Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kita Bukan Bangsa Tempe!

31 Mei 2010   13:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:50 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak

Presiden Soekarno, HUT Proklamasi RI, 1963

Tentu kiasan bangsa tempe yang dimaksud mendiang Soekarno dalam pidato pembakar semangat itu kita artikan sebagai sifat lembek dan murahan. Proklamator kita ini memang terkenal berani dalam memilih kata, intonasi dan bahasa tubuh dalam pidatonya bahkan terkadang terasa kasar dan vulgar. Namun saat itu rakyat Indonesia tak pernah melakukan pembodohan dan picik dengan meneropong kata-kata kasar itu kemudian mengkritisi dan menggunakannya sebagai peluru politik murahan. Kalimat, paragraf sampai naskah dari pidato sang Orator Kampiun itu dipahami secara utuh. Sebuah sikap dewasa dalam merealisasikan tut wuri handayani pada pemimpinnya. Artikel populer ini memetik kata tempe dan mengaitkannya dengan salah satu mimpi besar Soekarno-Hatta yaitu merdeka khususnya dari perspektif merdeka pangan. Tempe itu bahan baku utamanya adalah kacang kedelai atau sering disingkat kedelai tanpa kacang sebagai kata depan karena sudah sangat lazim dan kedelai itu esa maknanya. Atas bantuan spora yang tumbuh di kedelai yang sudah dicuci dan rebus itu jadilah bahan tempe yang siap digoreng, direbus atau dimasak sebagai sayur atau sambal goreng sesuai rasa lidah Nusantara. Kedelai Sebagai Pangan Pokok Berbagai jenis makanan dan minuman yang menjadi pelengkap menu keseharian kita berbahan baku kedelai. Sebut saja misalnya tempe, tauco, kecap, tahu, toge kedelai dan susu kedelai. Mengingat begitu melekatnya kedelai ini dalam kehidupan kita, nyaris kita lupa bahwa kedelai ini bukan tanaman asli (indigenous) Nusantara. Kedelai (baik kedelai putih maupun kedelai hitam) itu sudah ratusan tahun tiba di tanah-air yang menurut cerita dibawa oleh imigran Tionghoa. Di beberapa dataran tinggi Cina banyak ditemukan jenis tanaman kedelai. Tanaman-tanaman kedelai ini yang kemudian dijadikan induk dalam menghasilkan tumbuhan kedelai yang kini banyak kita kenal, tanam dan jadikan sumber pangan pokok mendampingi padi dan jagung. Dalam biologi, kedelai ini dikelompokkan menjadi dua yaitu: tumbuhan kedelai yang sering juga disebut kedelai alam atau tumbuh liar (glycine soja atau wild soybean) dan tanaman kedelai (glycine max atau cultivated soybean) yang sengaja ditanam baik dengan kebun skala kecil tumpangsari (polikultur) atau skala industri yang cenderung monokultur. Selain untuk pangan, kedelai itu juga menjadi bagian dari pakan ternak karena kandungan proteinnya yang tinggi plus beberapa kandungan lain yang bermanfaat. Namun karena dibutuhkan untuk pangan dan pasokannya tak pernah mencukupi maka kebutuhan pakan menjadi sekunder. Untuk pakan lebih banyak dipakai bungkil kedelai. Bungkil ini adalah produk samping yang sering salah kaprah disebut sebagai limbah industri pangan. Kedelai Sebagai Penghambur Devisa Jika kita urutkan jenis pangan pokok yang kita butuhkan secara nasional maka kedelai itu akan menduduki posisi ketiga sesudah padi dan jagung. Dari perspektif kecukupan dan ketahanan pangan nasional, kedelai ini sering bikin pemimpin RI pusing tujuh keliling. Data terakhir (NB. Diperoleh dari komunikasi surat menyurat singkat alias SMS dengan dua kerabat di Kementerian Pertanian dan Ristek RI) menunjukkan bahwa kita impor lebih dari 2 juta ton kedelai dan hanya menghasilkan kedelai mendekati 1 juta ton. Ini berarti kita pada  tahun 2009 melakukan impor kedelai sebanyak 1.1 juta ton. Impor ini berarti RI harus menggunakan sebagian dari devisa yang diperolehnya dari upaya ekspor untuk impor kedelai. Kesuburan bumi pertiwi dan luasnya lahan Nusantara masih belum mampu menjadikan bangsa ini berprestasi menggapai status prestise swa-sembada kedelai. Walau urusan impor kedelai ini tampaknya semata berada dalam ranah ekonomi atau business-to-business namun ini membuat RI berada dalam kondisi nir-daya (vurnerable) karena sangat tergantung pada derma politik negara pemasok kedelai.Bisa saja dalam kondisi tertentu, keputusan politik mengatakan kedelai tidak boleh diekspor ke Indonesia, misalnya embargo. Dari ketergantungan kedelai menjadikan kita tak berkecukupan pangan dan lebih jauh lagi membuat kita memiliki ketahanan pangan yang lemah. Pada akhirnya cita merdeka yang dikumandangkan Duo Proklamator masih juga belum kita gapai. Menengok fakta digabungkan dengan amanah merdeka yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 kita letakkan dipundak kita sebagai merdeka pangan maka dalam berurusan dengan kedelai ini kita bak keledai dungu. Simak keprihatian Mentan “Kebergantungan kita terhadap kedelai impor (60% dari kebutuhan) ternyata membawa petaka, kita tak mampu menahan naiknya harga kedelai begitu terjadi gejolak di negara pengekspor atau jika terjadi penurunan suplai kedelai di pasar internasional”. Diversifikasi Dan Tropikanisasi Kedelai Jika kedelai itu menjadi masalah nasional maka tersedia dua pilihan solusi. Pertama, kurangi konsumsi dengan melakukan diversifikasi yaitu mengganti bahan baku kedelai dengan bahan pangan lain. Pengetahuan turun-temurun, ahli gizi dan masak tentu dapat menghasilkan banyak pilihan untuk tetap memproduksi makanan dan minuman yang semula berbahan baku kedelai menjadi bahan baku pengganti. Etnik Sunda (Jawa Barat) misalnya telah jauh-jauh hari menyadari hal ini dan keluar dengan kreasi oncom yaitu “tempe” yang berbahan baku kacang tanah. Mengingat kedelai ini bukan tanaman asli tropis maka merupakan tantangan besar bagi para peneliti, pemulia tanaman sampai ahli cocok-tanam untuk melakukan riset tropikanisasi kedelai. Tropikanisasi itu adalah istilah yang digunakan untuk membuat tanaman yang semula bukan pribumi tropis (tropical native) menjadi cocok dengan klimat khatulistiwa, yaitu dalam ukuran tumbuh subur, produktif dan berkembang biak. Tropikanisasi itu bisa dilakukan mulai dari yang paling sederhana yaitu cara kawin silang sampai pada riset biotek memodifikasi genetika kedelai. Tak mau ketinggalan, para periset dan ahli nuklir juga ikut berkontribusi dengan melakukan bombardir induk-induk tanaman kedelai dengan berkas atom agar terjadi mutasi genetik dan dihasilkan varietas baru yang diharapkan lebih unggul dari induknya. Unggul dari ukuran produktivitas, unggul dari kacamata ketahanan terhadap perubahan cuaca, unggul melawan gulma dan hama dsb. Kini sudah dihasilkan begitu banyak varietas kedelai dari hasil riset itu bahkan ada pula hasil yang menjadi perdebatan pro dan kontra yaitu kedelai transgenik (transgenic soybean, genetically modified soybean). Perdebatan tentang benih dan bibit transgenik ini terus berlangsung walau sudah mulai ada kesepakatan tentang keamanan biologis (biosafety) sesuai Cartagena Protocol dibawah payung PBB. Namun keprihatinan Mentan akan adanya jurang antara konsumsi dengan kemampuan produksi masih belum juga terobati. Mengapa demikian? Urusan cocok tanam atau pertanian apalagi jika ini dijadikan isu strategis nasional menuju merdeka pangan maka sudut serang teknoekonomi saja belum menjadi jaminan dalam menyelesaikan masalah secara paripurna. Sosial, budaya dan politik memainkan peran besar. Indonesia pernah sungguh-sungguh menangani isu strategis nasional yaitu saat swa-sembada beras dijadikan cita luhur dan misi nasional. Program strategis seperti Inmas dan Bimas digulirkan secara nasional -- multi-tahun, terstruktur dan sistematik. Upaya itu membuahkan hasil. Indonesia sukses menggapai cita swa-sembada beras. Sukses lain kita raih saat ledakan jumlah penduduk dipandang sebagai ancaman nasional yang berpotensi melemahkan sistem ketahanan nasional. Program Keluarga Berencana digerakkan seantero Nusantara yang mencakup promosi dan sosialisasi kondom, posyandu ibu dan anak, dan slogan 2-anak. Indonesia sukses menekan laju pertambahan penduduk bahkan mendapat acungan jempol dunia. Swa-sembada kedelai bukanlah upaya menggantang asap ! *) Gambar tanaman dan bulir kedelai diunduh dari Koran Banten

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun