Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Insinyur Itu Rabun Politik-Ekonomi dan Gugup Sosial-Lingkungan - Betulkah?

17 Mei 2010   07:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:09 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gagap Teknologi (gaptek) adalah istilah populer yang sering ditudingkan pada mereka yang tertinggal atau tidak ikut dalam penggunaan dan pemanfaatan teknologi, khususnya teknologi moderen seperti komputer, hape, televisi, pemutar cakram (Compact Disc, Digital Video Disc, BlueRay) dan berbagai gadget yang banyak semakin banyak beredar dan terjangkau. Jika dibandingkan dengan kepiawaian lain dalam masyarakat kita maka tentu insinyur yang paling kecil porsi atau kemungkinannya untuk mendapat ejekan sebagai kaum gaptek. Kemajuan teknologi yang pesat sejak revolusi industri yang ditandai dengan ditemukannya mesin uap telah memberi banyak manfaat bagi kehidupan. Rekor semakin murah, semakin cepat dan semakin bagus terus dipecahkan. Dimensi jarak dan dimensi waktu seperti dibuat tumpang-tindih. Bahkan begitu optimisnya para inventor dan inovator sampai-sampai apa-apa yang dahulu dikenal sebagai tidak bisa atau mustahil kini dibilang teknologi akan membuatnya riil -- It was said impossible but now we call it technology. Ada nuansa arogan dalam petikan kalimat itu. Keberhasilan demi keberhasilan membuat insinyur (atau teknolog) lupa daratan dan ada kecenderungan melupakan sisi-sisi lain dari kehidupan yang terkait dengan sikap poilitk, kebutuhan sosial dan juga kelestarian lingkungan. Tengok misalnya fisika atom yang menghasilkan Bom Nuklir. Ini adalah sebuah mahakarya teknologi dan berdampak super buruk sebagai pencipta rasa takut mengingat kamampuannya sebagai senjata pemusnah masal. Begitu pula dengan Alat-alat Berat berukuran raksasa yang kerap dipakai di dunia tambang dan sumber energi (eg. batubara, minyak dan gas) dan idem dengan tambang mineral (eg. bijih besi, bijih timah, bijih bauksit) yang telah menjadi perusak lingkungan yang dahsyat bahkan mengarah pada ecocide -- pemusnah lingkungan, khususnya flora dan fauna. Mesin-mesin besar untuk kendaraan darat, laut, udara dan rel serta mesin untuk industri yang menjadikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi adalah biang keladi dari penurunan kualitas udara, air dan tanah yang notabene adalah pengotor lingkungan. Konversi lahan hutan atau pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman jelas berdampak negatif pada upaya pelestarian lingkungan. Kalaupun ada upaya kuat untuk menciptakan hutan kota namun tak pernah sepadan dengan yang ada dialam bebas. Begitu pula disektor pertanian dan hutan tanaman industri, upaya menghasilkan produkl hutan berupa kayu unggulan yang cepat panen dan bernilai jual bagus. Hal serupa juga terjadi dengan sektor pertanian palawija dan pangan utama. Walau tujuan utamanya adalah pemenuhan kebutuhan esensial manusia namun hutan tanaman industri dan pertanian semakin mengarah ke tanaman seragam yang sering dikenal dengan istilah kultur-tunggal (mono-culture). Cocok-tanam dengan pendekatan kultur tunggal ini ditengarai berdampak negatif  yang sistemik dalam perusakan lingkungan khususnya dalam pemusnahan beberapa spesies dan tentunya ini adalah pemiskinan keragaman hayati (biodiversity). Fenomena yang terjadi di sektor kehutanan dan pertanian juga terjadi pada bidang perikanan darat dan laut, baik yang mengandalkan hasil tangkap maupun budi-daya. Kekayaan sumber daya hati yang sangat beragam terganggu keseimbangannya sehingga banyak spesies yang terancam punah. Demikian juga dengan koral dan karang yang volume dan ragamnya terus mengalami degradasi akibat adopsi teknologi yang tidak ramah terhadap biota laut. Tengok pula mahakarya teknologi dalam penyediaan akses ke dunia maya baik untuk upaya mencari dan mengunduh berbagai sumber pengetahuan (knowledge) dan menikmati sumber hiburan berupa musik, foto dan film. Bersamaan dengan semakin lebar dan luasnya akses ke sumber-sumber yang menjadikan kita lebih pintar dan nyaman namun tak kalah adalah rasa takut akan dahsyatnya erosi dan dekadensi moral sebagai akibat bebasnya akses tersebut. Banyak orang tua menjadi khawatir, khususnya para orang tua yang masih memegang luhur budi pekerti dan moral ketimuran. Kekhawatiran berubah menjadi keresahan manakalah mereka masuk kategori gaptek. Tak ketinggalan adalah kekhawatiran akan efek negatif dari jejaring sosial (inter-connected social network) yang semakin tanpa tepi dan batas. Ini kreasi paling anyar dari para insinyur dalam konvergensi iptek informasi, telekomunikasi dengan komputer. Bahkan segelintir tokoh agama ikut was-was dan resah sampai-sampai mencoba melawan dengan kekuatan organisasi kemasyarakatan yang ada. Tampak knoyol namun itu wujud kepedulian dan kejujuran yang ada. Insinyur sering lupa bahwa karya teknologinya senantiasa bak pedang bermata dua. Awalnya diciptakan untuk menjadi jawaban atas kebutuhan anak manusia namun disisi lain tidak jarang dampak negatifnya justru menjadi ancaman bagi kehidupan manusia itu sendiri termasuk para penciptanya. Muskil mencari sektor dimana teknologi tidak menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan maupun sisi kemanusiaan. Desakan Politik-Ekonomi Kejadian buruk pada sisi sosial dari kemanusiaan dan pengrusakan lingkungan yang terjadi seringkali diluar kendali para insinyur sebagai pencipta dari teknologi. Bahkan tak jarang para insinyur berupaya untuk ‘lepas-tangan’. Satu kalimat fisikawan agung, Albert Einstein saat diminta pendapatnya (baca tanggung-jawabnya) tentang kedua bom nuklir yang membuat pasukan berani mati Jepang berhenti melawan dan angkat tangan pada sekutu adalah “Jika aku tahu bahwa teori atom itu dipakai membuat bom atum pemusnah masal, aku lebih baik menjadi tukang semir sepatu”. Kalimat bernuansa putus-asa itu menunjukkan bagaimana kaum iptek tak berdaya baik akibat ketidaktahuan akan dampak buruk dimasa depan atau sikap naif maupun ketidakberdayaan akibat desakan digdaya berupa tekanan politik, kebutuhan ekonomi dan kombinasi keduanya. Tuntutan Sosial-Lingkungan Perlombaan menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) yang efisien untuk membuat kendaraan bermotor memiliki tenaga lebih besar mendorong insinyur menghasilkan BBM dengan oktan tinggi (yang menjadikan BBM lebih mudah terbakar dan menghasilkan energi lebih besar) dengan manambahkan bahan campuran (additive) mengandung timah hitam (lead). Setelah beberapa dekade kemudian baru dipahami bahwa penambahan timah hitam ini membuat BBM sangat beracun dan polutif terhadap lingkungan bahkan berkontribusi signifikan pada fek rumah kaca yang dituding sebagai biang kerok dari perubahan iklim dan pemanasan global. Tidak kalah buruknya, bisnis-kotor dari bahan campuran (Tetra Ethyl Lead, TEL) ini membuat citra Indonesia tambah buruk karena ekpor-impor bahan campuran ini khusus untuk Indonesia ditengarai melibatkan uang sogok dan menjadi sebuah kasus korupsi di Inggris. Ekploitasi dan embakaran batubara yang semakin menjadi-jadi juga hanya menunggu waktu alias bom yang siap meledak dalam waktu tak terduga. Kejadian-kejadian ini menjadi pelajaran pahit. Ilmuwan dan sastrawan CP Snow sangat prihatin dan dipertengahan abad 19, CP Snow menulis buku yang kemudian menjadi buku laris manis penuai pro-kontra berjudul “The Two Cultures and The Scientific Revolutions”. Sifat dialektik dari teknologi ini kemudian dalam dunia akademik dijadikan sebuah tema pertentangan budaya (cultural milieu). Menjadi perhatian banyak ilmuwan dan sosiolog seperti Brian Arthur dalam bukunya The Nature of Technology, Dan Bruiger dalam bukunya Second Nature, Michael Crichton buku-buku laris manis seperti State of Fear dan Jurasic Park dan tentunya tak lupa pesan melalui film komedi God Must Be Crazy. Begitu pula ilmuwan anak negeri yang peduli akan pentingnya harmonisasi iptek dengan sosial dan lingkungan, diantaranya Saswinadi Sasmojo dalam buku “Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan” dan Sonny Yuliar dalam buku-teks “Tata Kelola Teknologi”. Banyak tokoh-tokoh peneliti dan pemerhati sosioteknologi yang juga mencurahkan perhatiannya diantaranya Gus Mus, May-ling Oey-Gardiner, The Kian Wee, Aristides Katoppo, M Ary Pedju, Romo Mudji. Bahkan ada pula kecenderungan insinyur terkesan meninggalkan bidang yang ditekuninya. Melintas batas dan ikut mempelajari dan menambah kompetensi diluar keteknikan seperti ilmu politik, ekonomi, ilmu sosial bahkan ilmu hukum. Kejadian sebaliknya yang nyaris tak pernah kita dengar. Apapun motifnya, pengayaan kompetensi keteknikan dengan kompetensi lain akan memperkecil cultural milieu. Ini bak paduan dua logam mulia, menghasilkan logam mulia baru yang lebih bagus dan bernilai lebih tinggi dari masing-masing logam mulia. tentu bekerja dalam tim yang memadukan beragam kompetensi juga tidak kalah efektifnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun