[caption id="attachment_149640" align="alignleft" width="230" caption="towardfreedom.com"][/caption] Cina di Indonesia -- Plus dan Minus Banyak warga masyarakat kita yang sangat diuntungkan dari masuknya barang-barang Cina ke tanah air. Salah satunya karena barang-barang itu tidak dianggap asing, dipandang itu karya dari warga Pecinan yang sudah menjadi bagian terintegrasi dari WNI. Alasan lain, barang-barang tersebut murah dan semakin mudah didapat. Barang-barang berlogo dan cap terkenal (branded items) yang semula hanya bisa dinikmati warga kelas atas dan kaya kini sudah terjangkau oleh kalangan bawah. Sekilas pandang, semuanya sudah merasa perlente dan satu-kelas. Ini bukan hanya berlaku pada barang sandang seperti pakaian dan alas kaki. Juga terjadi untuk pernak-pernik pelengkap penampilan dan gaya hidup dalam sektor pangan dan untuk keperluan menjalin kontak sosial menggunakan perangkat telekomunikasi. Tak lupa juga kendaraan bermotor roda dua dan roda empat. Sampai muncul istilah baru -- mocin (motor Cina). Bukan hanya warga masyarakat kelas bawah yang menikmati banjir murah meriah produk impor dari Cina ini. Pemerintahpun setali tiga uang. Tidak hanya untuk membeli barang dan jasa kelas menengah dan kecil dari ukuran moneter. Proyek berskala raksasa juga bertendensi menoleh ke tawaran menggiurkan dari balik Tirai Bambu. Contoh riil adalah proyek-proyek pretisius dan berskala-mega seperti jalan toll, bendungan, jembatan dan crash-program pembangkit listrik. Kenikmatan baru ini ternyata mengalami pasang-surut. Mari simak beberapa contoh dampak non-positif yang telah banyak kita ketahui dari media. Banyak produk makan dan obat Cina yang dilaporkan sebagai kategori alami (natural) dan hayati (herbal) ternyata mengandung senyawa kimia buatan yang berbahaya untuk kesehatan. BPOM bahkan dengan tegas memerintahkan untuk menariknya dari pasar. Mocin yang terkenal murah ternyata bomis (beli hari Rabu dan rusak hari Kamis alias besoknya). Barang-barang bermerek terkenal ternyata yang semula disebutkan dijamin asli ternyata ABC (Asli Buatan Cina). Kiat cerdik menyiasati tudingan pembajakan merek yang tentunya tetap terancam pelanggaran hukum perlindungan HaKI. Baju-baju yang bergaya batik ternyata tidak memenuhi kriteria batik yaitu nyaman untuk daerah tropis dan bercitra kerajinan karena ternyata adalah produk tekstil bercorak batik dengan kain yang tak nyaman untuk kawsan tropis kita. Begitu pula terjadi pada proyek mega seperti pembangkit, transmisi dan distribusi listrik yang awalnya dikumandangkan sebagai sangat kompetitif karena murah harganya dan cepat pembangunannya ternyata bak panggang jauh dari api. Nyaris semuanya terlambat memenuhi waktu penyelesain dan juga dilaporkan tidak dapat dibangun sesuai kapasitas dan spesifikasi rancangan. Banyak pelajaran kita dapat petik dan jadikan amunisi dalam menyikapi CAFTA. Kita tidak mau lebih buruk dari keledai yang masih punya rasa malu untuk terantuk pada batu yang sama dua kali. Daya Saing dan Fortifikasi -- Kiat Anak Negeri Meningkatkan daya saing khususnya sektor industri untuk menghasilkan produk untuk memenuhi keperluan pasar domestik dan potensial untuk diekspor adalah senjata pamungkas (arsenal) untuk menciptakan kondisi politik-ekonomi yang saling-tergantung (inter-dependent) dengan negara-negara anggota CAFTA. Tentu tidak mungkin mampu memenuhi keperluan disemua sektor secara kompetitif alias berdaya saing tinggi, apalagi dalam waktu relatif singkat. Musti dipilih sektor industri yang memposisikan produk Indonesia unggul dari segi kualitas, harga dan kemampuan memasok (delivery). Ini yang mendasari semangat dan perjuangan RI melakukan negosisasi ulang sebelum kita sepakati argometer CAFTA dioperasikan. Meningkatkan daya saing merupakan kiat yang terus menerus dilakukan Pemerintah yang tentunya didukung oleh Legistlatif. Berbagai pemikiran dan langkah strategis sudah dan pasti terus dilakukan. Tentu masih segar diingatan kita tentang inisiatif membangun industri dipopulerkan dengan istilah BUMN Industri Strategis (BUMNIS). Belakangan kita dengar pula inisiatif baru yaitu Sistem Inovasi Nasional. Jika kita gunakan data yang tersedia di Badan Pusat Statistik (BPS) maka kita akan temukan bahwa kontribusi industri dalam negeri terhadap konsumsi nasional masih kecil sekali alias tidak siginifikan. Ini menunjukkan bahwa upaya meningkatkan daya saing itu merupakan jalan panjang dan berliku. Sambil menanti hasil upaya peningkatan daya saing ada banyak cara lain yang dapat diterapkan agar RI mampu paling tidak melindungi pasar domestiknya dari gempuran impor barang dari negara-negara ASEAN dan Cina. Jurus-jurus melindungi pasar dengan pagar tarif atau bea impor atau mengatakan tidak boleh masuk pada berbagai jenis barang impor sudah tak lagi bisa digunakan mengingat berbagai perjanjian internasional yang telah dengan sadar kita sepakati sebagai realisasi kebijakan politik ekonomi RI. Fortifikasi atau pembentengan mengunakan emosi, sentimen, kebiasaan dan budaya mencintai (baca : memproduksi, membeli dan menggunakan atau mengkonsumsi) produk dalam negeri adalah salah satu cara yang elegan. Slogan “Aku Cinta (Produk) Indonesia” adalah sebuah himbauan dan semangat yang luhur untuk diperjuangkan. Dengan penerapan semangat ini kita akan dengan anggun penuh rasa bangga ikut melakukan fortifikasi terhadap pasar Nusantara dan tanpa melanggar aturan atau hukum sama sekali. Kewajiban memenuhi dan menerapkan emblim Standar Nasional Indonesia (SNI) dari satu sudut pandang adalah bagian dari fortifikasi. Contoh elegan lain dari fortifikasi adalah promosi dan gerakan sosial label halal yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI). Indonesia de facto adalah Negara Islam terbesar didunia. Kebijakan mendahulukan pasar domestik (domestic market obligation) yang telah diterapkan untuk perdagangan gas dapat juga diperluas ke komoditas kekayaan alam lain khususnya hasil hutan, kebun, laut dan perut bumi lainnya demi pemenuhan kebutuhan dan penguatan pasar domestik. Dengan pendekatan ini tidak lagi kita terperangkap pada situasi mencari, menggali dan mengeksploitasi kekayaan perut bumi (darat dan laut) Nusantara kemudian menjualnya ke pasar internasional, melainkan terlebih dahulu kita olah terlebih dahulu untuk memberi nilai tambah sambil menciptakan lapangan kerja baru dan ujungnya nanti adalah memperkokoh ekonomi lokal seperti yang diteorikan oleh Schumpeter dengan jargon Local Economy. Contoh: Kayu tak boleh kita ekspor glondongan melainkan diolah menjadi bahan jadi atau semi-jadi. Tidak kalah pentingnya adalah terus menumbuhkan olah rasa lidah Nusantara yaitu membangun kebiasaan dan syukur jika kemudian mengkristal menjadi budaya. Olah rasa lidah Nusantara ini adalah realisasi dari semangat melahap makanan yang hanya diproduksi setempat yang belakangan ini menjadi tren gaya hidup baru dan populer dengan istilah locavore (local dan vore) seperti dalam herbivore dan carnivore. Penutup Fakta bahwa CAFTA sudah efektif sejak 1 Januari 2010. Ada upaya RI untuk re-negosisasi, hasilnya kita belum tahu. Daya saing industri terus diupayakan. Ini sebuah jalan panjang dan berliku. Simultan dengan upaya peningkatan daya saing, peluang melakukan fortifikasi ada dipundak dan ditangan kita. Mendahulukan kebutuhan pasar domestik (DMO) terus kita dukung dan perluas serta upayakan dilindungi oleh payung hukum tertinggi, yaitu Undang Undang. Selain itu fortifikasi pasar domestik melalui pembangunan kebiasaan dan budaya mari kita lakukan. Disiplinlah dalam produksi dan mengkonsumsi produk ber-emblim SNI. Bagi umat Islam, label halal supaya dijadikan sebagai kriteria utama dalam produksi dan konsumsi. Jadikan locavore sebagai darah-daging. Sikapi CAFTA dengan bijak dan mari jadikan RI sebagai bangsa bermartabat yang mematuhi perjanjian yang disepakatinya dan mengambil manfaat CAFTA sebagai lokomotif penarik gerbong pertumbuhan ekonomi RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H