Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gelar Akademik -- Neo Feodalisme

16 Oktober 2009   04:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:35 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Budayawan besar kita, Umar Kayam dalam tulisannya mengangkat serta mengupas isu muncul dan maraknya neo feodalisme di tanah air dalam sebuah seminar dan diskusi Seri Dialog Kebudayaan II yang diselenggarakan oleh LSAF di tahun 1997 di Gedung YTKI, Jakarta. Lebih lanjut dikatakannya bahwa walau semangat egaliterisme dan sistem kekuasaan demokratis sudah disepakati sejak Proklamasi Kemerdekaan dan juga menjadi spirit UUD-1945 namun fenomena feodalisme masih juga tidak kunjung luntur dari keseharian masyarakat kita. Dalam tulisan tersebut ditepisnya tudingan bahwa feodalisme itu warisan dari penjajahan ratusan tahun. Sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan, feodalisme sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat kita. Feodalisme yang kita anut itu serupa dengan tatanan sosial masyarakat Eropah yang menggunakan istilah feudalism (bahasa Inggris) atau féodalisme (bahasa Perancis) yang sama-sama meminjam kata bahasa Latin, feodum. Feodalisme di Eropah menimbulkan penderitaan rakyat melalui penindasan, upeti dan kutipan seperti pajak yang memberatkan, dan hanya menguntungkan segelintir penguasa, kaum berstatus sosial ningrat atau berdarah biru dan elit politik. Kalr Marx dalam analisis politiknya sampai juga pada tesa bahwa feodalisme adalah bagian dari sistem ekonomi yang memancing terbitnya kapitalisme. Feodalisme ini yang kemudian menjadi pemicu utama dari perjuangan kelahiran kembali Eropah yang kemudian dalam sejarah dicatat sebagai renaissance. Sekolah Sebagai Neo Feodalisme Kekarutan sistem pendidikan nasional telah menjadi perhatian, menuai kritik sampai dijadikan peluru politik dalam tatanan sosiopolitik ditanah air. Ketetapan Mahkamah Konsitusi (MK) pada 17 Juli 2007 untuk memenangkan gugatan atas pemenuhan amanah UUD-45 yaitu alokasi 20% belanja negara untuk pendidikan masih jauh panggang dari api dalam upaya penuntasan masalah dan tantangan pendidikan. Diskusi yang digelar Kompas pada pertengahan tahun 2009 seputar sistem pendidikan nasional nyaris mengerucut pada kesimpulan bahwa telah terjadi pengerdilan dari makna pendidikan menuju sistem sekolah yang mengutamakan pembangunan keterampilan ketimbang pembentukan nilai-nilai luhur pendidikan seperti yang diperjuangkan tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu melalui pendirian perguruan Tamansiwa. Scholarship lebih dipandang sebagai tersedianya subsidi pendidikan atau beasiswa ketimbang upaya menjadi orang terdidik dengan nilai luhur penuh rasa ingin tahu dan santun, being a scholar. Kritik pada tatanan dunia pendidikan tidak hanya terjadi sekarang dan terjadi di tanah air saja, artikel Gramsci on Schooling and Education yang mengulas pemikiran Antonio Gramsci, 1891 – 1937 dan Education in Dialogue oleh John Schostak, 2005 juga menyampaikan kritik pedas pada sistem pendidikan yang mengarah pada perangkap sistem sekolah. Singkat kata, dikumandangkan perjuangan -- Kembalikan ke Pendidikan, jangan terperangkap pada Sekolah ! Fenomena yang kita alami ditanah air banyak keserupaannya dengan yang terjadi di mancanegara. Menjadi penguasa, masuk sebagai elit politik dan memiliki status sosial ningrat menjadi mitos sebagai jalan pintas mencapai tujuan semu. Hanya segelintir saja yang mampu mencapai dan masuk ke habitat elitis tersebut. Berdarah merah dan kaum kebanyakan adalah realitas. Namun segelintir masa pantang menyerah, mencari macam-macam cara dan percaya bahwa masuk ke sekolah dan lulus dengan gelar akademik dipandang setara dengan status sosial bergensi yang dicita-citakan. Banyak kita dengar, baca dan lihat gejala ini baik dalam dunia legal-formal sampai gurau kedai kopi dan warung jamu. Begitu banyak kasus memalukan dari tudingan dan pembuktian ijazah dan gelar asli tapi palsu (aspal) kita tengarai, baik dalam proses pemilihan pimpinan pemerintahan maupun wakil rakyat. Bukan hanya birokrat dan wakil rakyat saja yang berburu gelar. Penyakit ini menular pula pada pengusaha. Kekuatan uang dijadikan sebagai daya tawar memperoleh gelar akademik langsung memberli ijazah dan gelar atau melalui gelar kehormatan seperti honoris causa. Terhormatlah mereka yang dengan tulus membantu pertumbuhan dan penyempurnaan dunia pendidikan tanpa tergiur dengan iming-iming gelar akademik. Idem ditto dengan tokoh masyarakat, tetua sampai ninik mamak, tentara dan polisi, bahkan ada juga kasus segelintir tokoh agama membanggakan gelar akademik yang disandangnya, khilaf bahwa ketokohannya dalam penguasaan ilmu agama tidak kalah derajatnya dengan gelar akademik.

Nafsu menyandang gelar akademik ini bak madu yang yang menjadi atraksi bagi semut-semut yaitu bermuculannya sekolah-sekolah yang pengobral gelar. Menambah panjang penulisan nama dengan berbagai gelar akademik diawal maupun bagian akhir menjadi fenomena neo feodalisme. Sejatinya, nama adalah anugerah yang mengandung doa dari orang tua pada buah hati mereka.

Katakan Tidak Pada Gelar Akademik Jika kita tilik dalam sistem sekolah, gelar akademik itu tidak lain semacam penjelasan bahwa sang penyandang gelar akademik telah tuntas menamatkan sekolahnya. Sebuah contoh gelar akademik adalah doctorandus (drs)yang menjelaskan bahwa sang penyandang gelar adalah kandidat doctor. Walau dalam canda tapi penuh makna, drs ini dalam bahasa Jawa dibelokkan menjadi dereng rampung sinau atau belum selesai belajar karena sesuai statusnya yang bersangkutan akan melanjutkan sekolah ke strata doktor. Contoh lain adalah insinyur (ir) atau ingeniuer dalam bahasa Belanda yang menjelaskan jenis keterampilan teknis sang penyandang gelar. Secara umum, gelar akademik ini memberi penjelasan akan jenis keterampilan yang dibangun selama berada di sekolah. Gelar akademik cocok untuk sistem sekolah. Jika kembali pada hakikat pendidikan yang tujuannya menjadi orang terdidik, being a scholar maka penganugerahan gelar akademik tidak lagi tepat. Dorongan untuk melakukan transformasi seperti serangan Antonio Gramsci pada pemerintah Itali agar persekolahan (schooling) kembali menjadi pendidikan (education) tentu akan sekaligus pamungkas dalam menumpas fenomena pembodohan berwujud perburuan gelar akademik. Namun ini bukan semudah membalik telapak tangan, ini sebuah perjuangan panjang yang fundamental, sistemik dan struktural. Menumpas neo feodalisme ini setara dengan upaya melakukan perubahan tatanan sosial (sociocultural change). No quick fix ! Keputusan MK adalah modal awal dari transformasi tatanan pendidikan nasional. Dari perspektif pendidikan, ketetapan MK ini tidak kalah nilainya dengan semangat yang digelorakan UUD-45 dalam memposisikan pendidikan sebagai sentra kehidupan bernegara. Jangan duduk-diam, mari luluh-lantakkan neo feodalisme berwujud gelar akademik. Mari gulirkan gerakan moral – Ilmu Yes, Gelar No ! Dan, cukup tuliskan gelar akademik di ijazah dan biodata saja.

-o0o-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun