yang juga banyak ditempuh. Bahkan belakangan ini marak model alternatif yang mendatangkan guru ke rumah yang kemudian dikenal dengan istilah home schooling. Jalur resmi seperti sekolah lazim memberikan ijazah dan gelar akademik sebagai pertanda bahwa seorang murid termasuk mahasiswa telah menyelesaikan studinya sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah dipenuhi. Namun belakangan ini banyak kita baca dan dengar perburuan gelar akademik karena mitos bahwa gelar akademik itu menaikkan status sosial sang penyandang gelar akademik. Telah terbentuk aliran sesat neo-feodalisme melalui perburuan gelar akademik. Selain itu dalam tatanan resmi dan non-formal sering pula memicu gerakan perburuan gelar akademik. Tengok misalnya salah satu persayaratan yang wajib dipenuhi untuk menjadi wakil rakyat, pemimpin nasional atau daerah. Mereka yang karena kesalahan orang tua kesalahan sendiri atau kesalahan lingkungan tidak mengindahkan jalur sekolah sehingga pada saat mencalonkan dirinya ikut kompetisi menjadi panik dan latah mengikuti jalur pintas dan sesat melakukan perburuan gelar akademik. Segala macam cara instan ditempuh. Aspal yang merupakan akronim dari asli tapi palsu adalah istilah yang timbul sebagai akibat dari perburuan akademik. Begitu pula saat kita membaca pengumuman lowongan kerja, gelar akademik dan ijazah sering dijadikan syarat mutlak. Persyaratan gelar akademik ini telah menimbulkan dampak sistemik yang menjadi salah satu faktor pemicu terhadap karut marutnya sistem pendidikan kita. Belum lagi penggunaan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimum sebagai syarat dalam mengisi lowongan-lowongan kerja. Kebablasan ! Doktor : Mengapa Diburu Orang? Doktor adalah gelar akademik tertinggi (strata-3) yang diberikan kepada seorang mahasiswa yang dalam sistem pendidikan tinggi sering disebut sebagai promovendus (KBBI : sarjana yg menyusun disertasi dan mempertahankannya untuk memperoleh gelar doktor di perguruan tinggi). Barangkali karena doktor ini adalah gelar akademik tertinggi dan tentunya paling bergengsi maka bagi segelintir masayarakat kita yang menjadi penganut aliran sesat neo-feodalisme menjadikannya sebagai “barang perburuan” paling mulia.  Mereka lupa bahwa dalam dunia kampus khususnya dalam darma penelitian, gelar doktor ini adalah langkah awal dari seorang peneliti untuk mendapat status sebagai peneliti mandiri. Status peneliti mandiri itu diberikan pada seorang peneliti jika iya telah terbukti mampu melakukan seluruh tahapan penelitian (the research life cycle) secara paripurna, penuh dedikasi dan bertanggungjawab. Tahapan penelitian itu mencakup penyusunan rencana, pembuatan rancangan, eksekusi riset, berfikir a la akademikus (misalnya hypotetico-deducto-verivikatif), menyusun laporan dan evaluasi penelitian serta mempublikasikan hasil peneilitian baik dalam makalah seminar, jurnal ilmiah, penulisan buku teks sampai pada upaya melindungi hasil penelitiannya dalam bentuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI atau HKI). Tak jarang setelah usai program S3, seorang doktor masih memerlukan magang sebagai peneliti dibawah bimbingan peneliti mandiri yang biasanya memangku jabatan akademik Profesor. Program magang ini lazim dikenal sebagai the post doctorate research program yang disingkat sebagai post-doc. Doktor sebagai gelar tertinggi akademik yang membuat kalangan neo-feodalisme silau. Mereka terperangkap dalam mitos status sosial tertinggi. Banyak kaum mapan baik mapan harta maupun kekuasaan yang juga terjerembab dalam mitos ini. Banyak media ikut latah dengan memberitakan upacara sidang terbuka S3 padahal nilai berita baik dari tokoh yang ditampilkan maupun ulasan disertasi yang dijadikan bahan tulisan terkesan biasa-biasa saja. Kompas Turut Jadi Kompor : Mengapa? Koran besar seperti Kompas menampilkan berita karena nilai berita itu yang memang dipandang pantas untuk disampaikan pada publik. Ada juga berita walau jumlahnya sangat sedikit atau tidak signifikan yang dibasiskan pada hubungan emosional misalnya sang promovendus adalah warga Kompas atau jika tema sentral disertasi adalah seputar misi yang diperjuangkan Kompas. Baru-baru ini Kompas beberapa kali menampilkan berita lengkap dengan foto dari sidang terbuka S3. Baik tokoh dan juga tema serta tesa penelitian S3 tersebut terkesan biasa-biasa saja namun menjadi berita oleh Kompas. Ini tentunya menarik perhaian dan membuat penasaran, khusuanya bagi pembaca yang juga memegang nilai-nilai luhur yang dijunjung Kompas. Setelah membaca dan melihat foto dalam berita-berita itu hati kecil saya bertanya, apa sebetulnya yang istimewa dari peristiwa sidang terbuka itu sehingga menarik perhatian wartawan dan lolos dari saringan ketat dewan redaktur. Muskil rasanya jika kiriman undangan, tiket pergi-pulang, voucher penginapan plus per diem ditambah uang lelah mampu menggerakkan pena wartawan dan menembus filtrasi redaktur berita. Dalam tajuk rencana dan banyak artikel bermutu di kolom opini baik di halaman-6 ataupun halaman-7 Kompas dan juga kolom fokus yang dengan kritis, komprehensif dan bijak mengupas dunia pendidikan kita. Tak jarang ditampilkan artikel-artikel yang bermuatan usul konkrit, rekomendasi strategis sampai solusi alternatif pembenahan sistem pendidikan nasional. Berita-berita seputar sidang terbuka S3 jelas menjadi paradoks. Semoga artikel ini menjadi jamu (pahit namun berkhasiat) bagi kita untuk terus berjuang membenahi dunia pendidikan kita, melakukan pembelajaran publik dan gigih berjuang melawan gerakan babi-buta perburuan gelar akademik dan mengikis habiss neo-feodalisme. Itu gelora semangat yang dikobarkan Duo Deklarator Kemerdekaan RI dan penyusun UUD-45. Dan, jamu ini juga menjadi kado ultah ke-64 Kompas tercinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun