Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Liburan di Bali : dari Bedugul, ke Gus Dur, sampai Baliaga

1 Januari 2010   15:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berlibur di Bali sudah menjadi kegemaran bayak orang, turis domestik maupun macanegara. Walau faktanya hal ini masih berupa angan-angan bagi lebih banyak khalayak baik karena alasan ekonomi maupun sederet penyebab lainnya. Pulau Dewata atau Nirwana adalah dua sebutan lain untuk Bali, begitu harum namanya ke saentoro Nusantara dan ke seluruh penjuru dunia. Bahkan bukan hal yang mengejutkan jika sempat mendengar percakapan singkat “Where are you from?” “I am from Indonesia” “ooh, which part of Bali is that?” “????”. Liburan akhir tahun bersama seluruh anggota keluarga sambil menikmati kebebasan dari segala protokoler dan jadwal ketat dan serba tak pasti merupakan kebahagiaan tersendiri. Kami berkesempatan menikmati keindahan pemandangan terbenamnya matahari di pantai Kuta, hangatnya sinar matahari pagi di pantai Sanur, menyelam di Tanjung Benoa, wisata ke Pulau Penyu, menikmati segar dan dinginnya dataran tinggi di Kebun Raya Eka Karya Tabanan sampai pada khidmat dan nikmatnya the candle-light (plus obor) family dinner by the pool dimalam tahun baru sambil senantiasa waspada karena adanya terror bomb warning in Bali yang disiarkan beberapa stasiun TV nasional dan internasional. Kebun Raya Eka Karya -- The Tree Top Adventure Kebun Raya Eka Karya yang walau lokasinya di Candikuning, Baturiti, Kabupaten Tabanan namun lebih dikenal sebagai Kebun Raya Bedugul, KRB. Orang Bali tak jarang menyebut kawasan wisata bedugul sebagai Puncak. Ini adalah kebun raya pertama yang gagasan, pembangunan dan pengoperasiannya sepenuhnya oleh anak negeri. Kebun-kebun raya lain seperti Bogor, Cibodas dan Purwodadi adalah kebun raya hasil karya semasa penjajahan Belanda. KRB adalah karya putra keturunan Bali, Presiden Soekarno yang mengeluarkan ketetapan pengalokasian sekitar 150 HA lahan diketinggian 1200 - 1400 m dari permukaan laut di tahun 1959. Seabagai Wapres dan Presiden, Megawati banyak memberi perhatian dan dukungan pada pembangunan KRB. Kini KRB memiliki beberapa misi, diantaranya: a. pelesetarian hutan alam, b. konservasi air yang terkait erat dengan tiga buah danau: Tamblingan, Buyan dan Beratan, c. pelestarian tumbuhan endemik, d. riset tumbuhan dan tanaman usada (obat dan jamu), dan e. tempat bermain sambil belajar. Beberapa tahun terakhir bertambah pula misi dan sekaligus atraksi KRB. Pertama: Pemasok kompos penambah nitrogen (kompenit) dalam tanah yang lebih populer dengan sebutan pupuk organik bagi kebun-kebun sayur dan buah yang tersebar disekitar KRB. Semua bahan baku kompenit berasal dari KRB yang telah dengan disiplin menjaga keasrian KRB dengan prinsip reduce, reuse dan recycle. Kedua: The Tree Top Adventure Park yang merupakan fasilitas uji fisik dan nyali bagi individu dan beregu. Kabel-kabel baja, batang kayu serta jaring tambang (tali besar) dipasang diantara pepohonan kekar dengan beragam ketinggian untuk bergelantungan, meniti dan memanjat. Mulai dari yang hanya beberapa meter diatas tanah sampai yang tingginya lebih dari 20 meter.  Jika dalam waktu sekitar 2 jam dapat dengan baik melakukan penjelajahan disemua fasilitas yang dibagi menjadi 6 sirkit maka layaklah menyandang predikat sehat, bugar, kuat dan punya nyali alias pemberani. Dan, pastinya tidak punya rasa takut ketinggian (altophobia). Malam hari di KRB begitu sepi karena semua aktivitas yang terkait layanan pada pengunjung nyaris berhenti sekitar pukul 16 WITA. Sesudah makan malam kami bincang-bincang dengan beberapa peneliti senior KRB yang kebanyakan adalah orang Bali. Saya aktif bertanya tentang antroplogi sosial Bali khususnya bagaimana darah seni (lukis, patung, tari dan sastra) begitu kental dikalangan masayrakat lokal. Terkejut saat mendengar intervensi seputar istilah masyarakat lokal. Ternyata masyarakat lokal dapat secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu Bali Majapahit dan Baliaga (lafalkan Baliage agar serupa dengan logat bahasa Bali. Baliage ini beraryi Bali Asli). Gus Dur -- Kita Ingin Kembali Dijajah Liburan kami di Bali menjadi semakin sulit terlupakan karena saat kami menikmati terbenamnya matahari di pantai Kuta dan makan malam dipinggir laut kami mendapat berita mengejutkan, yaitu berpulangnya Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid yang populer dengan sapaan layaknya tokoh NU yang dicintai pengikutnya -- Gus Dur. Dalam liburan kali ini saya banyak bertanya, bincang-bincang dan cari tambahan pengetahuan seputar tumbuh kembangnya sosiobudaya Bali yang menjadi aktraktor utama selain keindahan alam dalam turisme. Pencarian pengetahuan sosiobudaya semakin menarik saat menjurus kearah hijrahnya seniman dan sastrawan Majapahit ke Bali. Jadi teringat pernyataan visioner Gus Dur “Kita ingin kembali dijajah”. Jika kalimat tersebut diartikan bulat-bulat tentu rasa kesal bahkan dongkol yang muncul dan menyesakkan dada. Namun dengan hati terbuka dan kepala dingin maka pesan tersirat dari Sang Kiyai Haji AW akan dimaknai sebagai pendatanglah yang tak sungkan melakukan perubahan yang fundamental dan pembangunan yang berkelanjutan. Kita tak menyangkal bahwa kemajuan sosioteknoekonomi Hongkong, Singapura dan Malaysia adalah karena pengaruh positif penjajahan Inggris. Begitu juga dengan kemandirian Brazil adalah sebagai akibat penjajahan Portugal. Idem ditto dengan Afrika Selatan. Bahkan jika kita telaah USA dan Australia juga memiliki fenomena serupa. Kita di Indonesia memang lebih banyak mencaci-maki Belanda sebagai perampok kekayaan tanah air kita selama tiga abad masa penjajahan. Juga dengan penjajahan Jepang. Bahkan feodalisme yang sudah mengakar di Indonesia sejak zaman keemasan kerajaan-kerajaan seperti Mataram, Majapahit, Sriwijaya, Siak, Riau dll kita tuding sebagai produk negatif dari penjajahan. Kita tak mau tahu dan menutup mata dan hati atas berbagai inisiatif pembangunan selama masa penjajahan tersebut. Tengok misalnya rencana besar dan realisasi pembangunan infrastruktur khususnya jalan, kereta api, pelabuhan dan irigasi, pertanian, kehutanan, perikanan sampai pada pertambangan minyak, gas dan bahan galian tambang lainnya. Termasuk tentunya beberapa kebun raya dan hutan lindung yang kini menjadi “penjaga gawang” dari kepunahan flora dan fauna Nusantara. Saat Gus Dur berujar “Kita musti kembali dijajah” itu menjadi a whiste blower yang mengingatkan kita untuk jangan terlena dan bangkit untuk merapatkan barisan, menguras tenaga dan memeras otak untuk melakukan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Kembali mengacu pada istilah warga pendatang (Bali Majapahit) dan Bali Asli (Baliaga). Saya kirim pesan mengandung pertanyaan pada sahabat Gede Prama. Jawaban dari Bli Gede Prama sangat menyejukkan “Matur nuwun Mas. Fenomena itu terjadi dimana-mana. Kembali ke tingkatan kita, dualitas dilihat sebagai perang, atau sebagai dua hal yang saling menghidupkan”. Bali Majapahit dan Baliage Setiap pengunjung fisik atau via dunia maya, pasti sepakat bahwa Bali adalah pulau yang penuh karya seni. Macam-maca jenis seni mudah ditemukan di Bali baik sebagai bagian dari ritual keagamaan ataupun pertunjukan dan juga sebagai bagian dari layanan dan atraksi bagi turis. Begitu pula jika kita teropong berbagai ritual keagamaan di Bali maka segera kita lompat pada kesimpulan bahwa mayotitas populasi Bali beragama Hindu. Jika tidak jeli atau tidak punya pengetahuan atau tidak punya niat untuk mengetahui lebih dalam maka tidak akan mudah mengenali perbedaan antara Bali Majapahit (lebih sering dibilang Bali) dengan Baliaga. Postur fisik nyaris tidak kentara perbedaannya. Agamapun sama yaitu Hindu. Nama sama yaitu seputar Nyoman, Ni, Komang, Made, Ketut, Wayan dan Putu. Logat dalam berbahasa juga identikal. Dalam kehidupan sosiobudaya, kedua kelompok masyarakat ini juga sama-sama menjunjung tinggi hukum adat (awig-awig) dan pengawal hukum adat juga sama yaitu pecalang. Pecalang ini bagaikan polisi namun tak pernah membawa senjata selain pentungan terbuat dari rotan, bambu atau sepotong kayu. Namun sering kita lihat bahwa pecalang lebih disegani ketimbang polisi bahkan TNI. Ini terkait dengan kuatnya masyarakat memegang teguh awig-awig. Sistem pengairan yang khas Bali (yaitu subak) tetap langgeng bukan semata karena kecanggihan teknologi dan sistem perairan namun lebih ditentukan oleh kepatuhan masyarakat mengelola subak karena sudah ditetapkan sebagai awig-awig yang dikawal ketat oleh para pecalang. Fenomena serupa juga terjadi dalam pembangunan gedung yang tak pernah lebih tinggi ketimbang pohon kelapa. Anomali hanya pada gedung hotel Bali Beach. Mengapa pecalang lebih disegani? Terkena hukuman oleh pecalang berpotensi terkucil secara adat dan masyarakat Bali. Jika ini terjadi maka bisa menjadi orang asing walau dikampung sendiri. Keterasingan yang menakutkan. Sering juga terdengar berita adanya hukum fisik agar jera  bagai pelanggar awig-awig dilakukan pecalang. Pernah pula diceritakan bahwa pelanggaran sangat berat atas awig-awig dihukum keras yaitu dimasukkan keranjang rotan dan dihanyutkan ke laut dengan pemberat agar tenggelam. Untuk mencari tahu (fakta atau data primer) perbedaan antara Bali Majapahit dengan Baliaga kita musti melancong ke tempat-tempat yang banyak berpenduduk Baliaga yaitu wilayah sekitar Kabupaten Karangasem khususnya ke Trunyan, Tenganan dan Pengringsingan. Banyak keunikan kita temukan dan jika jeli juga akan menemukan beberapa pembeda Baliaga dengan Bali Pendatang. Tarian “Perang Pandan” yang mengambarkan perkelahian dua pemuda menggunakan daun-daun pandan yang dibentuk menjadi senjata dipercaya sebagai tarian mengenang resistansi penduduk lokal terhadap pendatang. Walau sesama pemeluk Hindu, Baliaga yang fanatik hanya menyembah Dewa Syiwa. Dalam pakaian tradisional, lelaki Baliaga hanya memakai sarung dan celana sebagaimana layaknya Bali Majapahit namun Baliaga tidak mengenakan baju atau pakaian penutup dada, punggung dan bahu. Telinga Baliaga ditindik dan beranting kecil. Ini tidak lazim dikalangan Bali Pendatang. Mayat yang tidak dikubur namun tidak menimbulkan bau busuk bangkai sebagaimana lazimnya adalah kepiawaan Baliaga khususnya di Trunyan yaitu memanfaatkan wewangian dari pohon-pohon (yang semula dikatakan pohon menyan) dalam melawan bau membusuknya daging. Bali Majapahit adalah istilah yang diberikan bagi kaum pendatang yang melakukan hijrah dari Majapahit. Menurut tutur kata, hijrah ini hanya dilakukan oleh para seniman dan sastrwan Majapahit sebagai wujud protes atas berbagai tindak kekerasan yang lazim terjadi semasa kejayaan Majapahit. Hijrah dilakukan sejauh mungkin dari pusat kerajaan Majapahit. Bali yang musti ditempuh dengan menyeberang lautan dari Jawa dan merupakan pulau tersendiri atau terisolasi dipandang ideal. Kaum pendatang yang semuanya adalah seniman dan sastrawan ini yang dipercaya sebagai pembentuk sosiobudaya Bali. Tengok bangunan-bangunan adat Bali, banyak keserupaaannya dengan peninggalan kerajaan Majapahit, begitu pula agama Hindu dengan Tiga Serangkai Dewa dan yang paling menyolok adalah penegak hukum yang tidak pernah membawa dan menggunakan senjata tajam. Kalaupun tampak para pecalang membawa keris namun keris itu kecil ukurannya, lebih sebagai ornamen ketimbang senjata penyerang atau bela diri. Kini Bali Majapahit dan Baliaga telah menyatu, dualitas yang saling menghidupkan. Tak lagi kentara perbedaan apalagi permusuhan yang mengakibatkan perselisihan. Pendatang dan penduduk asli telah menyatu secara harmonis membangun sosiobudaya Bali yang atraktif dan penjadi warna khas yang menjadikan Bali sebagai Pulau Dewata. Bersama keindahan alam pantai dan pegunungannya, sosiobudaya Bali menjadi atraktor kuat penarik turis domestik dan mancanegara. Masih banyak peluang melakukan eksplorasi atas kekayaan alam dan sosiobudaya Bali. Bali, aku akan kembali !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun