Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Citra Bangsa: Dari Kecap No. 1 ke Ginseng No. 6

11 Juni 2012   09:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:07 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13394124231370270904

[caption id="attachment_194018" align="aligncenter" width="523" caption="dok. pribadi"][/caption] Kecap Nomer Satu (no. 1) sudah menjadi sebuah pribahasa yang populer. Tidak ada rasanya orang Indonesia yang tidak paham akan pribahasa “Kecap Nomer Satu”. Bahkan, orang asing yang sedang belajar Bahasa Indonesia cepat sekali mengenali pribahasa ini. Nuansa probahasa ini senantiasa negatif. Digunakan saat memberi komentar sinis pada upaya promosi berlebihan ataupun pada orang-orang yang berapi-api membanggakan produk, layanan bahkan dirinya. Tidak jarang komentar ini terlontar pada saat mendengarkan kampanye berlatar belakang politik, mulai dari kampanye pemilihan Ketua RT (Rukun Tetangga) sampai pada kampanye Pilpres (pemilihan Presiden RI). Kecap Nomer Satu Banyak yang menerima pribahasa ini apa adanya tanpa rasa ingin tahu yang kuat untuk mencari asal muasalnya (punca atau stem dalam Bahasa Inggris). Banyak cara tentu dapat ditempuh untuk menguak misteri ini. Salah satu langkah awal adalah dengan mengenali bahan baku dari kecap yaitu kedelai. Dari sejarah pertanian, kita ketahui bahwa kedelai bukanlah tanaman aseli Indonesia walau makanan yang terbuat dari kedelai seperti tempe, tahu dan kecap nyaris identik dengan Nusantara. Kedelai adalah tanaman yang berasal dari daerah sup-tropis sedangkan Nusantara yang membujur dari Merauke ke Aceh dan melintang dari Ndana ke Miangas berada di garis khatulistiwa. Dicatat pula dalam sejarah bahwa tanaman kedelai dibawa masuk ke Indonesia oleh perantau-perantau dari Cina Daratan atau Tiongkok. Salah satu etnis Cina yang terkenal memiliki catatan panjang dalam sejarah kita adalah Cina Tangerang. Nama Tangerang dijaman penjajahan Belanda dikenal dengan nama Benteng. Di musium Kereta Api, kita akan temukan nama Benteng Express yang sempat sohor sebagai layanan kereta api cepat Jakarta-Tangerang. Cina Benteng adalah etnis Cina yang beranak pinak bahkan berasimilasi di kawasan Tangerang. Kesenian Cina yang orisinil banyak ditemui di Benteng. Dikisahkan oleh David Kwa dan Gunawan dalam sebuah situs budaya bahwa ada sebuah pabrik kecap di Jl Benteng no. 1, Tangerang yang memiliki jaringan distribusi, pasar terluas dan digemari masyarakat. Rekan Gavin Rangatta juga pernah kirim tulisan ke Kompasiana. Kecap produksi pabrik tersebut selalu menuliskan Kecap Produksi Jl Benteng nomer 1. Tulisan dalam logo setiap botol kecap itu terlalu panjang untuk diingat dan dilafalkan. Bersama waktu, tulisan itu mengalami pemendekan dan lama-kelamaan mengkristal menjadi -- Kecap No. 1.  Pabrikan kecap khususnya para pengekor popularitas latah menuliskan -- Kecap No. 1 dalam setiap botol kecap yang dipasarkan. Kecap No. 1 itu yang kemudian merasuk dalam percakapan dan kemudian menjadi pribahasa. Tidak kecap yang mengaku nomer dua, apalagi nomer tiga. Ginseng Identik Korea Jika kita di tanah air memiliki pribahasa Kecap no. 1, masyarakat Korea tidak menjadikan Ginseng No. 6 sebagai bahan olok-olok. Ginseng Identik Korea. Itu fakta yang tidak ada memungkirinya. Walau, Korea (Selatan plus Utara) bukanlah penghasil ginseng satu2nya di dunia. Daratan Amerika dan Cina adalah penghasil ginseng yang tidak bisa dikalahkan dengan mudah oleh Korea. Cocok tanam dan olah paska panen Amerika dan Cina juga tidak kalah dengan pihak Korea. Namun citra ginseng identik Korea tidak pernah lekang termakan waktu. Ginseng merah dan putih yang berkualitas tinggi hanya dihasilkan melalui olahan dari panen tanaman ginseng yang telah berumur enam tahun. Itu sebabnya dalam setiap kemasan produk ginseng baik berupa kapsul, bubuk atau ekstrak kental senantiasa tertera Ginseng No. 6. Lain padang, lain belalang. Kecap No. 1 menjadi pribahasa, namun Ginseng No. 6 tidak pernah menjadi pribahasa. Ginseng indentik Korea, bahkan mengalahkan keunikan-keunikan lain yang bermuasal dari Korea seperti kimchi, taekwondo atupun soju. Citra Indonesia Walaupun kecap itu dikenal mancanegara sebagai khas Indonesia namun pasti kita enggan menerimanya sebagai identitas. Pasti akan naik pitam jika sesudah memenuhi sebuah undangan sebagai pembicara kita mendapat bingkisan berisi sebuah botol kecap. Akan sulit menghapus citra bahwa Kecap No. 1 itu adalah kiasan bagi pengumbar janji atau pembual. Begitu pula dengan tempe. Bung Karno pernah dengan lantang mengatakan “Kita ini bukan bangsa tempe”. Sedangkan tahu yang berbahan kedelai adalah makanan yang tidak unik Indonesia. Ditambah lagi kedelai bukanlah aseli (indegenous) Indonesia. Perlukah kita  terus mencari satu kata yang mudah dilafalkan bagi semua lidah, mudah diingat dan bernuansa positif bagi citra Indonesia? Seperti: Ginseng identik Korea. Samba identik Brasil. Piramid identik Mesir. Akankah batik, temulawak, komodo atau jamu kita proyeksikan sebagai citra bangsa?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun