Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

KA Parahiangan -- Sebuah Pelajaran Berharga

26 April 2010   10:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:34 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lupus est homo homini" Plautus’ Asinaria

Kalimat diatas yang jika kita terjemahkan bebas berarti -- Manusia Adalah Serigala (predator) Bagi Manusia Lainnya -- ucapan ini menjadi terkenal dalam kajian psikososial yang menggambarkan bagaimana potensi manusia menjadi pemangsa sesama. Bahkan jika diperluas dapat pula menjadi manusia adalah pemangsa fauna dan flora sekaligus pengrusak lingkungan (ecocide). Sifat alami ini senantiasa diingatkan lagi, lagi dan lagi. Salah satu petuah klasik yang tak pernah lekang bersama waktu adalah -- jadilah mahluk ciptaan yang membawa dan memberi rahmat bagi sesama ciptaan dan lingkungan. Rahmatan lil alamin, begitu diamanatkan dalam Islam. Kata manusia dalam pepatah itu dapat pula diganti dengan teknologi. Jika manusia adalah ciptaan langsung dari Sang Maha Pencipta, maka teknologi adalah ciptaan dari manusia yang diciptakan memiliki kemampuan mencipta. Tidak demikian dengan ciptaan-Nya yang lain seperti flora, fauna dan lingkungan. Banyak pemikir yang mengatakan bahwa manusia ini adalah The Second Creator dimana Pencipta Utama adalah Tuhan YME. [caption id="attachment_127189" align="alignleft" width="300" caption="Kereta Api Parahyangan melintasi jembatan Cikubang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/4/2010)/Admin (KOMPAS)"][/caption] Kabar paling anyar tentang teknologi menjadi pemangsa atau berperilaku kanibal adalah bagaimana kombinasi jalan toll Jakarta-Bandung plus angkutan umum bus dan minibus mematikan (baca memangsa) layanan kereta api Parahiangan yang legendaris, yaitu pilihan masyarakat untuk urban Bandung-Jakarta pp. Hari ini adalah perjalanan KA Parahyangan yang terakhir ... turut berduka cita atas kepulangannya. Penutupan layanan KA Parahiangan ini mengikuti ditutupnya jalur penerbangan dari Bandara Husen Sastranegara, Bandung ke Bandara Halim PK, Jakarta. Dalam sejarah teknologi di Indonesia, banyak contoh riil atas teknologi memangsa teknologi lain. Mari tengok fenomena bendi vs bemo, becak vs ojeg motor, bemo vs angkot (NB. Honda kata urang Bandung walaupun mereknya Suzuki, Daihatsu ataupun Mitshubishi), sempoa vs kalkulator elektronik, batutulis vs kertas/pensil, layar-tancap vs bioskop. Tiga Faktor Penentu : Murah, Cepat dan Bagus Dalam dunia pemasaran sudah sangat dipahami bahwa harga yang murah, cepat sampai pada konsumen dan memiliki kualitas tinggi (atau bagus) adalah tiga faktor penentu keberhasilan. Tidak jarang tiga faktor ini menjadi pemicu konflik antara divisi pemasaran dengan divisi-divisi lain dalam sebuah pabrik produk atau penghasil layanan. Dalam hal cepat sampai pada konsumen maka divisi pemasaran akan bersepakat dengan divisi keuangan karena akan lebih cepat menghasilkan nilai penjualan, pengembalian investasi dan penekanan biaya termasuk cost of money. Tidak demikian dengan divisi litbang (penelitian dan pengembangan) dan juga divisi produksi. Kedua divisi ini senantiasa meminta waktu lebih agar produk dan layanan yang dihasilkan bisa bagus dalam ukuran berfungsi sesuai propaganda, lebih tahan lama dan konsisten. Konflik-konflik ini yang menjadi perhatian pemimpin dan manajer. Musti dicari titik temu yang mengoptimumkan kebutuhan internal dengan situasi pasar dan keinginan konsumen. Murah dan cepat adalah dua ukuran yang mutlak dituntut konsumen. Kebutuhan ini mudah mengukurnya. Sedangkan bagus adalah faktor yang paling susah dicari indkatornya. Mengingat bagus ini erat terkait dengan selera. Sangat subjektif sifatnya. Dalam kata bagus ini tersembunyi banyak sub-faktor lain seperti aman, ringan, enak dipakai, serasi dan puncaknya adalah sejalan dengan gaya hidup (life style). Dahulu dalam bagus itu dicakup kata besar. The bigger the better sering menjadi jargon kebanggaan dan sang pemilik sering dengan bangga berucap -- Saya punya lebih besar. Namun tidak selamanya demikian. Lihat fenomena kemajuan tilpun genggam atau hape kata anak ABG, kini kebanggaan itu telah bergeser menjadi small is beautiful. Terlepas dari berbagai konflik yang ada dikalangan internal maupun dimasyarakat, teknologi akan terus berkembang. Percuma mengadakan perlawanan karena perlawanan  akan digilasnya bagaikan terjangan tsunami pada bangunan dan pemukiman dipesisir. Teknologi Senantiasa Bersifat Dialektik Teknologi senantiasa bersifat dialektik atau dalam istilah populernya adalah pisau bermata dua. Disatu sisi teknologi menawarkan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen namun disis lain sering pula menyulitkan. Fasilitas komputer dan internet banyak memberi kemudahan, membuat proses belajar jauh lebih cepat mengingat sumber pengetahuan semakin mudah diakses. Disisi lain banyak orang-tua yang begitu khawatir dengan terlalu dininya anak-anak mengakses sumber-sumber yang belum layak digapainya. Idem ditto dengan hape. Facebook yang semakin menggurita tak jarang membuat kepusingan. Banyak gerakan moral dan sosial tertolong dengan facebook ini namun tak jarang kita membaca, mendengar bahkan menonton dampak negatif yang ditimbulkannya, mulai dari perselingkuhan a la clbk (cinta lama bersemi kembali), sex dibawa umur sampai-sampai hampir saja facebook terkena fatwa haram. Menghalangi dan melawan dengan kisi-kisi aspek legal atau hukum lebih sering gagalnya ketimbang sukses. Kemajuan teknologi itu bagaikan gesitnya kijang melompat dan berlari sedangkan penetapan kisi dan penyusunan hukum pidana atau perdata bergerak dengan super lambat bak lenggak-lenggok siput yang merayap dipermukaan aspal panas. Kiranya kiat antisipasi dan penyesuaian terhadap kemajuan teknologi adalah jurus tepat untuk menyiasatinya. Jangan sampai terperangkap dalam kasus gaptek (gagap teknologi). Ketersediaan teknologi musti dimanfaatkan penuh agar memberi manfaat maksimal. Tentu jangan lupa untuk berupaya menekan sisi buruknya (mudharat). Penipuan dan pembobolan untuk merampok harta juga dimudahkan oleh teknologi. Anjungan Tunai Mandiri, pemindahan elektronik dan berbagai kejahatan kerah putih (white collar crimes) tak pernah berhenti diberitakan dan menjadi perhatian pengamat dan pemimpin kita. Rekan kita menulis artikel cantik tentang dua sisi dari teknologi dijital dalam musik. Diakui bahwa pendekatan dijital sangat membantu meningkatkan kreativitas dan juga berpotensi meningkatkan produktivitas namun disisi lain teknologi dijital juga menawarkan kemudahan untuk membuat sang pemusik dan pebisnis musik gulung tikar dan frustasi. Teknologi kompresi dijital (eg. MP3), kemudian kirim-mengirim via internet, infra-red, blue-tooth, messengers, salin-gratis etc membuat target penjualan yang menjadi cita bak pungguk merindukan bulan. Begitu pula dalam sektor menulis, baik berita, artikel populer, buku sampai karya saintifik kehadiran teknologi dijital seolah sepenuhnya berpihak ke pemegang copyright (Catatan. copyrights adalah salah satu bentuk dari Hak Atas Kekayaan Intelektual, HaKI yang telah dilindungi menurut hukum yang berlaku). Seolah kesejahteraannya akan meningkat karena berbagai kemudahan yang menjadikannya lebih produktif. Kenyataannya? Copyrights seperti terucap dalam salah satu kelakar Wapres JK disalahgunakan menjadi the rights to copy alias boleh menyalin sesukanya, seolah itu adalah milik dan warisan keluarganya. Membajak yang semula adalah kata dan semangat yang super positif dalam dunia pertanian kini disalahgunakan dan menjadi momok menakutkan. Perilaku bodoh dan busuk melalui pembajakan HaKI ini telah memposisikan Indonesia berada dipapan-atas dalam Daftar Hitam Negara Pembajak HaKI. Tragis ! Maju Dengan Teknologi Patah semangat kita dengan peristiwa mengenaskan yang sering kita baca, dengar dan tonton tentang dampak negatif dan kejahatan teknologi? Tentu tidak ! Pendidikan formal dan informal yang sering kita gaungkan sebagai pembelajaran publik adalah jalan panjang dan berliku yang musti kita tempuh. Ini penting untuk membangun nilai luhur dan etika menghargai kekayaan orang lain. Masyarakat yang bodoh (bukan tolol) dan miskin adalah sumber terjadinya pencurian HaKI. Walaupun tidak selalu benar orang miskin adalah pencuri. Pembeli bahkan biang kerok produk bajakan seperti buku, musik dan film tidak jarang berasal dari kaum borju yang notabene kaya (dalam ukuran ekonomi). Ada pepatah yang mengingatkan kita -- makin dia berkuasa (termasuk kaya) makin dahsyat pencurian yang dilakukannya. Kompasiana tentu mengemban misi mulia melakukan pembelajaran publik. Menjadikan masyarakat kita melek teknologi dan tidak bodoh terperangkap sebagai kaum gaptek adalah tanggungjawab kita bersama. Ditutupnya layanan KA Parahiangan adalah sebuah pelajaran berharga yang mengingatkan kita untuk getol melakukan antisipasi teknologi dan melakukan adaptasi. Pembangunan jalan toll adalah solusi ekonomi yang sekaligus menjadi predator.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun